Senin, 26 Maret 2012

Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur'an dengan Ra'yu (Studi pemahaman Hadis Nabi SAW)

Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur'an dengan Ra'yu 
(Studi pemahaman Hadis Nabi SAW) 
 hadits

Oleh www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Hadis yang diyakini sebagai ucapan, perbuatan, ketetapan (taqrir)[1] dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW merupakan sumber ajaran kedua setelah al‑Qur'an. Ditinjau dari segi periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur'an. Semua periwayatan ayat‑ayat al‑Qur'an berlangsung secara mutawatir,[2] sedangkan hadis Nabi diriwayatkan sebagiannya secara mutawatir dan sebagian lainnya diriwayatkan secara ahad [3]. Oleh karenanya, al‑Qur'an memiliki kedudukan qat'iy al‑wurud [4] sedangkan hadis Nabi sebagiannya berkedudukan qat'iy al‑wurud dan sebagian lainnya bahkan yang terbanyak berkedudukan zanniy al-wurud.
Berdasarkan asumsi di atas, maka dilihat dari segi periwayatannya    seluruh al‑Qur'an tidak perlu dilakukan penelitian kembali tentang orisinalitasnya, sedangkan terhadap hadis Nabi SAW khususnya yang termasuk kategori ahad,   maka diperlukan penelitian akan orisinalitasnya.[5] Bertolak dari permasalahan tersebut, maka hadis Nabi SAW sebelum dipahami dan diamalkan, perlu diidentifikasi terlebih dahulu serta diteliti orisinalitasnya dalam rangka kehati‑hatian dalam mengambil hujjah atasnya. Setelah dilakukan pengujian, baru kemudian suatu hadis yang diduga kuat berkualitas sahih ditelaah dan  dipahami untuk selanjutnya dapat diamalkan, sebab ada di antara hadis‑hadis yang sahih tersebut yang dapat segera diamalkan (ma'mul bih) dengan memahami redaksinya, namun adapula yang tidak segera dapat diamalkan (gair ma'mul bih), karenanya menuntut pemahaman yang mendalam dengan memperhatikan latar belakang munculnya hadis (asbab wurud al‑hadis\) serta piranti lainnya. Proses inilah yang dikenal kemudian dengan proses pemahaman hadis atau disebut dengan fiqh al‑hadis\.
Sebagaimana umat Islam mengakui bahwa apa yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang kemudian dihimpun dalam hadis‑hadis Nabawi merupakan bagian tak terpisahkan dari al‑Qur'an itu sendiri, hal ini disadari karena salah satu fungsi Nabi Saw adalah menjelaskan al‑Qur'an baik lisani maupun fi'li agar maksud al‑Qur'an dapat dengan segera dipahami dan diamalkan ummatnya. Namun manusia menyadari bahwa persoalan tidak pernah selesai, bahkan    terus   berkembang   sementara   sang   penjelas   (Nabi   SAW)   telah
wafat, oleh karena itu persoalan ini menjadi tantangan bagi ummatnya untuk diselesaikan melalui teknik atau cara‑cara yang dilakukan oleh Nabi SAW agar nilai Islam yang tertuang dalam al-Qur'an tetap relevan hingga akhir zaman, sebagaimana prinsip agama ini yang dikenal dengan sa1ih 1ikulli zaman wa makan.
Bila ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat ini dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat, berarti di dalam ajaran Islam ada ajaran‑ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh waktu dan tempat, disamping ada ajaran-­ajaran yang terikat oleh waktu dan tempat tertentu, sehingga di dalam ajaran Islam ada muatan universal, ada pula yang temporal maupun yang lokal.[6]
Menurut petunjuk al-Qur'an Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah untuk semua umat manusia,[7] dan sebagai rahmat bagi seluruh alam[8] (rahmatan li al‑'alamin), artinya kehadiran Nabi Muhammad SAW membawa misi kebajikan dan kerahmatan bagi semua umat manusia dalam segala ruang dan waktu. Di sisi lain, hidup Nabi Muhammad SAW dibatasi oleh ruang dan waktu, dengan demikian apa yang direkam dari kehidupan Nabi Muhammad SAW dalam hadis‑hadis Nabawi memiliki muatan ajaran yang bersifat universal, sekaligus ada muatan temporal dan lokal.[9]
Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa salah satu fungsi Nabi SAW adalah menjelaskan al-Qur'an serta mengejawantahkan Islam melalui ucapan, perbuatan serta perjalanan hidupnya baik dalam kesendiriannya maupun di tengah masyarakat, saat mukim ataupun saat bepergian, saat terjaga maupun pada saat tidur, dalam kehidupan khusus maupun umum, dalam hubungannya kepada Allah ataupun dengan sesama makhluk, dengan orang‑orang terdekat maupun orang‑orang jauh, dengan mereka yang mencintai maupun yang memusuhi, pada masa damai maupun masa perang. saat sehat wal afiat maupun saat menerima musibah.[10]
Hal‑hal di atas itulah yang menuntut umat Islam mempelajari serta memahami sunnah Nabi SAW dengan sebaik­-baiknya, sebagaimana yang telah dicontohkan para sahabat dan generasi tabiin yang secara sungguh‑sungguh berusaha menggali dan mempelajari aktualitas Nabi SAW untuk kemudian mereka amalkan dalam kehidupan sehari‑hari, sehingga dikenallah generasi ini sebagai generasi sebaik-­baik ummat karena mereka mengikuti jejak Nabi SAW demikian pula bagi mereka yang senantiasa mengikuti jalan yang benar tersebut.[11]
Tidak sedikit hadis Nabi yang telah dibukukan oleh para ulama, dan di dalamnya memuat berbagai persoalan yang tak habis‑habisnya untuk diperbincangkan, salah satunya adalah hadis yang memuat tentang larangan Nabi SAW terhadap ummatnya untuk menafsirkan al-Qur'an dengan ra'y, sementara pada masa sekarang banyak dijumpai dari sebagian umat Islam yang sengaja berlaku nifaq (munafik) guna mencari kedudukan, pangkat, atau apa saja yang dengan tafsirannya itu mampu melegitimasi pendapatnya demi tujuan pribadi ataupun kelompok, dan hal inilah yang paling dikhawatirkan Nabi SAW.[12] Di sisi lain tafsir­-tafsir al‑Qur'an yang berkembang sampai saat ini, ada di antaranya tafsir yang dikenal dengan sebutan tafsir bi al–ra'y, disamping tafsir bi al- riwayat, lalu bagaimanakah kita mensikapi tafsir bi al-ra'y tersebut.
Guna memecahkan persoalan‑persoalan tersebut, perlu kiranya mempelajari akar polemik di sekitar boleh dan tidaknya menafsirkan al-Qur'an dengan ra'y yaitu dengan mempelajari lebih jauh dan mendalam tentang hadis "larangan menafsirkan al-Qur'an dengan ra'y", dengan harapan tersingkapnya maksud Nabi SAW tersebut sekaligus bentuk‑bentuk real pelarangannya. Salah satu hadis tersebut adalah hadis riwayat al‑Turmudzi:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya: (Al‑Turmuzi berkata): Mahmud bin Gailan telah menceritakan kepada kami, (Mahmud berkata): Bisyr bin al‑Syariyy menceritakan kepada kami, (Bisyr berkata) : Sufyan menceritakan kepada kami dari 'Abd al‑A‑'la dari Sa'id bin Jubair dari Ibn 'Abbas Ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur'an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka" Abu 'Isa (al-­Turmuzi) berkata: hadis ini hasan sahih.[13]

Hadis di atas dipegangi oleh sebagian ulama sebagai dasar penolakan atas tafsir bi al-ra'y, namun sebagian yang lain memahami hadis tersebut sebagai larangan menafsirkan dengan hawa nafsu dan bukan penafsiran melalui kemampuan ijtihad yang melahirkan tafsir bi al-ra'y yang dikenal saat ini
Tentang tafsir bi al-ra'y, ulama juga berselisih pendapat hingga mengkristal pada dua model tafsir bi al-­ra’y, yaitu tafsir bi al-ra'y yang mahmud (terpuji) dan tafsir bi al-ra'y yang mazmum (tercela).[14] Terlepas dari klasifikasi tersebut, kata   al-ra'y itulah yang menjadi kata kunci dari perdebatan di atas.
Kata al‑ra'y sendiri dimaknai berbeda‑beda oleh para ulama, sebagian memaknai al-ra'y dalam konteks hadis di atas sebagai. "ijtihad", ada pula yang memaknainya sebagai "penafsiran tanpa menggunakan il‑mu", artinya tidak didasarkan pada dalil‑dalil syara', sebagian yang lain memaknainya sebagai "hawa nafsu". Mereka yang memaknai al‑ra'y dengan hawa nafsu inilah yang memfatwakan bahwa barang siapa berbicara mengenai al‑Qur'an menurut hawa nafsunya dan tidak memberikan perhatian kepada keterangan yang telah disampaikan kaum salaf, maka sekalipun pendapatnya itu benar, ia tetap dianggap sebagai perbuatan yang keliru, hal tersebut disebabkan karena telah menentukan makna ayat al‑Qur'an tanpa memperhatikan kaedah‑kaedah yang ditentukan oleh ahli hadis.[15]
Bertolak dari permasalahan di atas, maka sangat urgen untuk melakukan pendalaman atas hadis larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y, mengingat banyaknya tafsir al‑qur'an yang berkembang hingga saat ini dikelompokkan pada kategori tafsir bi al-ra'y, apakah kemudian penafsiran‑penafsiran tersebut jatuh pada kelompok yang diancam Nabi atau tidak.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah dalam penelitlan skripi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.       Bagaimanakah makna dari hadis‑hadis larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y?
2.       Bagaimanakah kedudukan tafsir bi al-ra'y dalam al-Qur’an?
3.       Kapankah hadis-hadis itu melarang menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Berdasarkan    rumusan masalah di atas, penulisan skripsi ini bertujuan untuk:
  1. Untuk mengetahui makna hadis‑hadis larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y
  2. Untuk mengetahui kedudukan tafsir bi al-ra'y dalam sumber al-Qur’an
  3. Untuk mengetahui batasan larangan hadis tersebut.
Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah:

  1. Menambah wawasan serta memperkaya hazanah intelektual, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya
  2. Menambah kepustakaan bagi Institut, Fakultas dan Jurusan pada khususnya.
  3. Untuk melengkapi sebagian dari syarat‑syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu dalam bidang ilmu Tafsir dan Hadis pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ka1ijaga.

D.    Telaah Pustaka
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penulis menemukan beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, antara lain:
DaIam kitab Tuhfah al‑Ahwazi Syarh Jami' al-Turmuzi, pengarang kitab ini menjelaskan cukup panjang tentang menafsirkan al-Qur'an dengan al‑ra'y,[16] hanya saja pembahasan di dalamnya terfokus pada perdebatan hadis tersebut ansich, sedangkan aspek yang terkait dengan tafsir bi al-ra'y sebagai sisi lain dari tafsir bi al­‑riwayah masih ada peluang untuk diperbincangkan lagi.
Dalam kitab 'Aun al‑Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud, Juga secara ringkas telah menjelaskan tentang larangan menafsirkan al‑Qur'an dengan al‑ra'y yaitu dalam bab ilmu.[17]
Kemudian buku karya Fahd bin 'Abd al‑Rahman al‑Rumi yang berjudul Dirasah fi 'Ulum al‑Qur'an, di dalamnya menjelaskan persoalan yang ada dalam lingkup ilmu‑ilmu al‑Qur'an termasuk di dalamnya sekilas tentang manafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y yang disimpulkan oleh penulis kitab ini sebagai kelompok tafsir al-Qur'an bi al-ra'y yang mazum.[18]
Dalam kitab Ittihaf al‑Sadah al‑Muttaqin Syarh Ihya 'Ulum al‑Din yang sebenarnya kitab ini lebih fokus pada hal‑hal yang terkait dengan 'Ubudiyah, namun di dalamnya juga diuraikan cukup panjang tentang tafsir al-Qur'an bi al-ra'y juga tentang aktifitas menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y.[19]
Kemudian dalam kitab al‑Tafsir wa al-Mufassirun, al‑Zahabi menguraikan tentang apa itu tafsir, ahli tafsir karya‑karya tafsir dan lainnya, termasuk di dalamnya tentang tafsir bi al-ra'y yang diperbolehkan maupun tafsir bi al-ra'y yang tidak diperbolehkan.[20]
Ahmad al‑Syirbasi dalam bukunya yang telah diIndonesiakan dengan judul Sejarah Tafsir al-Qur'an, juga menguraikan tentang kekhawatirannya atas penafsiran al‑Qur' an dikarenakan adanya nash hadis tentang larangan menafsirkan al‑Qur'an dengan al‑ra’y, namun pada sisi lain ia juga menjelaskan tentang tafsir bi al‑'aql dan tafsir bi al‑naql.[21]
Dalam kitab yang lain yaitu usul al‑Tafsir wa Qawa'iduhu, Syaikh Khalid bin   'Abd al‑Rahman al-Fakki menjelaskan dengan panjang lebar mengenai pertumbuhan tafsir, kaedah‑kaedah penafsiran sampai pada tafsir bi al-ra'y juga tentang menafsirkan al‑Qur'an dengan al‑ra'y.[22]
Dari beberapa penelusuran pustaka tersebut di atas, penulis masih memiliki peluang untuk mengkaji secara khusus dan mendalam terhadap hadis larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y serta korelasinya dengan fenomena tafsir bi al-ra'y yang berkembang hingga saat ini. Oleh karena itu perlu kiranya menguji kembali pemahaman dari larangan asasi pada hadis tersebut.

E.    Metode Penelitian
Dalam rangka menemukan jawaban atas persoalan-­persoalan di atas, penulis hendak mengungkap dengan langkah‑langkah metodologis sebagai berikut;
1.       Penelitian skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, karena data‑data penelitian ini hampir keseluruhannya adalah data‑data kepustakaan
2.       Karena fokus penelitian ini ada pada hadis Nabi sebagai kunci persoalan, maka sumber primer penelitian ini adalah kitab‑kitab hadis Nabi, dan karena banyaknya kitab hadis maka penulis mengambil sample hadis secara purposed yaitu kitab‑kitab hadis yang dianggap lebih kuat kehujjahannya, sehingga proses uji orisinalitasnya tidak perlu detail.
3.       Adapun sumber‑sumber sekunder yang dapat digunakan dalam memahami hadis secara tekstual maupun kontekstual, maka digunakanlah kitab‑kitab syarh hadis juga kitab‑kitab yang terkait dengan perdebatan tafsir al‑Qur'an bi al-ra'y.
4.       Pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data yang bersifat dokumenter.[23] Dalam hal ini penghimpunan data dilakukan dari perpustakaan atau tempat yang menyimpan dokumen, setelah terkumpul, diklasifikasikan lalu dianalisis.
5.       Analisis data dilakukan melalui metode deduktif yaitu melalui penghimpunan data yang masih umum dinterpretasikan guna mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.[24] Dalam menganalisa data tersebut penulis dibantu oleh metode pemahaman hadis Syuhudi Ismail yang di dalamnya menekankan pada pemilihan makna yang tepat, artinya, mungkin saja sebuah hadis dalam kondisi tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis tertentu lainnya lebih tepat dipahami secara tersirat (kontekstual).
6.       Penerapan pemahaman hadis secara tekstual dilakukan bila hadis tersebut dihubungkan dengan latar belakang terjadinya tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis tersebut, sebaliknya, pemahaman secara kontekstual dilakukan bila teks hadis tersebut ada petunjuk yang kuat yang mengharuskannya dipahami tidak sebagaimana yang tersurat (tekstual).[25]

F.     Sistematika Pembahasan
Secara garis besar penyusunan skripsi ini dibagi ke dalam tiga bagian yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Ketiga bagian tersebut saling terkait atau satu bagian yang integralistis.
Adapun sistematika secara rinci sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, telaah pustaka,       metodologi penelitian serta sistematika pembahasan. Bab II berisi pengantar tentang problematika pemahaman, dan metodologi pemahaman hadis Nabi. Bab III berisi materi hadis tentang larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y berikut sekilas kualitasnyaBab IV berisi pemahaman‑pemahaman makna dari hadis sekaligus perdebatan di seputar otoritas tafsir bi al­-ra'y dan kecenderungan ulama di dalamnya. Bab V berisi kesimpulan saran dan penutup.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: Hadis-Hadis Larangan Menafsirkan Al-Qur'an dengan Ra'yu (Studi pemahaman Hadis Nabi SAW)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net