Senin, 26 Maret 2012

MADH DAN ZAMM DALAM AL-QUR’AN (Tinjauan terhadap Tujuan Madh dan Zamm dalam Al-Qur’an)

MADH DAN ZAMM  DALAM  AL-QUR’AN ( Tinjauan terhadap Tujuan Madh dan Zamm dalam Al-Qur’an )

MADH DAN ZAMM
 Oleh Team www.seowaps.com

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang mempunyai nilai ijaz yang abadi dari berbagai aspeknya, baik tasyriiy, lugawy maupun ‘ilmy,[1]  dan pada saat yang sama ia juga sebagai hudan lin-nas. Maka al-Qur’an dengan keistimewaannya itu mampu berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa dan mengandung pesan-pesan serta solusi-solusi global terhadap problematika kehidupan, baik secara zahir maupun batin, tersurat maupun tersirat.[2]
Al-Qur’an diturunkan Allah SWT dengan memakai bahasa Arab, karena memang Nabi Muhammad hidup di sana. Bahasa sebagai simbol realitas  yang bersifat arbritrer  pada dasarnya dibentuk dan membentuk konsep yang dipegang masyarakat  pemakainya dalam menyikapi  dan memaknai dunia riil, baik melalui ciri gramatik maupun  klasifikasi semantik yang  dikandungnya.[3]  Maka al-Qur’an juga mengikuti kaidah-kaidah bahasa konvensional, namun juga memberikan gaya bahasa tersendiri yang belum pernah dipakai pada saat itu.
Di  samping  itu  sebagai   gejala   bahasa, bahasa   bersifat dinamis, tumbuh dan berkembang sejalan dengan meningkatnya  kemajemukan persepsi manusia terhadap makrokosmos dan mikrokosmos.[4] Oleh karena itu makna sebuah leksem  kadang-kadang mengalami perubahan  (baik dari makna sempit menjadi luas atau sebaliknya, bahkan hilang maknanya atau berubah sama sekali) dan  kadang-kadang tetap.[5] Hal ini tergantung  konteks dan aspek-aspek sosial  yang melatarbelakanginya.  Oleh karena itulah     konteks  sangat menentukan makna dan mengabaikannya  akan menghasilkan  kesimpulan yang keliru, dengan demikian  memahami makna suatu kata harus meneliti pemakaiannya dalam struktur kalimat yang berbeda-beda dan konteks yang berbeda-beda pula.
Al-Qur’an merupakan sistem bahasa yang mempunyai spesifikasi tersendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang mengandung i’jaz, sehingga dapat mempengaruhi hati manusia. Dengan pengaruh ini, mausia diharapkan mengikuti yang baik yang diserukannya dan meninggalkan yang buruk yang diperintahkannya untuk dijauhi.
Di antara gaya bahasa al-Qur’an itu adalah pemakaian madh (pujian) dan z\amm (celaan). Ada beberapa cara yang dipakai al-Qur’an untuk memuji yang secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1.          Madh secara langsung, yaitu memuji dengan memakai kata-kata yang mempunyai arti memuji, seperti al-hamdu, nima dan lain sebagainya.

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ[6]

“Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”[7]
Allah dalam ayat di atas memuji Zat-Nya sendiri, hal ini untuk menunjukkan keagungan-Nya dan juga untuk mengajarkan manusia agar memuji-Nya. Allah SWT juga berfirman:
وَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمُوْآ اَنَّ اللهَ مَوْلاَكُمْ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ[8]
“Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”[9]
2.          Madh dengan menggunakan kata-kata yang tidak berarti memuji, namun setelah digabungkan menjadi satu kesatuan dalam sebuah kalimat, maka mengandung persepsi memuji, seperti firman Allah SWT:
وَاِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ[10]
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”[11]
Dengan gaya bahasa seperti dalam ayat ini, Allah SWT memuji rasul-Nya Muhammad, bahwa ia merupakan sosok yang berada di atas moral yang luhur. Allah juga berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِىْ اَسْرَىبِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ اْلاَقْصَى[12]
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil-haram ke al-aqsa.”[13]
Dalam ayat di atas Allah SWT memuji Zat-Nya dengan menunjukkan sebagian sifat-Nya, yaitu Maha Suci. Statemen ini ditegaskan sebelum statemen misi inti untuk memberi penegasan dan warning, bahwa hal yang akan disampaikan merupakan sesuatu yang besar dan agung yang dalam konteks ini adalah isra’ Nabi Muhammad SAW.
 Demikian pula dengan z\amm, ada beberapa cara yang dipakai al-Qur’an untuk mencela yang secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
  1. Zamm dengan secara langsung, yakni mencela dengan menggunakan kata-kata yang mengandung arti celaan, seperti bi’sa, sa'a dan z\amm, seperti firman Allah:

وَلاَ تَلْمِزُوْآ اَنْفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ، بِئْسَ اْلاِسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ اْلاِيْمَانِ[14]


“Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.”[15]
Bi’sa dalam ayat di atas untuk mencela perbuatan fusq, bahwa setelah orang beriman, maka perbuatan yang paling buruk adalah perbuatan fusq, yakni perbuatan maksiat kepada Allah SWT, maka tidak boleh memanggil seorang mukmin dengan fasik dan yang semakna dengannya.
وَالَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ رِئَآءَ النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ، وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِيْنًا فَسَآءَ قَرِيْنًا[16]

“Dan juga orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya’ kepada manusia, dan orang-orang yang tidakberiman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.”[17]
 Sa’a dalam ayat di atas berarti buruk, yakni syaitan adalah seburuk-buruk teman bagi seseorang.
2.  Zamm dengan menggunakan kata-kata yang tidak berarti mencela, namun setelah digabungkan menjadi satu kesatuan dalam sebuah kalimat, maka mengandung persepsi mencela, seperti firman Allah SWT:
اَفَمَنْ يُلْقَى فِى النَّارِ خَيْرٌ اَمْ مَنْ يَاْتِىْ آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ[18]
“Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat?”[19]
Dalam ayat di atas Allah SWT mempertanyakan suatu perbandingan antara orang yang dilemparkan ke dalam neraka dengan orang yang aman sentosa dengan masuk surga. Apakah orang yang dilemparkan ke dalam neraka itu lebih baik? Semua orang pasti mengerti, bahwa orang yang dilemparkan ke dalam neraka itu lebih buruk dan lebih celaka. Namun kenapa dipertanyakan? Pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban, tetapi untuk mubalaghah dalam mencela ahli neraka.
Gaya bahasa Madh dan z\amm mempunyai tujuan tertentu. Di antara tujuan Madh adalah ta’dib (pengajaran), maka Allah SWT memuji seseorang, amal tertentu, akhlak tertentu, atau bahkan Dia memuji Zat-Nya, hal ini sebagai pengajaran kemudian hamba-Nya agar menghisi diri dengan sifat sesuatu yang dipuji. Dan di antara tujuan z\amm adalah menghinakan, yakni Allah SWT merendahkan orang yang menyimpang dari syariat yang di bawa Rasul dan juga memberi peringatan, bahwa yang di cela itu merupakan amal perbuatan yang harus dihindari.
Di samping itu obyek yang menjadi pujian dan celaan juga bervariasi yang menyangkut sifat, sikap dan tindakan manusia, juga sifat-sifat Allah SWT. Demikian pula tujuan dari penggunaan Madh dan z\amm juga bervariasi, ada yang bertujuan untuk memberi pelajaran kepada manusia, memberi peringatan terhadap suatu perbuatan yang buruk dan lain sebagainya. Penelitian ini berusaha mengungkap secara kritis mengenai Madh dan z\amm, baik dari dari segi bentuk-bentuknya maupun tujuannya.

B.  Rumusan Masalah 
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.  Bagaimanakah  uslub (gaya bahasa) al-Qur’an ?
  1. Bagaimanakah uslub (gaya bahasa) Madh dan z\amm dalam al-Qur’an ?
  2. Apa tujuan Madh dan z\amm dalam al-Qur’an?

C.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penulisan skripsi ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
                1.  Untuk mengetahui gaya bahasa Madh dan z\amm dalam al-Qur’an. 
                2.  Untuk mengetahui bentuk-bentuk madh dan z\amm dalam al-Qur’an.
                3.  Untuk mengetahui tujuan madh dan z\amm dalam al-Qur’an.
Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
                1.    Untuk memenuhi persyaratan  akademis mendapatkan gelar sarjana (S1).
                2.    Menambah khazanah ilmu pengetahuan  Islam, khususnya di bidang tafsir al-Qur’an. 
                3.     Sebagai bahan penelitian lebih lanjut.

D.  Tinjauan Pustaka

Sebenarnya masalah Madh dan z\amm telah banyak dibahas oleh para  mufassir dalam karya-karya mereka, seperti al-Qurtuby dengan karyanya al-Jami li Ahkamil-Qur’anAhmad as-Sawy dengan karyanya  Hasyiyah as-Sawy, Abu Jafar Muhammad ibn Jarir at-Tabary dengan karyanya Jamiul-Bayan,  al-Hafiz ‘Imadud-Din Ismail ibn Kas\ir dengan karyanya Tafsirul-Qur’an al-‘Azim, dan lain-lain.
Mereka banyak membahas Madh dan z\amm dalam al-Qur’an ayat demi ayat, walaupun ada yang lebih lengkap dan menjauhi penafsiran yang parsial. Al-Qurtuby misalnya, ia menyatakan bahwa Madh dan z\amm tidak hanya menggunakan lafaz yang berarti memuji atau mencela saja, tetapi juga memakai kata-kata yang secara lafziyah tidak berarti Madh atau z\amm, tetapi setelah dirangkai menjadi satu kalimat mengandung persepsi Madh atau z\amm. Ia menambahkan, bahwa Madh adalah antonim z\amm.
At-Tabary relatif sama dengan al-Qurtuby mengenai masalah Madh dan z\amm, ia menambahkan, bahwa sesunguhnya orang yang memuji sesuatu berarti telah memuji Allah SWT, dan orang yang mencela sesuatu sebenarnya ia telah mencela Allah SWT, karena Dia-lah yang mewujudkan segalanya.
Dalam hal ini, peneliti hendak meneliti tentang uslub Madh dan z\amm dalam al-Qur’an dengan merujuk kepada karya-karya di atas dan litelatur lain, karena sejauh pengetahuan peneliti, belum ada seorang yang membahas uslub Madh dan z\amm dalam al-Qur’an secara khusus, baik dari kalangan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta maupun lainnya.

E.  Metode Penelitian
Suatu ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan  interelasi yang sistematis  dari beberapa fakta. Metode ilmiah adalah suatu sarana untuk mencapai atau mengejar ideal ilmu pengetahuan tersebut.[20] Dengan metode, pengejaran itu dapat terlaksana secara rasional dan terarah demi mencapai hasil yang optimal.[21]
Adapun metode kerja yang digunakan peneliti adalah  metode kerja tafsir maudui, yaitu:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas.
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai dengan pengetahuan tentang asbab an-nuzul.
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line).
6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian  yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlaq dan muqayad, atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya  bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan.[22]
Di samping itu, peneliti dalam menjabarkan data-data, memakai metode deskriptif - analisis. Metode deskriptif  adalah  digunakan dalam rangka memberikan gambaran  data yang ada serrta memberikan interpretasi terhadapnya.[23] Sedangkan metode analisis  digunakan untuk melakukan  pemeriksaan (analisis) secara konsepsional atas makna yang  terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan dan pernyataan-pernyataan yang dibuat.[24]

F. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini disusun dalam  empat bab yaitu:
Bab pertama  meliputi pendahuluan,  latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian  dan sistematika pembahasan.
Bab kedua adalah uslub al-Qur’an yang meliputi  pengertian  uslub  al-Qur’an dan karakteristik uslub al-Qur’an.
Bab ketiga adalah uslub Madh dan z\amm dalam al-Qur’an yang meliputi definisi Madh dan z\amm dalam al-Qur’an, kaidah gramatikal (nahwiyah) uslub Madh dan z\amm, bentuk-bentuk uslub Madh dalam al-Qur’an dan  bentuk-bentuk uslub z\amm dalam al-Qur’an.
Bab keempat adalah analisis terhadap tujuan madh dan z\amm  dalam al-Qur’an yang meliputi urgensi Madh  dan z\amm dalam al-Qur’an, karakteristik surah Makkiyah dan Madaniyah, karakteristik uslub madh dan z\amm pada ayat Makkiyah dan Madaniyah, tujuan madh dan z\amm dalam al-Qur’an.
Bab kelima adalah penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.



Selengkapnya Silahkan >>> DOWNLOAD

 Tags: MADH DAN ZAMM  DALAM  AL-QUR’AN (Tinjauan terhadap Tujuan Madh dan Zamm dalam Al-Qur’an)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net