Senin, 26 Maret 2012

Konsep Otentitas Wahyu Tuhan dalam Hermeneutika Hassan Hanafi

Konsep Otentitas Wahyu Tuhan dalam Hermeneutika Hassan Hanafi
                  
tauhid



Skripsi ini berjudul "Konsep Pendidikan Tauhid Dalam Keluarga” .Judul tersebut mengandung pengertian yang perlu penjelasan, penegasan, serta ruang lingkup agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami judul dan keinginan penulis.
1. Konsep merupakan kata atau istilah serta simbol untuk menunjuk pengertian dari pada barang sesuatu baik konkret maupun sesuatu hal yang bersifat abstrak.[1] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep berarti sebagai rancangan ide, gambaran, atau pengertian dari peristiwa nyata atau konkret kepada yang abstrak dari sebuah obyek maupun proses.[2] Sedangkan konsep dalam penulisan ini ialah sejumlah rancangan, ide, gagasan, gambaran atau pengertian yang bersifat konkret maupun abstrak tentang  materi dan metode pendidikan tauhid dalam keluarga menurut pendidikan Islam.
2. Pendidikan, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan dapat diartikan sebagai proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan;proses, perbuatan, cara mendidik.[3]
Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha orang tua atau generasi tua untuk mempersiapkan anak atau generasi muda agar mampu hidup secara mandiri dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. Orang tua atau generasi tua memiliki kepentingan untuk mewariskan nilai, norma hidup dan kehidupan generasi penerus. Ki Hajar Dewantara mengatakan…
“… mendidik ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[4]

3. Tauhid, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tauhid merupakan kata benda yang berarti keesaan Allah; kuat kepercayaan bahwa Allah hanya satu. Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata wahhada (وحد) yuwahhidu (يوحد.Secara etimologis, tauhid berarti keesaan. Maksudnya, keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa;Tunggal;satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah”; mentauhidkan berarti “mengakui akan  keesaan Allah;mengeesakan Allah”.[5] Jubaran Mas’ud menulis bahwa tauhid bermakna “beriman kepada Allah, Tuhan yang Esa”, juga sering disamakan dengan لااله الا الله” “tiada Tuhan Selain Allah”.[6] Fuad Iframi Al-Bustani juga menulis hal yang sama. Menurutnya tauhid adalah Keyakinan bahwa Allah itu bersifat “Esa”.[7]Jadi tauhid berasal dari kata “wahhada” (وحد) “yuwahhidu” (يوحد) “tauhidan” (توحيدا), yang berarti mengesakan Allah SWT.[8]
                  Menurut Syeikh Muhammad Abduh tauhid ialah :
 suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan pada-Nya.Juga membahas tentang rasul-rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, apa yang boleh dihubungkan (dinisbatkan) kepada mereka, dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka.[9]

            Menurut Zainuddin, tauhid berasal dari kata “wahid”(واحد) yang artinya “satu”. Dalam istilah Agama Islam, tauhid ialah keyakinan tentang satu atau Esanya Allah, maka segala pikiran dan teori berikut argumentasinya yang mengarah kepada kesimpulan bahwa Tuhan itu satu disebut dengan Ilmu Tauhid.[10]
Ada beberapa istilah lain yang semakna atau hampir sama yakni :
a. Iman.
Menurut Asy ‘ariyah iman hanyalah membenarkan dalam hati. Senada dengan ini Imam Abu Hanifah mengatakn bahwa iman hanyalah ‘itiqad. Sedangkan amal adalah bukti iman. Namun tidak dinamai iman. Ulama Salaf di antaranya Imam Ahmad, Malik, dan Syafi’i, iman adalah
اعتقاد بالجنان ونطق باللسان وعمل بالاركان
“Iman adalah sesuatu yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh”.[11]
b.  Aqidah.
Menurut bahasa ialah keyakinan yang tersimpul kokoh di dalam hati, mengikat, dan merngandung perjanjian. Sedangkan menurut terminologis di antaranya pendapat Hasan al-Banna mengatakan bahwa aqidah ialah beberapa hal yang harus diyakini kebenarannya oleh hati, sehingga dapat mendatangkan ketenteraman, keyakinan yang tidak bercampur dengan keragu-raguan.[12]Penyusun cenderung kepada pendapat Yunahar Ilyas yang mengidentikkan antara tauhid, iman, dan aqidah. Tauhid merupakan tema sentral aqidah dan iman.[13]
Setelah menguraikan kata pendidikan dan tauhid penulis perlu memberikan batasan dan ruang lingkup. Pendidikan tauhid dalam penulisan ini difokuskan kepada usaha yang dilakukan orang tua untuk menumbuhkan kekuatan kodrat anak, agar mereka menjadi manusia muslim yang meyakini keesaan Allah , serta dapat mengamalkan ketauhidan yang ia miliki dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, melalui pengajaran, latihan, dan metode tertentu untuk menyampaikan materi-materi ketauhidan, yakni ilahiyat, nubuwat, ruhaniyat, dan sam’iyyat.
 4. Dalam, adalah kata adjektiva, dan jika bertemu dengan kata benda bermakna lingkungan daerah (negeri, keluarga) sendiri.[14]
5. Keluarga, kata benda ini dimaksudkan untuk ibu bapak beserta anak-anaknya;seisi rumah.[15] Menurut Masjfuk Zuhdi, keluarga merupakan satu kesatuan sosial terkecil dalam masyarakat yang telah diikat oleh tali perkawinan yang sah atau resmi.[16]Keluarga dalam penulisan ini adalah keluarga muslim, mengutip pendapat Khatib Ahmad Santhut bahwa keluarga muslim adalah keluarga dengan ayah dan ibu yang memegang teguh ajaran Allah SWT dan Sunnah Rasul, karena itu keluarga muslim merupakan intisari dan paling prinsipil dalam usaha membentuk, dan mewujudkan masyarakat muslim.[17]
Dari penegasan istilah tersebut penulis dalam skripsi ini meneliti dan membahas proses bimbingan yang dapat dilakukan oleh orang tua terhadap perkembangan ketauhidan anak-anaknya dengan bahan-bahan materi ketauhidan yang meliputi keilahiyatan, kenubuwatan, keruhaniyatan, dan kesam’iyatan tertentu dalam jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu yang diarahkan terciptanya pribadi yang berkepribadian bertauhid sesuai dengan ajaran Islam dalam sejumlah rancangan ide, gagasan, atau pengertian tentang pendidikan tauhid yang difokuskan pada masalah materi dan metodenya. Materi dalam penulisan ini bagaimana disampaikan secara bertahap sesuai dengan metode yang digunakan menurut perkembangan dan kemampuan anak-anak.

B.     Latar Belakang Masalah

Islam lahir membawa akidah ketauhidan, melepaskan manusia kepada ikatan-ikatan kepada berhala-berhala, serta benda-benda lain yang posisinya hanyalah sebagai makhluk Allah SWT. Ketauhidan yang membawa manusia kepada kebebasansejati terhadap apapun yang ada, menuju kepada ketundukan kepada Allah SWT. Penanaman tauhid ini dilakukan selama 13 tahun oleh Rasulullah SAW, waktu yang cukup panjang, namun hanya 40 orang saja yang mampu melepaskan budaya nenek moyangnya, berani mengingkari leluhur mereka, dan menuju jalan yang terang “tauhid Islamiyah”. Semua utusan Allah membawa pesan yang sama yakni tauhid bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Saat ini, di era modern ini, kita bersyukur sebagian besar penduduk bangsa ini telah menganut Islam sebagai agamanya, melepaskan adat budaya yang berusaha dihapus dan dihilangkan oleh para pembawa Islam jika budaya tersebut bertentangan dengan prinsip ketauhidan menurut Al Quran dan Al Hadits. Keyakinan terhadap budaya animisme dan dinamisme, kepercayaan akan kekuatan batu besar, pohon besar, kuburan seorang tokoh masyarakat, semua itu tidak dapat mendatangkan kebaikan dan moderat, hanya Allah-lah yang mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Kedua jenis kepercayaan tersebut saat ini sudah mulai terkikis.
Budaya tersebut kini mulai hilang sebenarnya, namun masyarakat mulai disuguhi informasi-informasi yang kembali membawa budaya animisme-dinamisme, informasi-informasi yang seharusnya diluruskan kembali agar sesuai dengan ajaran Islam. Media cetak contohnya banyak mencekoki masyarakat dengan cerita-cerita yang “bertentangan” dengan ketauhidan, seperti majalah Mistis, tabloid Posmo, koran Merapi, majalah Liberty.Ditambah lagi tayangan-tayangan televisi dan layar lebar, meskipun diniatkan hanya sebagai hiburan, tapi tidak sedikit yang menjadi takut akan gelap, pohon yang dikatakan angker, harus diruwat, diberi sesaji, serta tidak sedikit yang lebih percaya kepada dukun atau paranormal ketimbang keyakinannya akan kekuatan dan kekuasaan Allah SWT. Meskipun tidak semua tayangan dan pemberitaan tersebut negatif.
Sebagaimana alasan yang dikemukakan oleh bangsa Arab ketika itu, sebenarnya mereka masih mengakui dan meyakini hanya ada satu Tuhan yang menciptakan dan memelihara alam ini, akan tetapi mereka berdalih bahwa dewa, berhala yang mereka sembah hanyalah sebagai jalan untuk menyampaikan doa dan harapan mereka kepada Allah, Tuhan Yang Maha Tinggi.Akankah kita  kembali menggunakan alasan kaum Arab Jahiliyah?.
Sebagai contoh, Film layar lebar berjudul Jelangkung mencoba mengangkat tema horor yang banyak terjadi di masyarakat. Sineas muda Rizal Mantovani yang menggarap film itu , menyajikan sisi lain. Oleh Rizal, penggarapannya di sajikan pada sisi lain;pencahayaan yang dipadukan dengan setting alam, serta dukungan efek komputer lumayan, sehingga tercipta suasana mencekam, penuh kejutan-kejutan yang sulit ditebak.Hasilnya, meski banyak penonton yang takut, tetap saja membludak.
Sebenarnya terasa tidak berlebihan, bila kita menyebut Jelangkung adalah awal dari fenomena baru tayangan-tayangan misteri saat ini. Bahkan banyak perusahaan film di Tanah Air cenderung berlomba-lomba menggarap tayangan-tayangan bertema misteri atau horor. Sebut saja film Kafir (Satanic) yang diharapkan mengikuti kesuksesan Jelangkung, atau Titik Hitam yang mencoba menyiasati sisi lain sebuah tema misteri kegaiban.
Barangkali, munculnya tayangan film seperti itu baru mengikuti tren yang berkembang di masyarakat. Animo luar biasa terhadap tontonan yang berbau mistis saat ini lebih terasa bila dibandingkan tiga atau empat tahun lalu.
“Di antara beragam faktor yang menjadi penunjang tumbuh-suburnya perilaku mistik dan klenik di tengah bangsa Indonesia, tak pelak dipicu oleh sejumlah media massa, baik media cetak, lebih-lebih medium televisi. Medium yang terakhir ini (televisi), karena bersifat audio-visual, mempunyai daya cengkeram pengaruh yang amat dahsyat….”[18]

Tayangan-tayangan yang mengangkat hal-hal diluar jangkauan indrawi merebak di semua stasiun televisi, dari yang pakai trik kamera sampai yang minus rekayasa.Rasa ketakutan tapi disukai penonton dan sesuai rumus dagang, iklanpun berdatangan. Namun, orang tua yang jadi korban. Munculnya fenomena tayangan mistis di layar kaca, menurut pengamat televisi Garin Nugroho, tak lain karena ketatnya persaingan di antara TV-TV swasta untuk mendapatkan pesanan iklan. “Sebelas stasiun televisi yang bersifat nasional itu cukup berat bersaing untuk mendapatkan kue yang tetap kecil.” katanya.[19]Merebaknya program sejenis ini, tak bisa dipungkiri, diawali oleh program “Kismis” dari stasiun RCTI sejak tahun 2001.[20]
Pertanyaannya, apakah tayangan-tayangan seperti ini layak disajikan kepada penonton di tengah hiruk-pikuk kemoderenan teknologi? Barangkali, fenomena itu hanya sebuah alternatif di tengah-tengah kejenuhan tayangan soal politik, atau karena tak kunjung redanya krisis multidimensional yang tengah melanda negeri ini? Bisa saja itu sebagai Jawaban. Tetapi siapa tahu, justru tontonan semacam itu memang sudah dinantikan kehadirannya.Atau, jangan-jangan malah sebuah “proses pembodohan” yang menggiring kembali ke pola pikir masa lalu (back to traditional), sehingga lupa bahwa kita sedang memasuki dunia pasar bebas di era globalisasi!.[21]

Penceramah Lutfiah Sungkar mengatakan bahwa tayangan misteri dapat merusak akhlak dan sangat tidak mendidik. “Itu jadi menyesatkan umat,” ujar Lutfiah. Itulah sebabnya, kakak kandung aktor Mark Sungkar ini menghimbau kepada sejumlah pihak ikut peduli, seperti Departemen Agama untuk memperhatikan masalah ini. “Tolong diseleksi betul-betul,” kata Lutfiah.[22]
Tayangan supranatural itu tentu mengancam benteng aqidah seseorang. Keyakinan akan kehebatan, kesaktian dukun atau menganggap bahwa sebuah rumah itu ada sang penunggunya, sehingga perlu diberikan sesaji agar terhindar dari gangguannya, sesungguhnya merupakan perbuatan kufur. Tanpa harus mempercayai pun sesungguhnya manusia sudah diberikan kesempurnaan yang lebih layak ketimbang setan tersebut. Hanya saja, antisipasi agar terhindar dari bahaya syirik tentu harus semakin diperkokoh dengan menghindari tontonan yang justru akan merusak aqidah Islam seseorang tentu bagi yang masih rapuh ketauhidannya.[23]Meskipun tidak seluruh tayangan mistis berdampak negatif.
 Masalah-masalah gaib kini menjadi topik dalam beberapa tayangan tayangan televisi, jin, setan hantu, pohon angker dan pesugihan, meskipun tayangan tersebut memberikan informasi bagi para penontonnya, namun hal ini membuat penulis tertarik ingin mengangkat masalah ketauhidan, masalah klasik namun harus tetap dan wajib bagi seorang muslim.
Dalam masa-masa dan keadaan krisis, manusia sangat membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, mereka mendatangi siapa saja yang mereka anggap mampu menolong mereka seperti, orang-orang suci, para nabi, imam, para syuhada, bahkan meminta pertolongan pada malaikat dan peri. Dengan berbaiat dan bersumpah kepada para penolong itu, mereka memohon pertolongan yang mereka harap, dengan memohon agar yang mereka datangi itu bisa memenuhi keinginan mereka. Kadang ada juga menawarkan sesuatu persembahan yang istimewa kepada para penolong itu, sehingga (menurut pikiran mereka) akan lebih memperbesar kemungkinan akan terkabulnya semua keinginan mereka.[24]
Dari paparan di atas, jelas terlihat bahwa sebagian umat Islam masih ada yang melakukan cara-cara yang dilakukan oleh orang non muslim dalam memperlakukan dewa-dewi mereka, kepada paranabi, orang-orang suci, imam, syuhada, malaikat dan roh halus. Namun, meski mereka melakukan dosa-dosa seperti di atas, mereka tetap mengaku masih sebagai orang Islam yang mereka merasa perbuatan itu tidak mengurangi kualitas keislamanya[25]
Sungguh benar firman Allah :
وما يؤمن اكثرهم بالله الا وهم مشركون   (سورة يوسف : 106)
Artinya : Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). [26]
                  Lebih jauh lagi kita diperingatkan, bahwa siapapun yang berdoa kepada seseorang sebagai perantaranya, juga tergolong musyrik sebagaimana firman Allah :
 الا لله الدين الخالص والذين اتخذوا من دونه اولياء ما نعبدهم الا ليقربونا الى
 الله زلفى ان الله يحكم بينهم في ماهم فيه يختلفون ان الله لايهدي من هو كاذب كفار
 )الزمر : 3)
Artinya :Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) : “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.[27]

Kepribadian muslim dibentuk sejak dini, orang tua sebagai seorang muslim haruslah memiliki keyakinan akidah tauhid yang berkualitas. Namun alangkah baiknya jika orang tua juga mengerti materi-materi ketauhidan, sehingga orang tua dapat membekali anak-anaknya dengan keilmuan yang didukung dengan ketauladanan tauhid sehingga terbentuk kepribadian seorang muslim sejati.
Semakin kurang tauhid seorang muslim, semakin rendah pula kadar akhlak, watak kepribadian, serta kesiapannya menerima konsep Islam sebagai pedoman dan pegangan hidunya. Sebaliknya, jika akidah tauhid seseorang telah kokoh dan mapan (established), maka terlihat jelas dalam setiap amaliahnya. Setiap konsep yang berasal dari Islam, pasti akan diterima secara utuh dan dengan lapang dada, tanpa rasa keberatan dan terkesan mencari-cari alasan hanya untuk menolak.Inilah sikap yang dilahirkan dari seorang muslim sejati.[28]
Islam atau Al Quran menghendaki agar pengabdian, pemujaan, atau ketaatan hanya tertuju kepada Tuhan, dan bila berdoa taua berharap kepada-Nya, haruslah bersifat langsung tanpa perantara seperti yang dilakukan kaum musyrikin.
قل هو الله احد {1}  الله الصمد {2}  لم يلد ولم يولد  {3}  ولم يكن له كفوا احد {4} (سورة الاخلاص : 1-4)
Artinya :    Katakanlah : “Dialah Allah , Yang Maha Esa, Allah adalah tuhan Yang bergantung kepadanya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.[29]

Pemurnian tauhid menolak segala bentuk kemusyrikan bahwa tidak ada satukekuatanpun yang menyamai Allah SWT. Tetapi sayangnya bahwa akidah itu telah dicampuri”-secara keseluruhan-oleh pemikiran-pemikiran yang diada-adakan  oleh manusia, bahkan ada yang dinodai oleh sekumpulan pendapat yang tidak mencerminkan keyakinan yang hak. Oleh sebab itu, lalu tidak dapat mendalam sampai ke dasar jiwa dan tidak pula dapat mengarahkan ke jurusan yang bermanfaat dalam kehidupan ini, juga tidak dapat memberi pertolongan untuk dijadikan pendorong guna menempuh jalan yang suci yang mencerminkan kemurnian peri kemanusiaan serta keluruhan ruhaniah.[30]
يأيها الذين امنوا قوا انفسكم واهليكم نارا ... (سورة التحريم : 6)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka “.[31]
Lembaga pendidikan merupakan salah satu institusi harapan masyarakat, begitu pula keluarga. Keluarga merupakan pencetak dan pembentuk generasi-generasi bangsa dan agama. Generasi yang memiliki otak yang handal dan moral atau etika yang berkualitas. Secara ideal, pendidikan Islam berupaya untuk mengembangkan semua aspek kehidupan manusia dalam menacapai kesempurnaan hidup, baik yang berhubungan dengan manusia, terlebih lagi dengan sang Pencipta.[32]
Keluarga adalah lingkungan pertama bagi pembentukan ketauhidan anak. Orangtua adalah unsur utama bagi tegaknya tauhid dalam keluarga, sehingga setiap orang wajib memiliki tauhid yang baik, sehingga dapat membekali anak-anaknya dengan ketauhidan dan materi-materi yang mendukungnya, disamping anak dapat melihat orang tuanya sebagai tauladan yang memberikan pengetahuan sekaligus pengalaman, dan pengarahan
Jika latihan-latihan dan bimbingan agama terhadap anak dilalaikan orang tua atau dilakukan dengan kaku dan tidak sesuai, maka setelah dewasa ia akan cenderung kepada atheis bahkan kurang perduli dan kurang membutuhkan agama, karena ia tidak dapat merasakan apa fungsi agama dalam hidupnya. Namun sebaliknya jika pendidikan tentang Tuhan diperkenalkan sejak kecil, maka setelah dewasa akan semakin dirasakan  kebutuhannya terhadap agama.[33]
Anak adalah amanat Allah kepada para orang tua. Amanat adalah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang yang pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawaban. Firman Allah :
يأيها الذ ين امنوا لاتخونواالله والرسول وتخونوا امنتكم وانتم تعلمون
(سورة الانفال : 27)
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati manat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. [34]

Anak merupakan salah satu bagian dalam keluarga, sehingga secara kodrati tanggung jawab pendidikan tauhid berada di tangan orang tua. Kecenderungan anak kepada orang tua sangat tinggi, Apa yang ia lihat, dengar dari orang tuanya akan menjadi informasi belajar baginya.
 Sehingga hanya dengan keluarga-keluarga yang memegang prinsip akidah ketauhidan, dapat melahirkan generasi-generasi berkepribadian Islam sejati, yang menjadikan Allah SWT sebagai awal dan tujuan akhir segala aktivitas lahir dan batin kehidupannya.

C.    Rumusan Masalah

Dari latar Belakang masalah yang telah diuraikan, penulis ingin mengetahui beberapa hal dari hasil penelitian ini yakni :
1.      Bagaimana urgensi pendidikan tauhid dalam keluarga ?
2.      Bagaimana konsep pendidikan tauhid dalam keluarga?

D.    Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :
1.      Mengetahui urgensi pendidikan tauhid dalam keluarga
2.      Mengetahui konsep pendidikan tauhid dalam keluarga.
3.      Mengetahui metode dan materi pendidikan tauhid dalam keluarga.
Kegunaan penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai :
1.      Diharapkan memiliki nilai akademis dan mampu memberikan sumbangan pemikiran tentang pendidikan tauhid dalam keluarga, khususnya di lingkungan Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2.      Sebagai informasi bagi setiap orang tua keluarga bagaimana memberikan pendidikan tauhid dan materi yang disampaikan kepada anak-anak mereka.
3.      Pola dalam membentuk masyarakat yang bertauhid sebagai modal untuk membangun bangsa, serta sebagai solusi alternatif  terhadap masalah yang dihadapi bangsa.
4.      Bagi penulis agar menambah wawasan tentang konsep pendidikan tauhid, sebagai modal untuk berkeluarga nantinya.

E.     Alasan Pemilihan Judul.

Didasarkan karya ilmiah dan wacana pendidikan Islam, frame”Konsep  pendidikan Tauhid Dalam Keluarga perspektif pendidikan Islam” , belum ada yang menulis secara khusus. .Dengan beberapa point alasan, mengapa judul-tema tersebut diangkat :
1.      Pendidikan Tauhid merupakan landasan utama seorang muslim, identitasnya ditentukan oleh ketauhidannya yang benar, dia adalah sebuah pondasi bangunan, kuat tidaknya bangunan ditentukan oleh “pondasinya”, ia adalah akar sebuah pohon, hidup matinya pohon tergantung sehat tidaknya;kuat rapuhnya akar sang pohon. Sehingga “Tauhid” menjadikan seorang muslim hanya tunduk, patuh pasrah kepada Allah. Pengakuan  tersebut harus dicerminkan dengan keyakinan teguh dalam hati sampai akhir hayat, juga diucapkan secara lisaniyah, serta teraplikasi dalam setiap aktivitas gerak fisik.
2.      Begitu pun kajian tentang pendidikan tauhid dalam keluarga secara praktis belum banyak dikembangkan, meskipun banyak dikaji dan dibahas oleh para tokoh pendidikan muslim, di era informasi ini, media memberikan semua informasi yang diinginkan termasuk informasi hal-hal gaib dan mistis.Oleh sebab itu bagaimana orang tua menjadi sumber informasi utama dan pokok bagi anak-anaknya diantaranya yang paling penting informasi tentang ketauhidan.
3.      Karena anak lahir dan hidup pertama sekali dalam keluarga, ia belajar dari orang tuanya, begitu pula informasi terbaik bahkan terburuk, informasi yang benar bahkan yang salah diterima pertama kali dalam keluarga. Begitupun  informasi ketauhidan yang ia peroleh dari orang tua, harus lebih ia percayai dari pada dari hasil ia menonton tv ataupun media lainnya.

F.     Telaah Pustaka

Berdasarkan penelusuran penulis terhadap karya ilmiah skripsi/tesis/disertasi diperpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bahwa yang membahas tentang pendidikan tauhid dalam keluarga belum penulis temukan secara khusus, namun ada beberapa skripsi yang menulis tentang pendidikan keimanan. Namun yang menggunakan istilah pendidikan tauhid hanya ada sebuah skripsi saudari Hartani ( 1999), Fakultas Tarbiyah, jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI),  yang berjudul “Pendidikan Tauhid Pada Usia Remaja” ,saudari Hartani hanya sedikit menjelaskan tentang pendidikan tauhid bagi anak remaja dalam keluarga. Dijelaskan bahwa perkembangan keberagamaan diusia remaja menuntut orang tua harus mampu menjadi teman bagi anak-anak mereka, karena pada usia tersebut remaja memerlukan teman – sahabat yang bisa ia ajak bicara, maka jika orang tua tidak mampu menjadi sosok seorang teman-sahabat bagi anaknya diusia remaja, sangat sulit untuk membimbing, juga memberikan informasi tentang “ketauhidan”.
Skripsi saudara Hunainin (1996) Fakultas Tarbiyah, jurusan Pendidikan Agama Islam, yang berjudul “ Pendidikan Keimanan Bagi Anak Menurut Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan, Dalam Kitab Tarbiyah Al-Aulad Fi Al Islam (Tujuan , Materi, Dan Metode)”.  Dia menjelaskan bahwa pendidikan keimanan bagi anak bertujuan untuk membentuk anak yang bertanggungjawab, jujur, dan terhindar dari sifat-sifat kebinatangan.  Tanggugjawab ini dipikul oleh orang tua, sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Selanjutnya skripsi saudara Silahuddin (1998) Fakultas Tarbiyah, jurusan Pendidikan Agama Islam dengan judul “Pendidikan Keimanan Pada Usia Anak (Tinjauan Psikologis)”. Dia menyimpulkan bahwa pendidikan keimanan pada usia anak yakni usia 0-12 tahun, metode yang paling baik adalah dengan metode keteladanan. Hal ini disebabakan oleh pertumbuhan psikomotor anak dan perkembangan anak. Dia menekankan kepada asma-asma Allah sebagai materinya, dengan harapan anak dapat meresapi dan mengamalkannya di kehidupannya di masa yang akan datang.
Selain itu ada beberapa skripsi yang membahas tentang pendidikan anak dalam keluarga salah satunya skripsi milik saudari Anik Suryani Latifah (2003) Fakultas Tarbiyah, jurusan Kependidikan Islam, berjudul “Pendidikan Keluarga Membentuk Anak Shaleh Yang Cerdas Dan Kreatif”, ada satu paragraf yang sekilas menjelaskan pendidikan tauhid dalam keluarga bagi anak.Keteladanan nampak ditonjolkan sebagai metode orang tua dalam mendidik anak-anak mereka.
Skripsi saudari Bahisatul Badiyah (1996) Fakultas Tarbiyah, jurusan PAI, menulis “Mendidik Anak Dalam Keluarga Menurut Pendidikan Islam”, dijelaskan dalam skripsinya bahwa agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada masa kecil;sehingga orang tua harus menanamkan dasar keimanan yang bersih dan membiasakan dengan ibadah. Dimulai dengan menanamkan kalimat La Ilaha illa Allah, sebagai kalimat tauhid yang pertama sekali didengar anak melalui adzan yang diucapkan sang ayahnya.Berpijak pada QS. Luqman ayat 13 bahwa tugas awal adalah menanamkan pendidikan tauhid keimanan kepada Allah SWT.
Selanjutnya ada skripsi saudari Umi Sa’adah (1998) “Pendidikan Islam Dalam Keluarga : Telaah kitab Sahih Bukhari” Fakultas Tarbiyah, jurusan PAI, mengungkapkan bahwa keluarga adalah pendidikan pendahuluan dan memparsiapkan anak untuk lembaga sekolah dan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan kualitas keluarga yakni dalam memilih calon isteri maupun suami menjadikan agama sebagai prioritas utama. Begitu juga dalam mengisi pertumbuhan awal anak diprioritaskan kepada pendidikan agama, salah satu pokoknya ialah pendidikan iman atau aqidah.
Kemudian skripsi berjudul “Pendidikan Islam Dalam Keluarga : Studi atas pemikiran KH. Abdurrahman Ar-Roisi” yang ditulis oleh Umar Faruq (2003) Fakultas Tarbiyah, jurusan Kependidikan Islam sedikit menyinggung tentang keluarga idaman disebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam dalam keluarga adalah menciptakan keluarga idaman yakni bahagia lahir-batin, dunia dan akhirat. Sebagai langkah awalnya ialah pendidikan pembentukan keyakinan kepada Allah yang dapat diharapkan melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian anak.
Skripsi saudara Setiyo Budiono (1999) Fakultas Tarbiyah, jurusan PAI, menulis “ Pendidikan Keluarga Dalam Islam : Suatu Kajian Teoritis”. Menjadikan anak sebagai pusat pembahasannya (children centereted), dibahas sekilas tentang pendidikan tauhid karena salah satu fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan (education).
Namun penelitian pada tulisan tetap memiliki perbedaan dengan skripsi-skripsi di atas, karena lebih difokuskan kepada konsep pendidikan tauhid dalam keluarga untuk anak. yang akan membahas tentang urgensi, metode serta materinya secara eksplisit.

G.    Kerangka Teoritik

Kepercayaan atau keyakinan akan yang gaib merupakan pokok kepercayaan keagamaan bagi setiap agama yang berdasarkan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dicapai dengan penglihatan indera mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha mengetahui (Al An’am :103),
لاتدركه الابصار وهو يدرك الابصار وهو اللطيف الخبير (سورة الانعام :103)[35]
Sehingga dikatakan bahwa sesunggguhnya ciri khas kepercayaan beragama adalah mempercayai semua hal yang metafisik  atau gaib.[36]
Beriman kepada hal-hal yang gaib bagi kaum muslimin bukanlah sesuatu hal yang bertentangan dengan hukum akal, tapi merupakan suatu hal yang melampaui ruang lingkup indera dan alam nyata. Logikapun membenarkan pengambilan dalil atau bukti  dari sesuatu yang konkret ataupun  nyata sebagai bukti adanya yang gaib.Keterkaitan antara yang nyata dengan yang gaib, yang saling mendukung eksistensi Atau dari yang suatu yang ada diluar jangkauan indera. Demikian Al Quran menetapkan dalil tentang ciptaan Allah yang konkret sebagai tanda adanya sang pencipta, yang merupakan zat yang tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.[37]
Tunduk kepada kemampuan khayalan dan mengikatkan diri semata-mata pada kecenderungan akal, ditambah lagi ketidaktahuan terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui, adalah jalan menuju kesesatan. Akal tidak dapat menjadi pegangan pokok dalam meyakini sebuah kebenaran.Kekeliruan persepsi, karena mengutamakan akal tanpa diringi bimbingan wahyu akan menyebabkan rusaknya akidah.[38]
Diturunkannya akidah Islam yang komprehensif, memenuhi tuntutan emosi dan rasio, mengajarkan kepada manusia apa yang tidak mereka ketahui sebelumnya, karena akal memiliki batas-batas dan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan, lalu menyinari jalan yang dilaluinya. Karena itu, barang siapa mengikuti apa yang diajarkan oleh wahyu Allah SWT, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, kemudian beriman kepada segala sesuatu yang disampaikan oleh Al Quran, berarti ia telah memperoleh petunjuk, dilindungi dan dipenuhi segala kebutuhannya.Dan barangsiapa menyimpang dari ajaran wahyu-Nya, berarti ia telah disesatkan setan : Barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, maka tidaklah dia mempunyai cahaya (petunjuk) sedikitpun (QS. An-Nur :40).[39]
...ومن لم يجعل الله له نورا فما له من نور (سورة النور :40)[40]
Mengingat pentingnya iman bagi seseorang, maka sudah seharusnya bila pendidikan Islam menetapkan tauhid ini menjadi pondasi yang pertama. Artinya, pendidikan Islam tidak boleh bertentangan dengan konsep ketauhidan dan harus menumbuhkan serta memperkuat pertumbuhannya secara positif.[41]
Saat ini manusia telah dapat mengetahui banyak hal yang dahulu hanya diketahui melalui akal. Dengan ilmunya yang yang melahirkan alat-alat yang sangat canggih, manusia telah mampu mengetahui bentuk fisik hal-hal tersebut  setelah melalui berbagai penelitian dan dengan menggunakan alat-alat tertentu, walaupun benda-benda tersebut tidak dapat dilihat dengan hanya menggunakan mata telanjang tanpa bantuan alat-alat canggih yang mampu menambah jangkauan penglihatan mata yang tadinya terbatas.[42]
Manusia percaya sepenuhnya terhadap keberadaan hal-hal tersebut  tanpa mempertanyakan lagi wujud fisiknya. Manusia hanya mengetahui aktifitas yang dihasilkan dari gerakan dan keberadaan benda-benda tersebut. Hal ini merupakan suatu bukti bahwasannya Allah SWT telah menciptakan banyak hal yang tidak kasat mata, yang esensinya tidak mampu dijangkau oleh akal.[43]

 Kitab Al Quran telah mengikrarkan bahwa tauhid  adalah akidah universal (syamil). Maksudnya, akidah yang yang mengarahkan seluruh aspek kehidupan dan tidak mengotak-ngotakkannya. Seluruh aspek dalam hidup manusia hanya dipandu oleh hanya satu kekuatan, yaitu tauhid. Konsekuensinya ialah penyerahan (Islamisasi) manusia secara total – mulai dari kalbu, wajah, akal pikiran, qaul (ucapan), hingga amal – kepada Allah semata-mata.[44]
Tauhid, hakekat dan maknanya terdiri dari tiga kriteria yang talazum (simbiosis mutualisme), satu sama lain tidak dapat terpisahkan. Ketiga kriteria tersebut adalah : 1.Tauhid Rububiyah, 2.Tauhid Uluhiyah, 3.Tauhid al-Hakimiyyah.

1. Tauhid Rububiyah

Yang dimaksud dengan Rububiyah di sini adalah melekatkan semua sifat-sifat ta’tsir (yang mengandung unsur dominasi atau pengaruh) pada Allah SWT, umpamanya sifat Pencipta, Pemberi rezeki, Pengatur alam, Yang menghidupkan, mematikan, Pemberi petunjuk, dan sebagainya.
Maka Allah Ta’ala adalah Robb, Penguasa seluruh alam, tak ada Tuhan selain Dia. Dialah Pencipta, Yang menghidupkan dan mematikan, Yang menetapkan seluruh aturan dan hukum atas semua makhluk-Nya. Di tangan-Nya terletak kerajaan dan kekuasaan mutlak. Bertindak di alam ini sebagaimana keinginan-Nya, tanpa ada yang bisa menghalangi dan menghambat-Nya. Hanya Dia yang mampu memberikan manfaat/keuntungan dan mendatangkan mudharat.[45]
2. Tauhid Uluhiyah
Maksudnya bahwa hanya Allah SWT semata-mata yang berhak diperlakukan sebagai tempat khudhu’ (tunduk/merendah) oleh hambaNya dalam beribadah dan taat.Dengan kata lain, tak ada yang berhak dipatuhi secara mutlak selain Allah SWT. Semua manusia adalah hamba Allah. Hamba yang betul-betul berlaku dan berpenampilan sebagai hamba. Bukan hamba yang berlagak sebagai “raja”. Manusia tidak berhak memperbudak manusia lainnya, dengan alasan apapun. Seluruh penguasa di muka bumi harus tunduk kepada penguasa tunggal:Allah SWT.[46]
3. Tauhid al-Hakimiyyah.
pembahasan konsep tauhid ini, yaitu Tauhid al-Hakimiyyah. Konsep ini mungkin sudah terkandung dalam pengertian “Uluhiyah”, tapi masih bersifat global. Pemisahan ini bertujuan agar lebih menonjolkan kehakimiyahan Allah secara tersendiri.Makna al-Hakimiyyah ialah hanya Allah-lah yang berhak membuat ketentuan, peraturan, dan hukum.[47]

Islam takkan ada tanpa tauhid, bukan hanya Sunnah Nabi kita jadi patut diragukan dan perintah-perintahnya bergoncang-goncang kedudukannya; pranata kenabian itu sendiri akan hancur tanpa tauhid.[48]
Ismail Raji al Faruqi mengatakan bahwa berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan dasar dari seluruh bentuk kesalehan.Wajarlah jika Allah SWT dan Rasul-Nya menempatkan tauhid pada status tertinggi dan menjadikannya menjadi penyebab kebaikan dan balasan pahala terbesar bagi seorang muslim yang bertauhid.[49]
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusun oleh Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, disebutkan bahwa para ulama membagi tauhid kepada dua ketegori : tauhid Rububiyah dan tauhid Ubudiyah. Kebanyakan umat yang sudah menyimpang dari tauhid itu , masih memiliki tauhid rububiyah, karena mereka sebenarnya masih mengakui dan meyakini hanya ada satu Tuhan yang menciptakan  dan memelihara segenap alam semesta ini, kesalahan mereka adalah karena mereka tidak legi berpegang teguh kepada tauhid ubudiyah.Inilah tauhid yang menghendaki ubudiyah atau ketaatan tanpa syarat hanya tertuju kepada Allah SWT.[50]
   Ruang lingkup pembahasan tauhid ada empat yakni [51]:
1.    Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan) seperti wujud, nama-nama,sifat, dan af’al Allah.
2.    Nubuwat. Yakni  pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul,  juga termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu’jizat, dan lain sebagainya.
3.    Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, dan Syaitan,
4.    Sam’iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’i (dalil naqli berupa Al-Quran dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, surga dan neraka.
Keyakinan seorang muslim akan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa (Allah) melahirkan keyakinan bahwa sesuatu yang ada di alam ini ciptaan Tuhan;semuanya akan kembali kepada-Nya, dan segala sesuatu berada dalam urusan Yang Maha Esa itu. Dengan demikian segala perbuatan, sikap, tingkah laku, atau perkataan seseorang selalu berpokok dalam modus ini.[52]

Tauhid tidak hanya  sekedar memberikan ketentraman batin dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemusyrikan,bermanfaat bagi kehidupan umat manusia., tetapi juga berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap dan perilaku keseharian seseorang. Ia tidak hanya berfungsi sebagai akidah, tetapi berfungsi pula sebagai falsafah hidup.[53]
Lingkungan rumah dan pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya dapat membentuk atau merusak masa depan anak.Oleh sebab itu masa depan anak sangat tergantung kepada pendidikan , pengajaran, dan lingkungan yang diciptakan oleh orang tuanya.. Apabila orang tua mampu menciptakan  rumah menjadi lingkungan yang Islami, maka anak akan memiliki kecenderungan kepada agama.[54]
DR. M. Quraish Shihab, menjelaskan bahwa kehidupan keluarga, apabila diibaratkan sebagai satu bangunan, demi terpelihara dari hantaman badai, topan dan goncangan yang dapat meruntuhkannya, memerlukan fondasi yang kuat dan bahan bangunan yang kokoh serta jalinan perekat yang lengket. Fondasi kehidupan keluarga adalah ajaran agama, disertai dengan kesiapan fisik dan mental calon-calon ayah dan ibu. Beliau menambahkan bahwa keluarga merupakan sekolah tempat putra-putri bangsa belajar.[55]
Pendidikan anak yang paling berpengaruh  dibandingkan dengan yang lain adalah keluarga sebagai pusatnya, karena seorang anak masuk Islam sejak awal kehidupannya, dan dalam keluargalah ditanamkan benih-benih pendidikan.Juga waktu yang dihabiskan seorang anak di rumah lebih banyak dibandingkan tempat lain, dan kedua orang tua merupakan figur yang paling berpengaruh terhadap anak, demikianlah pendapat Muhammad Quthub yang dikutip oleh Khatib Ahmad Santhut.[56]
Al Ghazali mengatakan bahwa mendidik keimanan anak harus dengan cara yang halus dan lemah lembut, bukan dengan paksaan atau dengan berdebat, sehingga dengan metode yang lemah lembut materi pendidikan dapat dengan mudah diterima oleh anak.[57]
Dalam adigum ushuliyah disebutkan al-Amru bi asy-syai’i amru biwasailihi, walil-wasaili hukmu al-maqoshidi , maksudnya ialah “perintah pada sesuatu (termasuk pendidikan) maka perintah pula mencari metodenya, dan bagi metodenya hukumnya sama dengan apa yang dituju.Senada dengan hal ini ada firman Allah yang berbunyi :
...وابتغوا اليه الوسيلة وجاهدوا في سبيله... (سورة المائدة :35)[58]
Sehingga dalam proses pelaksanaannya, pendidikan Islam memerlukan metode yang tepat untuk menyampaikan materi-materi kepada anak, sehingga tujuan pendidikan yang diinginkan dapat dicapai.[59]
Ada beberapa metode yang besar pengaruhnya untuk menanamkan keimanan kepada anak yakni :
1.      Teladan yang baik;
2.      Kebiasaan yang baik;
3.      Disiplin, hal ini sebenarnya sebagaian dari pembiasaan;
4.      Memotivasi;
5.      Memberikan hadiah terutama yang dapat menyentuh aspek psikologis;
6.      Memberikan hukuman dalam rangka kedisiplinan;
7.      Suasana kondusif dalam mendidik.[60]
Menyusun sebuah metode harus mencakup tiga hal penting antara lain :
1.      Cara tersebut bertujuan untuk menjelaskan materi kepada anak didik.
2.      Cara tersebut merupakan cara yang tepat untuk menjelaskan, dan dipakai untuk materi tertentu serta situasi tertentu pula.
3.      Cara tersebut mampu memberikan kesan yang mendalam kepada anak didik.[61]
Menurut Abdullah Nashih Ulwan metode yang paling efektif dalam mendidik anak adalah :
1.      Pendidikan dengan keteladanan.
2.      Pendidikan dengan adat dan kebiasaan.
3.      Pendidikan dengan nasehat.
4.      Pendidikan dengan perhatian.
5.      Pendidikan dengan memberikan hukuman.[62]
Sementara Muhammad Zein menjelaskan bahwa metode yang mudah dilakukan para orang tua dalam mendidik anak-anaknya ada tiga yakni :
1.      Meniru.
2.      Menghafal.
3.      Membiasakan.[63]
Mendidik anak pada periode pertama yakni usia 0-6 tahun, merupakan masa yang sangat penting. Karena semua informasi mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam membentuk kepribadian anak. Anak akan merekam informasi apapun pada periode ini, sehingga pengaruhnya akan lebih nyata pada kepribadiannya setelah dewasa. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan para orang tua pada periode ini antara lain :
1.      Memberikan kasih sayang yang diperlukan oleh anak.
2.      Membiasakan anak untuk disiplin.
3.      Orang tua mampu menjadi teladan yang baik bagi anak.
4.      Membiasakan etika umum yang baik.[64]
Periode selanjutnya ketika anak berusia 7-12 tahun. Anak pada periode ini lebih siap untuk belajar. Anak mau meniru dan mendengarkan nasehat, meskipun anak lebih mudah menyesuaikan diri dengan teman sebaya. Semangatnya sangat tinggi untuk belajar keterampilan tertentu. Masa ini sangat baik untuk mendidik dan mengarahkan anak sesuai dengan minat dan bakat yang ia miliki.Pada periode ini anak dapat diajarkan beberapa hal, antara lain :
1.      Pengenalan kepada Allah dengan cara sederhana, juga diajarkan
a.       Allah Esa tidak ada sekutu.
b.      Allah adalah pencipta alam semesta.
c.       Cinta kepada Allah.
2.      Mengajarkan sebagain hukum yang jelas, juga tentang halal dan haram.
3.      Mengajarkan baca Al Quran.
4.      Mengajarkan hak dan kewajiban sebagai hamba Allah.
5.      Mengenalkan tokoh-tokoh teladan yang agung dalam Islam.
6.      Mengajarkan etika umum.
7.      Meningkatkan sikap percaya diri anak dan juga tanggungjawab.[65]
Pendidikan Islam memberikan ketentuan bahwa rentang usia peserta didik ialah sejak ia lahir sampai meninggal dunia. Manusia sejak lahir memerlukan pendidikan , selanjutnya pendidikan tersebut tetap diperlukan sepanjang hidunya sebagai sebuah proses.[66]
Pendidikan Islam menggunakan konsep pendidikan sepanjang hayat (life long education). Sehingga manusia dalam rentang kehidupannya selalu memerlukan pendidikan, dengan  bimbingan, pembentukan, pengarahan, dan pengalaman. Semua itu dilakukan secara bertahap dan berbeda, disesuaikan dengan kebutuhan pada perkembangan usianya[67], begitu pun pada pendidikan tauhidnya.
Penyusun dalam konsep pendidikan tauhid dalam keluarga menggunakan 5 metode yaitu :
1.      Kalimat tauhid.
2.      Keteladanan.
3.      Pembiasaan.
4.      Nasehat.
5.      Pengawasan.

H.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.  Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu penelahaan terhadap buku-buku, karya ilmiah, karya populer., dan literatur lain yang berhubungan dengan tema yang diteliti.
2.  Sumber Data
Penulis mengumpulkan data dari berbagai literatur sebagai sumber primer ialah buku “ Islam Dalam Berbagai Dimensi” karangan Dr. Daud Rasyid, MA., kemudian “Kuliah Akidah Islam” karangan Drs. Yunahar Ilyas, Lc.,Sri Harini dan Aba Firdaus al Halwany “ Mendidik Anak Sejak dini”,. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi “ Filsafat Tauhid Mengenal Tuhan Melalui Nalar Dan Firman”,Abdullah Nashih Ulwan “Pendidikan Anak Menurut Islam : Kaidah Kidah Dasar”, .Juga literatur-literatur sebagai sumber data sekunder, yakni data-data lain yang penulis peroleh baik dari buku-buku, artikel, yang ada hubungannya langsung atau tidak langsung dengan materi pembahasan yang penulis teliti.Buku-buku tersebut antara lain : Prof. H.M. Arifin, M.Ed (1996) Ilmu Pendidikan Islam, H. Abu Tauhid (1990) Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Maulana  Musa Ahmad Olgar (2000, terjm: Supriyanto Abdullah Hidayat) Mendidik Anak Secara Islami.Ma’ruf Zurayk (1994) Aku Dan Anak-anakku : Bimbingan Praktis Mendidik Anak menuju Remaja. dan buku-buku lain yang tidak penulis sebutkan dalam tulisan ini
3.  Analisa Data
      Selanjutnya dalam menganalisis data yang telah terkumpul menggunakan teknik deskriftif analitik, yaitu teknik analisa data yang menggunakan, menafsirkan serta mengklasifikasikan dengan membandingkan fenomena-fenomena pada masalah yang diteliti melalui langkah mengumpulkan data, menganalisa data, dan menginterpretasi data dengan metode berpikir :
a.       Deduktif : merupakan tehnik berpikir yang berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum , dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai suatu kejadian yang sifatnya khusus.[68]
b.      Induktif : ialah berpikir dengan berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus konkret itu ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum.[69]

I.       Sistematika Pembahasan

Penulis membagi penelitian ini menjadi beberapa bab yang terangkum dalam sitematika pembahasan berikut ini :
Bab kesatu : merupakan pendahuluan, berisikan pendahuluan menjelaskan tentang penegasan judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, alasan pemilihan judul, kerangka teoritik, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua : akan dibahas tentang urgensi pendidikan tauhid dalam keluarga, meliputi pengertian, tujuan, dasar dan sumbernya.
Bab ketiga : diuraikan tentang pendidikan tauhid dalam keluarga materinya adalah ilahiyat, mubuwat, ruhaniyat, dan sam’iyat, dalam penyampaian materi ini digunakan lima metode yakni kalimat tauhid, keteladanan, pembiasaan, nasehat, dan metode pengawasan.
Bab keempat : berisi penutup, kesimpulan dan saran-saran yang merupakan intisari terhadap konsep yang ditawarkan dalam penulisan ini sebagai harapan penulis.

Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: Konsep Otentitas Wahyu Tuhan dalam Hermeneutika Hassan Hanafi

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net