Senin, 26 Maret 2012

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN DALAM HUKUM ADAT JAWA

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN
DALAM HUKUM ADAT JAWA DAN KHI

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Anak angkat adalah bagian dari segala tumpuhan dan harapan kedua orang tua (ayah dan ibu) sebagai penerus hidup. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Namun, demikian tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh keturunan. Sedang keinginan untuk mempunyai anak nampaknya begitu besar. sehingga kemudian di antara merekapun ada yang mengangkat anak.
Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu: pertama, pengangkatan anak dalam arti luas. Ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak sendiri terhadap orang tua sendiri. kedua, ialah pengangkatan anak dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas pada hubungan sosial saja.[1]

Di Indonesia, ada tiga sistem hukum yang berlaku dan mengatur permasalahan tentang pengangkatan anak. Ketiga sistem hukum itu adalah hukum Islam, hukum Adat dan hukum Barat. Untuk sementara pembahasan mengenai hukum Barat tidak kami sebutkan di sini, melainkan lebih dikonsentrasikan antara hukum Islam dan hukum Adat di Indonesia.
baru dan proses perubahan sosial. Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai blue-print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu Hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi; pertama, sebagai kontrol sosial dan  kedua, sebagai nilai komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi, atau meminjam istilah Abdurrahman Wahid,  fosiliasi, bagi kepentingan umat. Karena itu apabila para pemikir hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mereformulasi dan mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam akan kehilangan aktualitasnya. Sehingga kemudian, sebagai realisasi dari semua itu dipandang perlu untuk diadakan pembaharuan Hukum Islam seperti telah diwujudkan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam atau dikenal KHI.
KHI Sesuai Inpres no.1 Tahun 1991 sebagaimana termaktub dalam dictumnya adalah perintah kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam.[2] Tujuannya ialah untuk digunakan oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya.
Sementara itu, hukum adat atas kedudukannya dalam tata hukum nasional Indonesia merupakan hukum tidak tertulis yang berlaku sepanjang tidak menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia dan menjadi pengatur-pengatur hidup bermasyarakat.[3] Di dalam hukum adat terdapat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang berbagai masalah, termasuk mengenai pengangkatan anak.
Anak angkat, di dalam hukum adat diartikan sebagai suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.[4] Anak angkat dalam hukum adat mendapat kedudukan yang hampir sama dengan anak sendiri, yaitu dalam hal kewarisan dan perkawinan. Namun sebaliknya, dalam hukum Islam tidak demikian. Hukum Islam secara tegas melarang adanya pengangkatan anak yang mengakibatkan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua angkat dan tidak pula menyebabkan hak waris. Hal ini diterangkan dalam firman Allah SWT.

وماجعل ادعياءكم ابناءكم، ذلكم قولكم بافواهكم, والله يقول الحق وهويهدي السبيل. [5]

 ادعوهم لابائهم هواقسط عندالله, فان لم تعلموااباءهم فاخوانكم في الدين ومواليكم. [6]

ماكان محمدابااحدمن رجالكم ولكن رسول الله وخاتم النبين. [7]

Akan tetapi, berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sejalan dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kenyataan tersebut dapat dilihat antara lain dalam KHI disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Pengangkatan anak yang dimaksud bertujuan untuk menolong atau sekedar meringankan beban hidup bagi orang tua kandung. Sedang, pengangkatan anak juga sering dilakukan dengan tujuan untuk meneruskan keturunan bilamana dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan seperti di Jawa khususnya. Menurut istilah adat tersebut, dengan mengangkat anak, keluarga tersebut akan dikaruniai anak kandung sendiri. Disamping itu ada yang disebabkan oleh rasa belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu atau disebabkan oleh keadaan orang tuanya yang tidak mampu untuk memberi nafkah. Keadaan demikian, kemudian berlanjut pada permasalahan mengenai pemeliharaan harta kekayaan (harta warisan) baik dari orang tua angkat maupun orang tua asal (kandung). Sedang cara untuk meneruskan pemeliharaan harta kekayaan inipun dapat dilakukan melalui berbagai jalur sesuai dengan tujuan semula.
Hal-hal tersebut di atas, membuat penyusun ingin melihat lebih jauh makna filosofis yang terkandung dari adanya pengangkatan anak yang karena keberadaannya, baik hukum adat Jawa maupun KHI memberikan hak kepada anak angkat untuk mendapatkan harta dari orang tua angkat.







Pokok Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat Penyusun sampaikan satu hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu:

-     Mengapa hukum adat Jawa dan KHI memberikan hak kepada anak angkat untuk memperoleh harta?

Tujuan dan Kegunaan

Mengiringi latar belakang serta permasalahan sebelumnya diharapkan tulisan ini mampu menjawab dan mengungkap persoalan melalui pembahasan yang mudah dimengerti dan terarah dengan baik. Untuk mewujudkan semua itu, ada beberapa tujuan dan nilai guna yang ingin dicapai, antara lain:

Tujuan

Mengetahui alasan-alasan hukum adat Jawa dan KHI dalam memberikan hak kepada anak angkat untuk memperoleh harta.

Kegunaan

1.      Sebagai bahan informasi atau pengetahuan tentang hakikat pemberian harta terhadap anak angkat baik dalam hukum adat Jawa maupun KHI.

2.      Sebagai bahan referensi bagi siapa saja yang ingin mempelajari lebih dalam permasalahan yang berkaitan dengan anak angkat seperti tersebut di atas.


Telaah Pustaka

Beberapa penelitian yang membahas tentang anak angkat atau pengangkatan anak ini telah cukup banyak dilakukan. Namun, sepengetahuan Penyusun belum ada yang menyinggung tentang hak pemberian harta terhadap anak angkat berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan dalam hukum Adat khususnya di Jawa serta apa yang tertulis dalam KHI. Adapun di antara beberapa penelitian tersebut ialah:
Penelitian yang dilakukan oleh Mila Fursiana Salma Musfiroh dalam tulisannya Studi Perbandingan Antara Hukum Adat dan Hukum Islam Tentang Adopsi.[8] Tulisan tersebut hanya terbatas pada permasalahan apa dan siapakah anak angkat itu dalam perspektif antara dua hukum. Selanjutnya ia juga menyebutkan tentang bagaimanakah pengangkatan anak itu terjadi dalam hukum adat dan hukum Islam. Perbandingan antara dua hukum tersebut dipandang masih bersifat umum.
Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Dzura Nafisyah Khondary, yang kali ini secara langsung di lapangan, tepatnya di Kelurahan Beringin Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat.[9] Pembahasanya tidak jauh beda dengan sebelumnya. Hanya saja dalam tulisannya, ia lebih mengkonsentransikan pada peristiwa apa yang terjadi dan berlaku di daerah tersebut. Sedang penelitian yang lain, oleh Toha lebih cenderung pada hukum acaranya, yaitu tentang Pemeriksaan dan Pembuktian Status Anak Angkat serta Pewarisannya di Pengadilan Agama Cilacap.[10]
Beberapa penelitian mungkin sedikit bersinggungan dengan pembahasan dalam penelitian ini. Namun, di sini Penyusun mencoba lebih menekankan dan membedakannya pada pembahasan tentang hakikat  pemberian harta kepada anak angkat dalam kedudukannya terhadap harta warisan menurut hukum adat yang berlaku khususnya di Jawa, serta KHI.
Selain dari beberapa penelitian di atas, studi tentang anak angkat juga banyak dibahas dalam berbagai kalangan untuk memenuhi khazanah koleksi perpustakaan. Semua itu ditulis dan dipaparkan dengan sudut pandang serta karakter penulisan yang berbeda dan dalam ukuran ilmiah tertentu di Indonesia.
Adapun, di antara tulisan-tulisan tersebut di atas yaitu; tulisan B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak beserta Akibat-akibatnya di Kemudian Hari menjelaskan berbagai pengangkatan anak yang terjadi di beberapa daerah. Kemudia dalam buku Problematika Hukum  Islam Kontemporer Chuzaimah T.Yanggo, juga menyebutkan permasalahan hukum anak pungut (anak angkat) dan kedudukan anak asuh, yang pembahasannya berkaitan dengan berbagai pandangan hukum tentang anak angkat. Sedang Soeroso R berbicara tentang Perbandingan Hukum Perdata, disebutkan dalam pembahasannya mengenai adopsi sebagai suatu perbandingan antara Hukum Barat, Hukum Adat dan Hukum Islam. Buku tersebut secara singkat juga mengemukakan berbagai sistem pengangkatan anak di berbagai Negara.
Adapun mengenai hukum adat oleh Soerjono Soekanto dipaparkan secara umum dalam Hukum Adat Indonesia yang menyebutkan suatu deskripsi analisis di antaranya adalah hukum keluarga dan hukum waris. Iman Sudiyat juga memaparkan tentang isi hukum adat dalam bukunya Hukum Adat sketsa Asas. Buku yang pembahasannya hampir sama, juga telah ditulis oleh Soerojo Wignjodipoero dalam Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, yang di antaranya berbicara tentang hukum perkawinan adat dan hukum adat waris.
Buku lain yang secara khusus berbicara mengenai KHI, telah ditulis oleh Cik Hasan Bisri dan M. Daud Ali dkk. Buku tersebut membahas pokok-pokok materi hukum kewarisan, termasuk wasiat wajibah bagi anak angkat. Sedang dalam Fiqh Madzhab Negara oleh Marzuki Wahid dan Rumadi diungkapkan tentang bagaimana pembentukan KHI serta berlakunya bagi masyarakat Indonesia khususnya umat Islam. Ahmad Rofiq, dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia lebih berbicara tentang latar belakang pembentukan KHI.
Buku lain yang juga dapat disebutkan di sini adalah beberapa buku yang menulis tentang keadilan hukum, antara lain;  buku tulisan Mukti Ali Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam disebutkan dalam pembahasannya yaitu keadilan dalam Islam. Sedang Juhaya S. Praja dalam Filsafat Hukum Islam menyebutkan tentang beberapa prinsip hukum Islam termasuk keadilan hukum.

Kerangka Teoretik

Untuk dapat memahami sistem hukum adat yang berlaku pada masyarakat Jawa khususnya mengenai pengangkatan anak dan keberadaan anak dalam keluarga termasuk kedudukannya terhadap harta warisan kelak ketika orang tua angkat telah tiada, penyusun menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh Soepomo tentang pengangkatan anak yang berarti tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat dan orang tuanya sendiri. Anak angkat masuk kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambilnya, sebagai anggota rumah tangganya (gezinslid), akan tetapi ia tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan turunan bapak angkatnya.[11] Adapun alasan pengangkatan anak oleh Soerojo Wignjodipoero diuraikan, antara lain:
-          Karena tidak mempunyai anak sendiri, sehingga memungut seorang keponakan yang merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan.
-          Karena belum dikaruniai anak, sehingga dengan memungut keponakan ini diharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.
-          Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan, misalnya karena hidupnya kurang terurus dan lain sebagainya.[12]

Mengenai kedudukannya terhadap harta warisan dalam hukum adat menurut B. Bastian Tafal, di Jawa pada umumnya anak angkat itu ngangsu sumur loro artinya mempunyai dua sumber warisan. Karena di samping ia mendapat warisan dari orang tua kandung, ia juga mendapat warisan dari orang tua angkatnya. Hal ini berbeda dengan KHI. Oleh karena KHI dalam hukum kewarisan diatur secara umum adalah ketentuan yang berlaku sejalan dengan hukum yang berlaku bagi pewaris yaitu beragama Islam dan karenanya masalah harta warisannya harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum Islam., maka berdasarkan hukum Islam anak angkat tidak dapat memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya. Anak angkat hanya berhak atas harta warisan orang tua kandung. Yang demikian, sesuai dengan pengertian anak angkat yang terdapat pada pasal 171 huruf h KHI yang berarti bahwa keberadaan anak angkat dalam keluarga yang mengangkat hanya terbatas pada pemeliharaan hidup dengan kasih sayang, serta memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Akan tetapi, pada pasal 209 KHI menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkat.
Dari uraian di atas, keberadaan anak angkat dalam kedudukannya terhadap harta warisan baik menurut hukum adat Jawa maupun KHI menimbulkan pertanyaan seperti telah dikemukakan dalam pokok masalah. Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut, kemudian penyusun melihat beberapa teori tentang keadilan hukum atau nilai-nilai hukum dalam sistem hukum adat Jawa serta KHI. Teori tersebut dapat digali dari aktifitas kehidupan masyarakat Jawa yang membentuk suatu norma hukum, serta berkaitan dengan keberadaan KHI yang ikut mengatur kehidupan masyarakat pada umumnya. Arti keadilan di dalam hukum adat Jawa dan KHI, menjadi pokok pembahasan yang mendasar untuk dapat dipahami lebih jauh.
Di dalam hukum adat terdapat nilai-nilai universal. soepomo, menyebutkan ada empat bagian yang termasuk dalam nilai-nilai tersebut, yaitu: nilai dengan asas gotong royong, fungsi sosial dan milik dalam masyarakat, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum, serta asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.[13] Sedang Anwar Harjono mengatakan bahwa tempat dan waktu adalah faktor yang penting dalam pembentukan hukum, hukum adat baru berlaku jika kaidah-kaidahnya tidak ditentukan dalam al-Qur’an  dan Sunnah Rasulullah, tetapi tidak bertentangan dengan kedua-duanya, sehingga tidak memungkinkan timbulnya konflik antara sumber-sumber hukum itu.
Menurut sistem hukum adat terdapat sendi-sendi hukum adat yang merupakan landasan  (fundamental), seperti dikatakan Soerojo Wignjodipoero bahwa hukum adat memiliki corak-corak tersendiri, yaitu:
-          mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat
-          mempunyai corak religio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam
-          hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba kongkrit
-          hukum adat mempunyai sifat yang visual.[14]
Dalam teori keadilan, Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan  bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut keadilan. Ada tiga prinsip keadilan yang diungkapkan oleh Rawls, yaitu prinsip kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan.[15] Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stabilitas hidup manusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, perlu ada aturan-aturan. Sehingga diperlukan hukum. Hukum akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.
Adapun prinsip-prinsip keadilan dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Yaitu di antaranya adalah tentang keadilan yang ditetapkan untuk manusia dalam kehidupan masyarakat, disebutkan dalam firman Allah SWT.

يايهاالذين امنواكونواقوامين لله شهدآءبالقسط ولايجرمنكم شنان قوم علىالاتعدلوااعدلواهواقرب للتقوىوالتقواالله ان الله خبيربماتعملون[16]


Keadilan dalam kehidupan masyarakat biasanya dikatakan sebagai keadilan sosial. Keadilan sosial ialah keseimbangan dalam hidup bermasyarakat, yang menyangkut sikap mental, tingkah laku dan perbuatan, serta untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan sikap dan tingkah laku manusia yang hidup dalam masyarakat, terjelma dalam bentuk nilai-nilai, hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Pada prinsipnya al-Qur’an menetapkan bahwa manusia itu mempunyai hak dan kewajiban yang berimbang antara sesama jenis dan sesama manusia; yang berbeda hanyalah aneka ragam usaha dan kerjanya. 

Metode Penelitian


1.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dengan jenis penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan kaidah atau norma hukum yang ada, mengenai kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa dan KHI. Sedang untuk mendapatkan data atau informasi tentang kedudukan anak angkat terhadap harta warisan ini, maka kemudian diadakan Library Research, sehingga penelitian inipun dinamakan  penelitian pustaka. Yaitu penelitian dengan meneliti data yang ada di perpustakaan yang berkenaan dengan pembahasan ini, data tersebut diambil dari bahan primer dan bahan skunder.[17] bahan primer tersebut, antara lain: buku-buku tentang hukum adat dan KHI, makalah tentang anak angkat, dan penelitian mengenai anak angkat. Sedang yang termasuk bahan  sekunder, adalah: kamus dan bibliografi.


2.Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Dengan sifat tersebut, maka pada penelitian ini akan digambarkan bagaimana keberadaan anak angkat dalam keluarga berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan baik menurut hukum adat Jawa maupun KHI. Gambaran tersebut akan menjelaskan bagaimana anak angkat dapat memperoleh harta warisan dari orang tua angkat.

3.   Pendekatan

Untuk memahami peraturan hukum mengenai kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa dan KHI, Penyusun menggunakan pendekatan filosofis. Dengan pendekatan ini, diharapkan Penyusun akan menemukan beberapa tujuan pemberian harta terhadap anak angkat dari orang tua angkat, prinsip keadilan hukum yang ada dalam hukum adat Jawa dan KHI. Sehingga ditemukan hakikat terdalam atas pemberian hak perolehan harta terhadap anak angkat tersebut.

4.   Pengumpulan data
Karena penelitian ini merupakan penelitian library risearch, maka dalam pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi. Dengan metode ini, Penyusun akan menelaah berbagai literatur atau buku-buku yang isinya membahas tentang kedudukan anak angkat terhadap harta warisan baik dalam hukum adat khususnya yang berlaku di Jawa maupun dalam KHI.

5.   Analisis data

Setelah Penyusun memperoleh data, maka  data-data tersebut diolah/dianalisa untuk diperiksa kembali validitas data dan sekaligus melakukan kritik sumber dengan metode komparatif, yaitu memperbandingkan antara dua sistem hukum tentang pemberian harta terhadap anak angkat. Selanjutnya dilakukan penafsiran terhadap makna kata-kata dan kalimat-kalimat tersebut kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif yang kemudian dilaporkan secara deskriptif.

Sistematika Pembahasan

Melalui metode penelitian tersebut di atas, maka untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, kiranya perlu disusun secara sistematik dengan membaginya dalam beberapa bab sebagai berikut:

Bab I. Merupakan pendahuluan yang  digunakan sebagai rambu-rambu atau frame  bagi pembahasan selanjutnya. Adapun isinya meliputi; Latar belakang masalah, Pokok masalah, Tujuan dan kegunaan, Telaah pustaka, Kerangka teoretik, Metode penelitian, dan  Sistematika pembahasan.

Bab II. dalam bab II penelitian ini membahas tentang Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa. pada pembahasan ini diuraikan secara berurut, yaitu: Hukum adat Jawa, Anak angkat dalam perspektif hukum adat Jawa, Hukum kewarisan adat Jawa, dan Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa.

Bab III. Bab ini merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya yang kali ini membicarakan tentang Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam KHI. Pada pembahasannya diuraikan beberapa hal, antara lain: KHI, Hukum kewarisan KHI, dan Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam KHI, termasuk di dalamnya adalah mengenai wasiat wajibah bagi anak angkat.

Bab IV. Menguraikan secara faktual berbagai alasan tentang pemberian hak terhadap anak angkat atas harta yang ditinggalkan oleh orang tua angkat baik menurut hukum adat Jawa maupun KHI. Alasan-alasan tersebut di ambil dari maksud dan tujuan serta prinsip keadilan hukum mengenai harta warisan berkaitan dengan kedudukan anak angkat atas keberadaannya dalam keluarga yang mengangkat. Karena itu dalam pembahasannya disebutkan: Peradilan harta dalam hukum adat Jawa dan KHI.

Bab.V. Adalah bab penutup dari pembahasan dalam penelitian ini yang  merupakan analisa menyeluruh dari bab-bab sebelumnya yang dijadikan kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dan pada bagian akhir akan ditambahkan beberapa saran.


Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tag: KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN DALAM HUKUM ADAT JAWA

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net