Senin, 26 Maret 2012

KONSEP PERKAWINAN MILK AL-IBAHAH (STUDI ATAS PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD)

KONSEP PERKAWINAN MILK AL-IBAHAH  ( STUDI ATAS PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD )
MILK AL-IBAHAH
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perkawinan di antaranya bisa dipahami sebagai ikhtiar manusia untuk menyalurkan hasrat seksualnya secara sah dan bertanggung jawab. Dari sini diharapkan terjalin hubungan kasih sayang, cinta, dan tanggung jawab untuk membentuk masyarakat kecil yang dapat meneruskan peradaban manusia.
Sebagaimana dipahami dari teks-teks suci Islam, al-Qur’an dan Sunnah, perkawinan juga dimaksudkan sebagai usaha menyelamatkan dan mengamankan alat kelamin dari berbagai bentuk penyimpangan seksual yang pada gilirannya dapat merusak fungsi reproduksi. Jadi, perkawinan merupakan sarana atau wahana bagi perkembangbiakan manusia secara sehat dalam arti seluas-luasnya baik menyangkut fisik, psikis, mental, dan spiritual serta sosial.
Seks atau nafsu syahwat yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia tidak lain merupakan insting untuk mempertahankan keturunan. Ini berarti manusia dituntut untuk mengembangkan keturunannya dengan alat yang diberikan Tuhan kepadanya dengan jalan untuk mencintai, sebagaimana firman Allah SWT:
زيّن للناس حبّ الشهوات من النساء والبنين والقناطير المقنطرة [1]
Islam sendiri tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk memerangi atau mematikan hasrat seksualnya namun juga tidak membiarkan manusia bebas mengumbar nafsu seenaknya.[2]  Seks dalam pandangan Islam diakui sebagai satu kebutuhan dasar manusia, dan melalui perkawinan inilah seks yang pada awalnya haram dilakukan menjadi sah hukumnya. Begitu pula seks tidak hanya menjadi sarana untuk memperoleh keturunan tetapi juga untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan seksual.[3]
Dalam fiqh Islam klasik, persoalan seks bagi perempuan telah dimaknai sebagai kewajiban daripada hak, dan totalitas seorang istri dalam melayani suami merupakan bukti ketaatan dan kesalehannya.[4] Oleh karena itu, istri selalu saja harus siap melayani keinginan seksual suami di manapun dan kapanpun suami menghendakinya. Hal ini tentu saja dilatarbelakangi berbagai hal di antaranya ialah adanya kesalahpahaman tentang makna nikah, kewajiban mahar dan nafkah bagi suami yang dipersepsikan oleh sebagian orang sebagai nilai tukar atas pelayanan seksual istri terhadap suami.[5] Para ulama fiqh berbeda pandangan dalam mendefinisikan perkawinan tetapi secara umum pandangan mereka memposisikan seks milik suami, sedangkan istri hanyalah obyek yang bebas diperlakukan sekehendak suami tanpa menghiraukan keinginan atau kepuasan istri itu sendiri.[6]
Pandangan ini mengacu pada pandangan teologis selama ini, bahwa superioritas laki-laki atas perempuan adalah keputusan Tuhan yang tidak dapat diubah. Argumen yang diajukan biasanya adalah pernyataan Tuhan dalam al-Qur’an bahwa laki-laki adalah qawwa>m atas perempuan.[7] Dengan demikian, hierarkis kekuasaan atas perempuan telah mendapat legitimasi teologis. Legitimasi teologis patriarkhi seperti ini berkembang hampir semua sistem kekeluargaan dan sosial, konsekuensi pandangan ini sangat jelas bahwa        peran-peran perempuan di ruang publik ataupun di ruang domestik menjadi tersubordinasi oleh laki-laki.
Dalam sistem keluarga, ketika laki-laki dipandang sebagai pemilik kekuasaan atas keluarganya dan secara khusus atas perempuan (istri) maka ia memiliki kekuasaan pula untuk mengatur hal-hal yang ada di dalamnya dan secara eksklusif ia dibenarkan untuk melakukan tindakan-tindakan represif jika memang diperlukan untuk menjaga “stabilitas negara”nya tersebut.[8]
Didasari pandangan teologis patriarkhi inilah, pemahaman terhadap makna esensial dalam pernikahan menjadi hal yang absurd (mustahil) dan tidak sesuai dengan "jiwa" al-Qur'an yang menegaskan harkat dan martabat yang tinggi bagi perempuan.[9] Pernikahan yang tujuan utamanya untuk memperoleh kehidupan yang tenang, cinta dan kasih sayang akan menimbulkan ketimpangan dan ketidaksetaraan antara hak dan kewajiban suami dan istri tersebut. Dalam relasi seksual suami dan istri ini, Islam sebenarnya menghendaki senantiasa terjalin pola relasi suami dan istri secara harmonis, demokratis dan ma'ru>f.[10]
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa persoalan substansial menyangkut kekerasan terhadap perempuan adalah adanya pemahaman keagamaan (teologis) yang menganggap bahwa kekuasaan laki-laki atas perempuan merupakan keputusan Tuhan yang tidak dapat diubah. Keyakinan seperti ini dengan sendirinya merupakan pelanggengan diskriminasi bagi jenis kelamin perempuan. Selain itu pula pandangan bahwa perkawinan merupakan perjanjian kepemilikan laki-laki atas pemanfaatan seluruh tubuh perempuan. Di sini wanita diposisikan sebagai makhluk yang lemah dan pasrah dengan ketaatannya untuk selalu menjalankan kewajiban.[11]
Masalah mendasar yang berkaitan erat dengan problematika perempuan adalah langgengnya budaya patriarkhi dalam masyarakat kontemporer yang dalam kadar tertentu selaras dengan latar budaya kebanyakan dari kitab-kitab klasik.[12] Sementara itu, modernisasi telah memberikan hak bagi perempuan untuk bisa mengaktualkan dirinya lebih luas, yang pada gilirannya menumbuhkan kesadaran baru tentang hak dan kewajiban mereka sebagai manusia.
Tidak mengherankan bila banyak kalangan pemikir Islam kontemporer yang bersimpatik kepada perempuan mengadakan kajian kritis terhadap kemungkinan merumuskan fiqh alternatif yang mampu menjawab problematika kaum perempuan dalam mengarungi kehidupan modern.
Salah satu pemikir Islam kontemporer yang bersimpati terhadap perempuan adalah KH. Husein Muhammad. Dia adalah seorang yang "berjiwa pesantren" dan mengusung gagasan feminisme Islam.[13] Gagasan pembelaannya terhadap perempuan didasari oleh gagasan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi namun tetap berpegang pada ajaran agama Islam terutama tradisi Islam (fiqh) kasik[14]    
Berkaitan dengan relasi suami dan istri, Husein Muhammad memandang adanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam lingkup domestik (keluarga). Menurut Husein, karena adanya pandangan teologis patriarkhi yang mendisriminasikan perempuan bagi semua sistem kekeluargaan maupun sosial yang kemudian melahirkan konsekuensi bahwa peran perempuan di ruang publik dan di ruang domestik menjadi tersubordinasi oleh laki-laki.[15] Berkaitan dengan peran perempuan (istri) di ruang domestik ini, menurut Husein perlu adanya pemahaman baru terhadap konsep perkawinan. Dalam konsep perkawinan Islam klasik, para ulama memandang bahwa relasi seksual suami dan istri merupakan kewajiban istri bukan hak, karena adanya akad (pemilikan suami atas istri) sehingga suami mempunyai hak untuk menyalurkan naluri seksualnya dan memonopoli kenikmatan atas istrinya tersebut. Akibatnya lebih lanjut dari teori ini ialah suami tidak berkewajiban menyetubuhi istrinya sebaliknya istri berkewajiban menyerahkan tubuhnya kepada suami manakala suami membutuhkannya.[16]
Oleh karena itu, pada konsep perkawinan ini, kesetaraan seksual suami dan istri menjadi hal yang absurd (mustahil). Menurut Husein, Kesetaraan hak seksual laki-laki dan perempauan (suami dan istri) dapat direalisasikan dengan pendekatan lain, yakni dengan memberikan konsep perkawinan baru seperti perkawinan milk al-iba>hah. Pada konsep ini, perkawinan bukan dipandang sebagai hak kepemilikan suami atas istri tetapi sebagai relasi bersama untuk menuju proporsinya masing-masing sehingga tercipta kesetaraan antara keduanya dalam hal relasi seksual.               
Berdasar latar belakang inilah yang menarik bagi penyusun untuk menganalisa bagaimana pandangan KH. Husein Muhammad mengenai kesetaraan hak seksual laki-laki dan perempuan (suami dan istri) dalam merealisasikan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah berdasarkan kesejajaran (equal) suami dan istri sehingga totalitas istri tidak hanya dipandang sebagai suatu kewajiban tetapi adanya timbal balik hak di antara keduanya. Dari sini diharapkan resiko-resiko yang diakibatkan pelanggaran atas hak dan kewajiban harus ditanggung masing-masing individu secara proporsional untuk menghasilkan penyelesaian permasalahan keluarga yang demokratis.

B.     Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah sebutkan di atas, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud perkawinan milk al-iba>hah menurut KH. Husein Muhammad dan bagaimana argumentasinya?
2.      Bagaimana relevansi pandangan KH. Husein Muhammad dalam kesetaraan antara suami dan istri di ruang domestik (rumah tangga)?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.          Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a.       Menelaah dan menganalisis pemikiran KH. Husein Muhammad dan argumentasinya mengenai konsep perkawinan milk al-iba>hah dalam Islam.
b.      Mengetahui bagaimana relevansi pemikiran tersebut terhadap kesetaraan suami dan istri di ruang domestik (rumah tangga).
2.          Kegunaan penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
a.       Penelitian ini diharapkan bisa memberi sumbangsih pemikiran bagi perkembangan wacana hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian.
b.      Memberikan pandangan baru bagi masyarakat tentang relasi seksual suami dan istri dalam memahami antara hak dan kewajiban secara bersama dan proporsional berdasarkan kesetaraan antara masing-masing individu (suami dan istri).
c.       Dapat menambah wacana baru dalam kajian seksual Islam yang berbasis pada nilai keadilan dan persamaan antara hak dan kewajiban sehingga dapat meminimalisir terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga (domestik violence).

D.    Telaah pustaka
Dalam al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad ditegaskan ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan suami dan istri dalam rumah tangga. Demikian pula banyak ayat yang membahas mengenai persoalan hubungan suami dan istri untuk menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Akan tetapi dalam aplikasinya kadang bertolak belakang sehingga mengakibatkan tujuan utama suatu perkawinan menjadi hal yang absurd (mustahil). Oleh karena itu, memerlukan telaah lebih lanjut dalam memahami ajaran ideal dalam teks yang telah ada tersebut guna disinkronkan dengan aplikasi pada realitasnya.
Berkaitan dengan persoalan hak dan kewajiban suami dan istri, buku yang dikarang oleh Imam an-Nawawi yang kemudian dikritisi oleh Forum Kajian Kitab Kuning (FK3),  Wajah Baru Suami-Istri Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn. Kitab 'uqud al-lujjayn ini banyak membicarakan masalah hak dan kewajiban suami dan istri yang selama ini dipandang oleh masyarakat di kalangan pesantren sebagai salah satu kitab paling representatif yang berbicara mengenai masalah tersebut. Oleh karena itu, FK3 menelaah ulang tentang hak dan kewajiban suami dan istri melalui pandangan yang berkesetaraan dan berkeadilan tanpa menghilangkan makna esensi dari perkawinan itu.[17]
Sepanjang pengamatan penyusun, pembahasan mengenai pemikiran KH. Husein Muhammad dalam bentuk karya ilmiah sangat minim diperoleh. Karya ilmiah mengenai KH. Husein Muhammad dan memikirannya baru didapati penyusun dalam buku M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan. Tesis yang kemudian dibukukan ini membahas mengenai pemikiran KH. Husein Muhammad dalam membela perempuan melalui basis intelektualnya yakni pesantren. Dalam buku ini M. Nuruzzaman lebih menekankan pada pemetaan KH. Husein Muhammad sebagai feminis laki-laki dan argumentasi yang dipakai dalam membahas mengenai pembelaan terhadap perempuan.[18]
Penelitian mengenai relasi suami dan istri seperti yang ditulis dalam skripsi karya Sri Lestari yang berjudul: "Urgensitas Dan Implikasi Prinsip Mu’a>syarah Bil Ma’ru>f Dalam Relasi Seksual Suami-Istri." Skripsi ini mengkaji bagaimana relasi seksual suami dan istri dalam suatu pernikahan untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah dengan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban berdasarkan prinsip mu’a>syarah bi al-ma’ru>tersebut.[19] 
Kemudian skripsi Dhian Rahmawati yang berjudul: "Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dalam Fiqh (Studi Terhadap Hak Istri Untuk Menolak Hubungan Seksual Dan Menentukan Kehamilan Dalam Perspektif Gender)." Penelitian ini menggambarkan bagaimana perempuan mempunyai hak otoritas atas dirinya yang berkaitan masalah reproduksi serta kewenangannya untuk menolak ajakan suami dalam melakukan hubungan seksual dengan mengacu pada perspektif jender.[20] 
            Selanjutnya Masdar F. Mas’udi dalam bukunya Islam Dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, menegaskan bahwa perempuan diberikan otoritas dalam menentukan hak-hak yang berkaitan dengan kewanitaannya. Dalam bab tersendiri dikatakan bahwa seks memegang peranan penting dalam sebuah perkawinan, di sini disinggung bahwa seks bukan hanya hak suami melainkan juga hak istri. Hal ini berbeda dengan pandangan yang dianut oleh sebagian ulama fiqh yang lebih memaknai seks bagi perempuan (istri) sebagai kewajiban daripada hak. Dalam buku ini pula, seks bukan hanya pemenuhannya oleh istri tetapi juga oleh suami terhadap istrinya yang merupakan pemilik perangkat biologis dan saling memberikan kenikmatan (pleasure) dari Tuhan.[21]
            Sedangkan buku yang membicarakan masalah seksualitas seperti yang ditulis oleh Abbelwahab Bouhdiba: Sexuality in Islam. Buku ini banyak menjelaskan tentang permasalahan seksualitas dan kesakralannnya di tengah masyarakat Arab-Islam, dan menjelaskan juga tentang kedudukan dan fungsi seksualitas baik pada masa lampau maupun pada masa sekarang yang menjadi sumber dari "the power of the libido" seseorang. Menurut Abbelwahab Bouhdiba, seksualitas dianggap sebagai dasar kesakralan kerena merupakan salah satu anugerah Tuhan atau bisa juga dianggap sebagai ketakutan yang disebabkan faktor "the power of the libido" tersebut. [22]
Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa belum ditemukan penelitian yang berusaha mengkaji konsep perkawinan milk al-iba>hah ini, yang menekankan pada kesetaraan hak seksual suami dan istri dalam merealisasikan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah berdasarkan kesejajaran (equal) suami dan istri.

E.     Kerangka teoritik
Fakta kehidupan dalam masyarakat kita ada sejarah panjang dominasi laki-laki atas perempuan dalam sebagian besar sektor yang dibangun atas dasar tatanan yang timpang yaitu tatanan nilai di mana pria ditempatkan sebagai subyek superior (kuat) di hadapan perempuan yang imperator (lemah). Berabad-abad tatanan ini cukup mapan dan dianggap sebagai suatu yang alamiah bahkan oleh kaum wanita itu sendiri.[23]  Hal ini dapat dipahami karena struktural ini dikemas sedemikian rupa.
Dalam ajaran Islam kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Tuhan.[24] Penciptaan manusia merupakan penciptaan diri yang satu (nafs al-wa>hidah) kemudian menciptakan pasangan yang sejenis dengannya dan dari kedua pasangan itu kemudian tercipta laki-laki dan perempuan dalam jumlah banyak.[25] Islam menunjukkan bahwa kebersamaan dan keberpasangan sebagai dasar kehidupan bukan subordinasi satu pada yang lainnya dan ini pula sesuai dengan prinsip dasar al-Qur’an sesungguhnya yang memperlihatkan pandangan yang egalitas.
Untuk memaknai pandangan egalitas ini, perlu adanya teori yang dapat menjelaskan pandangan tersebut yakni teori keadilan. Secara umum kata keadilan memiliki beberapa arti. Pertama, meluruskan atau duduk lurus, mengamandemen atau mengubah. Kedua, melarikan diri, berangkat atau mengelak dari suatu jalan (yang keliru) menuju jalan lain (yang benar). Ketiga, sama, sepadan atau menyamakan. Keempat, menyeimbangkan atau mengimbangi, sebanding atau berada dalam suatu keadaan yang seimbang (state of equilibrium).[26]
Salah satu ayat al-Qur'an yang menjelaskan keadilan seperti permasalahan hak perempuan sesuai dengan kewajibannya sebagaimana dalam ayat-Nya:
ولهنّ مثل  الذي عليهنّ بالمعروف[27]
Penetapan keadilan sebagai kebijakan manusia yang paling luhur, maka berarti menuntut manusia untuk mencapai kekuatan moral yang paling tinggi.[28] Dengan demikian, perlakukan yang adil dan setara terhadap istri sebagai pencapaian kekuatan moral tentu saja akan menciptakan bentuk perlakuan yang tidak mendiskriminasi pihak perempuan (dalam hal ini istri) itu sendiri. Perlakukan yang adil ini merupakan percerminan dari prinsip mu'a>syarah bi al-ma'ru>yang menghendaki adanya relasi egalitas antara suami dan istri sehingga keharmonisan dalam rumah tangga dapat tercapai dan kemitrasejajaran antara keduanya bisa terlaksana.  
Perkawinan yang tujuan utamanya untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah adalah hal paling esensial yang diinginkan oleh setiap pasangan suami dan istri. Perkawinan yang dianjurkan dalam Islam dimaksudkan sebagai salah satu cara sehat dan bertanggung jawab mewujudkan cinta dan kasih sayang laki-laki dan perempuan, ini secara jelas dinyatakan dalam al-Qur’an:
ومن اياته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودّة ورحمة إن في ذلك لآ يات لقوم يتفكرون[29]
Dengan landasan cinta dan kasih tersebut, sistem kehidupan yang dijalani suami dan istri dalam rumah tangga harus pula dilalui dengan proses-proses yang sehat dalam relasi suami dan istri. Kehidupan perkawinan harus dilakukan dengan sikap saling memberi secara ikhlas, saling menghargai, saling memahami kepentingan masing-masing tanpa paksaan dan tanpa kekerasan.[30] Ini juga berarti bahwa hubungan seksual tidak boleh dilakukan melalui cara-cara pemaksaan dari siapa pun datangnya.
 Dari pendefinisian tentang perkawinan, para ulama klasik lebih menitik beratkan pada pandangan wanita sebagai obyek.[31] Hal ini disebabkan karena melalui akad, istri menjadi hak sepenuhnya suami dan kenikmatan seksual atas istripun seakan-akan dikendalikan oleh suami, suami bisa meminta hak seksual terhadap istri tanpa persetujuannya, tanpa harus takut nusyu>z sebagai kedurhakaan dan ketidaktaatan istri terhadap suaminya.[32]
Namun jika kita tinjau dari realitas yang ada, maka terjadi suatu ketimpangan dan ketidaksetaraan. Manusia sebagai makhluk zoon politicon[33] yang menyukai hidup bergolongan dan bermasyarakat akan menjadi bermasalah jika salah satu individu mengintervensi atau bahkan menggunakan wewenang ed hoc [34] yang dimilikinya untuk mengintimidasi pihak lain.
Selain itu pula, pemahaman fiqh yang diberikan para ulama tentang perkawinan, totalitas istri melayani suami dan pemaknaan hubungan seksual istri sebagai kewajiban, maka akan menciptakan fenomena ketidakadilan jender (gender inequalities) yang menimpa perempuan jika dikaitkan dengan keadilan Islam itu sendiri.[35] Islam menurut Husein Muhammad tidak mungkin melakukan penindasan, marjinalisasi dan kekerasan terhadap siapa pun termasuk perempuan, karena Islam mengandung prinsip-prinsip dasar yaitu keadilan ('ada>lah), musyawarah (syu>ra'), persamaan (musa>wah), menghargai kemajemukan (ta'addudiyah), bertoleransi terhadap perbedaan (tasa>muh) dan perdamaian (is}la>h).[36]
            Terlepas dari itu pula, konsep perkawinan yang lama, perkawinan sebagai aqd tamli>k, dianggap bersifat bias laki-laki dan erat dengan konsep kekuasaan sehingga perkawinan merupakan wujud kekuasaan laki-laki atas perempuan.[37]  Hal ini juga mendapatkan legitimasi teologis tentang hierarkis kekuasaan laki-laki atas perempuan yang dianut selama ini. Argumen ini diajukan terhadap pernyataan Tuhan dalam al-Qur’an bahwa laki-laki adalah qawwa>m atas perempuan, sebagaimana firman Allah SWT: “Kaum laki-laki adalah qawwa>m atas perempuan karena ِAllah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”[38]
Menurut Tolhah Hasan, hubungan suami dan istri dalam rumah tangga muslim bukanlah dominasi antara satu pihak terhadap pihak lainnya tetapi hubungan harmonis dan saling menyayangi.[39] Ini jelas bahwa hubungan suami dan istri haruslah berdasarkan pergaulan yang ma'ru>f, sebagaimana firman Allah SWT:
....وعاشروهن بالمعروف   [40]

Lebih spesifik lagi, laki-laki dalam lingkup perkawinan yang membicarakan relasi suami dan istri harus dipandang secara keseluruhan. Suami dan istri adalah dua makhluk yang berlawanan jenis, berbeda tabiat dan latar belakang. Untuk itu suami dan istri dituntut punya kesabaran, saling pengertian, saling menghormati dan bisa saling menahan diri.[41] Dengan berlandaskan prinsip mu'a>syarah bi al-ma'ru>(saling memperlakukan satu terhadap yang lain secara ma'ru>f) seperti yang ditekankan al-Qur'an akan tercipta "hak kemitraan".[42] Dengan demikian, kerikil tajam yang menjadi batu sandangan dalam perkawinan tidak akan menimbulkan pertikaian dan keutuhan rumah tangga seharusnya dapat dipertahankan.

F.     Metode Penelitian
1.     Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) karena sumber-sumber data diperoleh dari berbagai karya tulis seperti buku, majalah, dan dokumen-dokumen lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung membicarakan persoalan yang diteliti, selain itu ditambah dengan wawancara terhadap subyek yang diteliti.
2.      Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik yaitu suatu usaha memaparkan pandangan KH. Husein Muhammad melalui data-data tentang obyek penelitian kemudian diuraikan secara obyektif yang selanjutnya dianalisis untuk mengambil kesimpulan yang selaras dengan pokok masalah.
3.     Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah Pendekatan analisis jender yakni pendekatan dengan menganalisis makna perkawinan tersebut dalam relasi seksual suami istri dipandang dari kesetaraan jender.
4.     Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan data-data primer yang diperoleh dari sumber-sumber yang secara langsung berbicara tentang pemasalahan yang diteliti seperti tulisan Husein Muhammad: "Refleksi Teologis tentang Kekerasan terhadap Perempuan" dalam buku Menakar "Harga" Perempuan, dan Buku Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Islam Agama Ramah Perempuan dan Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren serta dari data-data sekunder yang secara tidak langsung membicarakannya namun relevan dan menunjang untuk dikaitkan dengan permasalahan yang diangkat tersebut.
5.     Analisis Data
Dalam menganalisis data agar memperoleh data yang valid dan memadai digunakan analisa data kualitatif. Dalam operasionalnya, data yang telah diperoleh digenalisir, diklasifikasikan kemudian dianalisa dengan menggunakan penalaran induktif dan deduktif. Penalaran induktif dalam prosesnya bertolak dari primis-primis yang berupa norma-norma hukum yang diketahui dan berakhir (sementara) pada penemuan asas-asas atau doktrin hukum. Sementara penalaran deduktif dipakai untuk menguji apakah norma-norma hukum in abstracto yang telah ditemukan dapat dijadikan solusi dalam menyelesaikan masalah in concreto. Dalam penelitian ini norma-norma hukum in abstracto berfungsi sebagai primis mayor sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara legal facts (permasalahan-permasalahan dalam relasi seksual suami dan istri) dipakai sebagai primis minor.

G.    Sistematika Pembahasan 
Untuk memudahkan pembahasan dan penulisan, skripsi ini dibagi atas lima bab yang saling keterkaitan satu sama lain.
Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang yang menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan, rumusan masalah digunakan untuk mempertegas pokok-pokok masalah agar lebih fokus, tujuan dan kegunaan menjelaskan tujuan dan urgensi penelitian ini, telaah pustaka menjelaskan tentang orisinalitas penelitian ini dengan penelitian yang sudah ada. Kerangka teoretik memberikan tinjauan umum tentang pemahaman pernikahan dalam Islam dewasa ini, adapun metode penelitian dimaksudkan untuk mengetahui cara, pendekatan dan langkah-langkah penelitian yang dilakukan, dan sistematika pembahasan untuk memberikan gambaran umum sistematis, logis dan koreaktif mengenai kerangka bahasan penelitian.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang perkawinan dan pengertian Iba>hah, pembahasan mengenai perkawinan meliputi pengertian perkawinan, syarat dan rukun perkawinan serta tujuan perkawinan, sedangkan pembahasan kedua tentang Iba>hah yang meliputi pengertian milk dan Iba>hah dan pembagian Iba>hah.
Bab ketiga berisi biografi dari KH. Husein Muhammad, yang membahas mengenai riwayat hidup KH. Husein Muhammad dan karya-karyanya serta membahas mengenai pemikiran dan argumentasi KH. Husein Muhammad tentang milk al-iba>hah.
Bab keempat menganalisis pemikiran KH. Husein Muhammad tentang milk al-iba>hah dan argumentasinya terhadap konsep perkawinan tersebut, dilanjutkan dengan membahas mengenai relevansinya terhadap kesetaraan suami dan istri di ruang domestik (rumah tangga).
Bab kelima sebagai penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
Pada bagian akhir skripsi ini juga memuat hal-hal penting dan relevan dalam penelitian yang terdiri dari daftar pustaka/bibliografi, lampiran-lampiran dan curriculum vitae.



Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

Tags: KONSEP PERKAWINAN MILK AL-IBAHAH  (STUDI ATAS PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net