Senin, 26 Maret 2012

Jilbab dan Cadar Muslimah menurut Al-Qur'an dan Sunnah(Studi Perbandingan atas Pemikiran Al-Albani)

Jilbab dan Cadar Muslimah menurut Al-Quran dan Sunnah ( Studi Perbandingan atas Pemikiran Al-Albani )
Jilbab dan Cadar
Oleh Team www.seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam pembagian agama menurut bentuk sumbernya, Islam dikategorikan sebagai agama teks; dalam arti bahwa asas-asas umum yang menjadi landasan berdirinya agama tersebut bahkan juga doktrin-doktrinnya didasarkan pada dua teks yang otoritatif yakni al-Qur’ān dan al-Hadīs.1 Umat Islam sendiri telah bersepakat bahwa hadis Nabi SAW merupakan interpretasi praktis terhadap Al-Qur’an serta implementasi realistis dan ideal Islam.2 Dengan demikian kedudukan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an tidaklah dapat kita pungkiri sebagai umat Islam.3 Bahkan al-Syāfi'iy mengeluarkan tesis sebagaimana dikutip Daniel W. Brown4 bahwa sunnah5 berdiri sejajar dengan Al-Qur'an dalam hal otoritas karena "perintah Rasulullah adalah perintah Allah."
Mengingat begitu besarnya kedudukan hadis di samping al-Qur'ān maka keberadaan dan autentitas hadis yang benar-benar berasal dari Nabi SAW menjadi kebutuhan yang signifikan; sehingga dalam hal ini para ulama dari kalangan sahabat dan setelahnya melakukan berbagai upaya berupa penelitian atau kritik hadis. Hal ini terbukti dengan adanya usaha dari para sahabat dalam meletakkan pedoman periwayatan hadis untuk memastikan keabsahannya serta tentang para rijal-nya.6 Seiring dengan berjalannya waktu, keilmuan hadis turut mengalami perkembangan dengan munculnya berbagai metode yang lebih baik dan tajam karena semakin kompleksnya masalah yang menyelimuti hadis, di antaranya karena terjadi pemalsuan hadis7 baik yang didasari oleh kepentingan politik, agama (dakwah) ataupun kepentingan yang lainnya, juga kondisi (intelektual dan kualitas) periwayat hadis itu sendiri yang menuntut dilakukannya penelitian.
Pada abad ke-19 di mana hegemoni Barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama menguasai sebagian besar dunia muslim, maka masyarakat muslim terdorong untuk mengadakan reformasi kelembagaan hukum dan sosial Islam baik untuk mengakomodasi nilai-nilai Barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam. Desakan reformasi ini menghasilkan tekanan untuk mengkaji kembali pondasi esensial kewenangan agama dalam Islam. Keprihatinan mengenai hadis Nabi SAW menjadi titik pusat dalam proses pengkajian ini.8 Dengan demikian penelitian kembali terhadap hadis mendapatkan tempat yang penting dalam khasanah keilmuan Islam di samping upaya penafsiran al-Qur’an, tak terkecuali pembahasan seputar hadis yang berhubungan dengan masalah jilbab.
Berbicara masalah jilbab tidak akan pernah lepas dari pembicaraan masalah wanita dan kedudukannya. Sedangkan  kajian tentang kedudukan wanita dalam Islam termasuk dalam bidang yang sensitif; karena persoalan wanita adalah persoalan masyarakat, persoalan masyarakat adalah persoalan umat dan negara. Maka pandangan masyarakat terhadap wanita dari masa ke masa tidak lepas dari tiga macam, yakni: pertama, masyarakat yang menghinakan kaum wanita sebagaimana yang terjadi pada masyarakat jahiliyah, masyarakat Mesir kuno, dan lain-lain. Kedua, masyarakat yang selalu memanjakan kaum wanitanya, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat zaman kolonial Belanda di mana para wanita cantik pada saat itu dipenuhi semua kebutuhannya yang dapat menambah kecantikannya, namun mereka hanya dijadikan sebagai barang permainan yang tidak boleh dinikahi serta tidak mendapatkan hak apapun. Ketiga adalah masyarakat yang menghendaki emansipasi9 yakni masyarakat yang menghendaki persamaan derajat antara pria dan wanitanya.
Pengertian emansipasi ini sering menjadi kabur sehingga menghasilkan sifat dan tabi’at serta budi pekerti yang bertentangan dengan ajaran Islam. Orang sering memahami emansipasi dengan persamaan total antara laki-laki dan perempuan.10 Dalam pandangan Islam, wanita mempunyai tempat dan kedudukan terhormat sehingga mereka mempunyai persamaan dan tanggung jawab yang sama. Di antara penghormatan Islam terhadap wanita adalah dengan disyaria’atkannya jilbab bagi para muslimah, karena dengan demikian para wanita tidak menjadi bahan "tontonan" kaum lelaki yang bukan mahramnya.
Namun akibat perkembangan zaman, terjadilah perubahan standar moral dalam kehidupan masyarakat sehingga dekadensi moral dan rusaknya perilaku umat tidak dapat dihindari. Salah satu kerusakan yang semakin hari semakin tampak adalah semakin jauhnya perilaku kehidupan wanita dari nilai-nilai keislaman.11 Dalam hal kewajiban berhijab atau berjilbab, banyak di antara muslimah dibuat rancu dengan penafsiran-penafsiran yang muncul baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari luar Islam. Sehingga benarlah perkataan al-Żahabi sebagaimana dikutip Salim bin I'd al-Hilaliy bahwa hati itu lemah sedang syubhat adalah pencuri.12 Banyak sekali tulisan yang mengulas masalah hijab ataupun jilbab wanita muslimah dengan berbagai pendekatan dari berbagai latar belakang intelektual dan mażhab penulisnya.
Dalam skripsi ini peneliti berusaha mengeksplorasi pemikiran Muhammad Nāşiruddin al-Albāniy13 dan Muhammad bin Şālih al-'Usaimīn14 seputar jilbab wanita muslimah. Keduanya merupakan ulama kontemporer dilihat dari masa atau zaman hidupnya-yakni sekitar abad 20; dan jika dilihat dari sisi pemikirannya, keduanya menggunakan manhaj atau metode ahlus sunnah wal jama’ah15 dalam menafsirkan ayat al-Qur'ān dan sunnah. Kedua tokoh ini berusaha memahami makna dari ayat-ayat maupun hadis seputar jilbab muslimah dengan mengembalikan pada pemahaman para al-Salaf al-Şālih. Namun demikian, hasil yang mereka peroleh dari pemaknaan ayat maupun hadis seputar jilbab wanita muslimah terdapat beberapa persamaan dan perbedaan yang menarik untuk dilakukan penelitian.
Bagi al-Albāniy pembahasan seputar jilbab muslimah merupakan hal yang sangat penting karena telah banyak wanita yang notabene muslimah terpedaya dengan peradaban Eropa. Para muslimah ini akhirnya bersolek dengan cara "jahiliyah pertama" dan menampakkan anggota tubuh mereka yang sebelumnya mereka malu untuk menampakkannya kepada bapak dan mahramnya.16
Fenomena inilah yang mendorong al-Albāniy untuk melakukan kajian yang serius tentang pakaian muslimah (baca: jilbab) dengan membuat beberapa syarat jilbab yang sesuai dengan syariat. Syarat-syarat tersebut beliau buat agar muslimah mempunyai pegangan yang jelas tentang pakaian yang sesuai dengan maksud syar'iy- meskipun sebagian syarat yang beliau buat tidaklah mutlak hanya untuk para wanita muslimah tetapi juga bagi laki-laki muslim.
Dalam masalah cadar (niqab), al-Albāniy menegaskan bahwa cadar tidaklah wajib tetapi sunnah dan mustahab, dimana wanita yang mengenakan cadar berarti ia telah mngikuti jalan yang ditempuh istri-istri Rasulullah saw (ummāhatul mukminīn). Dalam kitabnya "Jilbāb al-Mar'ah Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah" al-Albāniy juga memberikan bantahan bagi mereka yang mewajibkan cadar. Menurut al-Albāniy, Jilbab adalah kain yang dipakai wanita di atas khimarnya.17
Lain halnya dengan al-Albāniy, al-'Usaimīn dalam karyanya "Risālah al-Hijāb" mengatakan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad saw untuk menyempurnakan akhlak. Adapun di antara akhlak yang disyariatkan ialah rasa malu,  sedangkan di antara jalannya adalah dengan berhijab serta menutup wajah karena wajah adalah sumber dari fitnah. Dengan kata lain al-'Usaimīn menyatakan bahwa wajibnya menutup muka atau mengenakan cadar bagi muslimah merupakan manifestasi dari ayat-ayat dan hadis-hadis tentang jilbab. Al-'Usaimīn menambahkan, bahwa jika Allah memerintahkan untuk menjulurkan jilbab wanita muslimah sampai ke dada dan kaki-kaki mereka, tentunya menutupkan jilbab ke muka mereka itu lebih penting.18 Hal ini disebabkan karena wajah adalah sumber bagi orang lain untuk dapat mengatakan bahwa fulanah cantik.
Al-'Usaimīn dalam bukunya, selain memberikan definisi jilbab yang sama dengan al-Albāniy, juga menegaskan bahwa cadar adalah wajib bagi wanita muslimah dan memberikan bantahan bagi mereka yang menyelisihi pendapatnya. Baik al-Albāniy maupun al-'Usaimīn, keduanya mengembalikan masalah jilbab ini kepada al-Qur'ān dan Sunnah serta asar para sahabat dan salafussalih. Keduanya  melakukan kajian tentang masalah jilbab karena merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat ini khususnya para muslimah yang mulai meninggalkan perintah syariat yang diturunkkan Allah untuk menjaga kesucian mereka dan mengangkat derajat mereka..
Berdasarkan pemaparan di atas peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pemaknaan dan pemikiran kedua tokoh tersebut seputar jilbab muslimah. Hal ini disebabkan karena di antara kedua tokoh ini terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pemikiran yang signifikan dalam memahami ayat maupun hadis seputar jilbab muslimah. Alasan lain yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian masalah jilbab adalah karena pembahasan seputar  topik ini terus menarik untuk dilakukan pengkajian, di mana umat Islam sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan dan menjadi tempat persemaian bagi orang yang mengkampanyekan "slogannya". Sehingga dalam keadaan ini tumbuhlah berbagai kebatilan dan orang-orang munafik turut berbicara dalam urusan umat ini, yang akhirnya muncul anggapan di antara wanita muslimah bahwa jilbab telah mengekang hidup dan karirnya.




B.     Rumusan Masalah
Berangkat dari Latar Belakang Masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini, yakni:
1.      Bagaimana pemikiran al-Albāniy dan al-'Usaimīn tentang jilbab muslimah menurut al-Qur’ān dan Sunnah.
2.      Apa persamaan dan perbedaan  pemikiran Al-Albāniy dan Al-'Usaimīn seputar jilbab muslimah dalam syari’at Islam.

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan:
1.      Untuk mengetahi pemikiran al-Albāniy dan al-'Usaimīn tentang jilbab muslimah menurut al-Qur’ān dan Sunnah.
2.      Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran al-Albāniy dan al-'Usaimīn seputar jilbab muslimah dalam syari’at Islam.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap khasanah intelektual Islam di bidang keilmuan tafsir dan hadis. Secara khusus penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi perbandingan antara pemikiran Muhammad Nāsiruddin Al-Albāniy dan Muhammad bin Sālih al-'Usaimīn serta kontribusi beliau-sebagai ulama kritik hadis abad modern-terhadap khasanah keilmuan Islam, khususnya dalam pembahasan seputar jilbab  muslimah.

D.    Tela’ah Pustaka

            Pembahasan seputar jilbab muslimah sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru. Wacana ini telah banyak diperbincangkan baik oleh ulama klasik maupun ulama kontemporer dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan yang berbeda. Pembahasan seputar jilbab ini sering pula dihadirkan dengan kata hijab. Dengan demikian hijab maupun jilbab mempunyai makna yang sama meskipun ada beberapa ulama yang membedakan makna kedua istilah tersebut, misalnya al-Albāniy. Bagi al-Albāniy, istilah hijab dan jilbab memiliki keumuman dan kekhususan sendiri-sendiri. Setiap jilbab adalah hijab, namun tidak semua hijab adalah jilbab.19
            Riffat Hasan dengan metode dekonstruksinya-yakni mendekonstruksi penafsiran yang telah dinilainya bias patriarkhi-mencoba mendekonstruksi makna hijab yang selama ini dipahami. Bagi Riffat Hasan, pada dasarnya sistem purdah atau jilbab adalah dalam rangka menyelamatkan dan memberi keamanan bagi perempuan dari fitnah dan gangguan. Riffat tetap setuju dengan sistem purdah tetapi jangan dijadikan alasan bagi wanita untuk dilarang keluar rumah.20
            Ibnu Kasīr dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa Hijab adalah kewajiban bagi kaum wanita muslimah sebagai penghormatan baginya dan pembeda dirinya dengan kaum wanita jahiliyah.21 Pendapat Ibnu Kasīr ini banyak diikuti oleh ulama ahlus sunnah wal jama’ah di antaranya adalah Dr. Sālih bin Fauzān bin Abdullāh al-Fauzān, Syaikh Abdul 'Azīz bin Abdullāh bin Bāz, dan lain sebagainya.
            Muhammad Syahrur-seorang tokoh kontroversial-dalam kitabnya "Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āsyirah"  juga membahas masalah hijab dengan menggunakan metode intertekstualitas dan dengan menggunakan pendekatan linguistik sintagmatis.22 Hasilnya, Syahrur mendapatkan pandangan yang berbeda dengan kebanyakan ulama dalam masalah hijab. Bagi Syahrur, kata al-khumur dalam Surat al-Nūr: 31 tidak bermakna 'tutup kepala' seperti yang lazim diketahui, namun yang di maksud adalah segala macam penutup tubuh baik kepala maupun anggota badan yang lain. Dikaitkan dengan konsep Syahrur tentang al-hadd al-adnā (batasan minimal) dan al-hadd al-a'lā (batas maksimal), yang kemudian dibandingkan dengan hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat, maka dapat disimpulkan bahwa bagian tubuh yang termasuk kategori al-juyūb (lekuk tubuh yang mempunyai celah dan bertingkat; seperti bagian di antara kedua buah dada, di bawah buah dada, di bawah ketiak, kemaluan, dan kedua bidang pantat)adalah al-hadd al-adnā. Adapun bagian tubuh seperti wajah, telapak tangan, dan telapak kaki adalah al-hadd al-a'lā. Konsekuensinya, seorang wanita yang menutup seluruh anggota tubuhnya berarti ia telah melanggar hudūd Allah, begitu juga wanita yang memperlihatkan tubuhnya lebih dari anggota yang termasuk kategori al-juyūb.23
            Muhammad Jamil Zainu dalam bukunya "Penghargaan Islam terhadap Wanita", menyebutkan syarat-syarat hijab bagi wanita muslimah yang membedakan mereka dengan wanita jahiliyah. Secara tidak langsung beliau menolak pendapat yang mengatakan bahwa jilbab adalah tradisi Arab.
            Dalam masalah cadar atau menutup muka bagi wanita, Yusuf Qardawi setelah menyajikan dalil-dalil yang berbicara dalam masalah tersebut memberikan kesimpulan bahwa muka dan dua telapak tangan wanita bukanlah termasuk aurat, sehingga tidak wajib untuk ditutup. Lebih lanjut Qardawi mengatakan bahwa memakai hijab secara berlebihan pada diri wanita -sebagaimana dilakukan oleh sebagian masyarakat pada masa-masa Islam- adalah kebiasaan yang dibentuk manusia sebagai sikap berhati-hati dan menutup pintu kehancuran.24
            Adapun karya ilmiah atau penelitian yang membahas seputar hijab telah dilakukan oleh Nur Islami dan Nurul Adha. Nur Islami dalam skripsinya yang berjudul 'Hijab menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir fī Zilāl al-Qur'ān' menguraikan tentang karekteristik hijab menurut Sayyid Quthb sebagai hasil  penafsirannya terhadap Surat al-Ahzāb: 32-34, 55, dan 59.25 Sedangkan Nurul Adha menguraikan tentang praktek berhijab di zaman Rasūlullāh saw dengan melakukan studi atas Surat al-Nūr dan al-Ahzāb dalam skripsinya yang berjudul 'Konsep Hijab dalam al-Qur'ān (Studi terhadap Surat al-Nūr dan al-Ahzāb)'.26
            Karya ilmiah atau penelitian yang membahas seputar pemikiran al-Albāniy di antaranya adalah skripsi karya Rastana yang di dalamnya membahas pemikiran al-Albaniy tentang studi kritik hadis secara umum.27 Skripsi karya Evi Fitriana yang membahas tentang pandangan gerakan Salafi ahlus sunnah wal jama’ah terhadap hadis-hadis tentang cara berpakaian istri-istri nabi SAW.28 Dalam skripsi tersebut penyusun menggunakan kitab Jilbab Wanita Muslimah karya al-Albāniy yang telah diterjemahkan sebagai data primernya, namun demikian penyusun tidak membahas pemikiran al-Albāniy secara khusus tentang  jilbab. Skripsi tersebut cenderung menitikberatkan pada praktek gerakan Salafi ahlus sunnah wal jama'ah saat ini dalam berpakaian dikaitkan dengan cara atau praktek berpakaian  istri-istri Nabi saw.
            Dari sekian banyak karya seputar hijab dan jilbab, sejauh pengetahuan peneliti belum ada karya tulis atau penelitian yang membahas pemikiran al-Albāniy maupun al-'Usaimīn seputar jilbab muslimah secara khusus.    
           
E.     Metode Penelitian
            Metode penelitian adalah cara bagaimana peneliti mencapai tujuan atau memecahkan masalah. Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian karena berhasil tidaknya suatu penelitian sangat ditentukan oleh bagaimana peneliti memilih metode yang tepat.29 Adapun metodologi adalah serangkaian metode yang saling melengkapi yang digunakan dalam melakukan penelitian.30 Guna mendapatkan hasil penelitian yang sistematis dan ilmiah maka penelitian ini menggunakan seperangkat metode sebagai berikut:
1.      Sumber Data dan Jenis Penelitian
            Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), oleh karena itu sumber data penelitian diperoleh dari kitab-kitab atau buku-buku karya tokoh yang diteliti maupun referensi lain yang berkaitan dengan pokok pembahasan. Data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yakni data primer dan data skunder. Adapun data primer yang menjadi sumber penelitian ini adalah kitab Jilbāb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah karya Al-Albāniy dan kitab Risālah al-Hijāb karya al-'Usaimīn yang telah diterjemahkan dengan judul Hukum Cadar oleh Abu Idris. Sedangkan data sekunder meliputi kitab-kitab maupun buku-buku atau referensi lain yang berkaitan dengan masalah jilbab wanita muslimah ataupun yang berkait dengan tokoh yang dikaji dalam penelitian ini.
3        Metode Analisis Data
            Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif-komparatif, yakni penelitian  yang mendeskripsikan pemikiran al-Albāniy dan al-'Usaimīn tentang jilbab muslimah, yang kemudian dilakukan komparasi atau perbandingan atas pemikiran kedua tokoh tersebut. Dengan demikian, data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode komparasi (muqārran)31 untuk membandingkan pemikiran al-Albāniy dan al-'Usaimīn tentang jilbab muslimah.
     

F.     Sistematika Pembahasan

Penelitian ini dilakukan melalui langkah-langkah sistematis dan terarah supaya mendapatkan hasil penelitian yang optimal, yang dituangkan dalam beberapa bab sebagai berikut:
Bab pertama sebagai pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,  rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tela’ah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahaan.
Bab kedua berisi biografi Muhammad Nāşiruddin al-Albāniy dan Muhammad bin Şālih al-'Usaimīn yang meliputi nama dan kelahiran,  perjalanan intelektual kondisi sosial politik yang melingkupi keduanya, serta metode atau manhaj ilmiah kedua tokoh tersebut yang didalamnya mencakup definisi salaf dan prinsip dakwah salafiyah.


Bab ketiga merupakan inti pembahasan. Dalam bab ketiga ini peneliti memberikan deskripsi atas pemikiran Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy dan Muhammad bin Şālih al-'Usaimīn tentang jilbab muslimah. Dalam bab ini pula peneliti menyajikan persamaan dan perbedaan pemikiran kedua tokoh yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini.
Bab keempat merupakan penutup skripsi yang di dalamnya berisi kesimpulan dari pembahasan sebelumnya dan saran-saran, serta ucapan penutup.



Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: Jilbab dan Cadar Muslimah menurut Al-Quran dan Sunnah (Studi Perbandingan atas Pemikiran Al-Albani)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net