Senin, 26 Maret 2012

METODE ULAMA SALAF DALAM MEMAHAMI AYAT-AYAT MUTASYABIHAT (Studi terhadap Metode Tafwid dan Ta'wil Ayat-ayat tentang Sifat Allah)

METODE ULAMA SALAF DALAM MEMAHAMI AYAT-AYAT MUTASYABIHAT (Studi terhadap Metode Tafwid dan Ta'wil Ayat-ayat tentang Sifat Allah)

METODE ULAMA SALAF 
Oleh: Seowaps.com
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Perjalanan Islam sebagai risalah yang dibawa oleh Muhammad telah berlangsung lebih dari empat belas abad lamanya. Al-Qur'an sebagai rujukan utama dalam khazanah keislaman selalu dikaji oleh semua lapisan masyarakat untuk melahirkan pemahaman tentang Islam. Dari kajian-kajian tersebut melahirkan berbagai pemahanan yang tidak sedikit menimbulkan pertentangan sebagaimana yang terlihat dalam sejarah perjalanan umat Islam selama lebih dari empat belas abad lamanya. Umumnya umat Islam mengakui akan perbedaan pendapat. Bahkan mereka meyakini bahwa umat Islam akan terbagi dalam tujuh puluh tiga golongan. Sebagaimana yang termuat dalam hadis Nabi bahwa umat Islam ini terbagi kepada tujuh puluh tiga golongan.[1]
Dalam khazanah Islam muncul dikenal satu golongan yang cukup mendapat tempat terhormat dalam umat Islam. Golongan tersebut adalah golongan salaf. Sering sekali setiap perdebatan tentang pemahaman keislaman dikembalikan dan dicarikan rujukan yang bermuara pada golongan tersebut. Sehingga tidak jarang golongan-golongan yang muncul dalam Islam mengaku bahwa merekalah golongan yang sesuai dengan ulama salaf, dari sanalah salah satunya muncul firqah-firqah dalam Islam.
Munculnya firqah-firqah dalam Islam salah satunya terkait erat dengan pemahaman terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Secara global ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang terkait dengan sifat-sifat Allah. Secara garis besar paling tidak terdapat tiga golongan yang memiliki pemahaman berbeda yang cukup tajam. Dua kelompok, ekstrim kanan dan ekstrim kiri; Mu’tazilah dan Musyabbihah, dan satu kelompok moderat di tengah-tengah keduanya; ialah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Dari pemahaman terhadap ayat-ayat sifat ini, kaum Mu’tazilah melahirkan konsep nafi al-sifat” (peniadaan sifat-sifat Allah).[2] Belakangan, karena konsep ini, kaum Musyabbihah mengklaim Mu’tazilah sebagai al-Mu’attilah” (Kaum yang menafikan sifat-sifat Allah). Sedangkan kaum Musyabbihah, menetapkan adanya sifat-sifat tersebut, tetapi mereka menyerupakan sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat manusia.[3] Adapun kelompok yang dipandang cukup moderat, Ahlussunnah, mengambil jalan tengah, kelompok ini meyakini adanya sifat-sifat bagi Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat manusia.[4]
Pemahaman ulama salaf terhadap ayat-ayat mutasyabihat, di kemudian hari memiliki keterkaitan urgen dalam pembentukan pemahaman firqah-firqah tersebut di atas. Pertentangan hebat antara kaum Musyabbihah dengan Ahlussunnah, misalkan, salah satu pangkal sebabnya adalah adanya perbedaan pemahaman terhadap aqwal al-salaf  (statemen ulama salaf) dalam ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah. Kaum Musyabbihah dengan doktrin dasarnya; “mengambil makna z{ahir ayat-ayat mutasyabihat”, menurut mereka adalah merupakan pengamalan terhadap statemen ulama salaf "امروها كما جاء ت بلا كيف (pahamilah ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah tanpa ungkapan bagaimana).[5] Sementara pada saat yang sama, Ahlussunnah mengatakan bahwa kaum Musyabbihah tidak memahami statemen ulama salaf  امروها كما جاء ت بلا كيف   dengan sebenarnya. Menurut Ahlussunnah, bahwa yang dimaksud oleh ulama salaf dalam pernyataan mereka  امروها كما جاء ت بلا كيف " adalah penafian tasybih (keserupaan Allah dengan makhluk-Nya), dengan alasan adanya ungkapan bila kaif (tanpa deskripsi bagaimana),[6] dan karenanya itu tidak memahami dengan mengambil makna zahir ayat-ayat mutasyabihat.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika pertentangan antara dua kubu semakin hebat, terbentuk sementara pemahaman bahwa ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah tidak memakai metode ta’wil. Pemahaman ini belakangan semakin gencar disuarakan kaum Musyabbihah untuk menyerang Ahlussunnah. Kaum Musyabbihah berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dita'wil, karena men-ta’wil ayat-ayat sifat berarti sama dengan mengingkari hakikat ayat itu sendiri, di samping itu mereka meyakini bahwa ulama salaf tidak pernah memakai metode ta’wil. Dari sini kemudian muncul doktrin al-Mua’wwil Mu’attil (seorang yang menta’wil berarti mengingkari sifat-sifat Allah). Mereka memunculkan metode tafwid atau taslim sebagai antitesa metode ta’wil. Metode tafwid atau taslim menurut kaum Musyabbihah bukanlah bentuk dari pen-ta’wil-an, tetapi merupakan penyerahan apa adanya makna literal dari ayat. Kedua metode tersebut menurut mereka dipakai ulama salaf dalam memahami ayat-ayat sifat.
Di pihak lain, Ahlussunnah memandang bahwa metode ta’wil merupakan salah satu metode untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat, sehingga metode ta’wil  tidak dapat dipisahkan dari kitab-kitab tafsir. Bahkan secara umum, semua kitab yang membahas 'Ulum al-Qur’an tidak dapat melepaskan diri dari pembahasan metode ta’wil, seperti al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an karya al-Suyuti,[7] al-Burhan Fi 'Ulum al-Qur'an karya al-Zarkasyi,[8] atau karya lainnya dalam 'Ulum al-Qur’an dipastikan memuat metode ta’wil.
Sedangkan di sisi lain, kaum Mu'tazilah juga memberlakukan ta'wil dalam memahami ayat-ayat sifat, sebagaimana yang diutarakan Wasil, tetapi dengan penta'wilan itu mereka berkesimpulan pada peniadaan sifat-sifat Tuhan sebagaimana yang tertera dalam makna literal, bukan berarti mereka menolak ayat-ayat sifat seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Basar, al-Sama' dan lain-lain, tetapi penafsiran mereka berbeda dengan aliran teologi lainnya.[9]
Dari pernyataan-pernyataan di atas, penulis merasa tergugah untuk mengkaji dan menyelami kembali metode pemikiran ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat khususnya ayat-ayat sifat Allah. Ada beberapa hal yang membuat penelitian ini penting untuk dilakukan.
Pertama, dalam melakukan kajian mengenai ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah, ulama salaf lebih mengutamakan metode tafwid dan taslim.. Dengan kedua metode ini ulama salaf secara tidak langsung telah menyimpangkan makna (melakukan ta'wil), hal ini merupakan konsistensi ulama salaf dalam mensucikan Allah dari sifat mahluk-Nya, dan makna literal dari ayat-ayat sifat tersebut mustahil bagi Allah. Maka, dalam memahami ayat-ayat sifat, metode yang paling aman ini adalah tafwid dan taslim. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah metode tafwid dan taslim-nya ulama salaf sama dengan yang dipahami kaum Musyabbihah? Hal ini, tentu saja menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut.
 Kedua, ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat di samping menerapkan metode tafwid dan taslim, juga menerapkan metode ta'wil tafsili, yang dalam aplikasinya dengan merinci dan menentukan makna majazi (metaforis), sehingga tidak merubah esensi maknanya. Hal ini, dalam mengalihkan makna (ta'wil) merupakan keharusan bagi ulama salaf. Tetapi, asumsi dari berbagai kalangan Mutakalimin muncul bahwa ulama salaf tidak mempraktikkan ta'wil, mereka hanya menerapkan metode tafwid dan taslim saja dalam memahamkan ayat-ayat mutasyabihat. Dengan demikian, berangkat dari asumsi di atas, penelitian ini difokuskan terutama pada metode tafwid, taslim dan ta'wil tafsili yang diaplikasikan ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah.

B.     Rumusan Masalah
 Untuk menghindari kerancuan dan pembahasan yang melebar, penulis memfokuskan pembahasan ini pada metode tafwid atau taslim  sebagai bentuk ta’wil yang dikembangkan ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat.Pada praktiknyata’wil terbagi kepada dua bagian; Pertama: Memalingkan suatu lafaz dari makna zahir-nya dengan tanpa menentukan makna lain. Metode pertama ini disebut dengan Ta’wil IjmaliKedua: Memalingkan suatu lafaz dari makna zahir-nya dengan menentukan makna yang lain bagi lafaz tersebut yang masih dalam kandungan maknanya. Metode kedua ini disebut dengan Ta'wil Tafsili, seperti secara mayoritas ulama salaf men-ta'wil lafaz “Yad” dengan "Qudrah" (kekuasaan) atau dengan “’Ahd (perjanjian)”.
Di samping mendeskripsikan, penulis hendak mengungkap apakah dalam menerapkan metode tafwid, taslim dan ta’wil, para ulama salaf lebih menekankan pada ta'wil tafsili atau ta'wil ijmali atau bahkan menekankan keduanya. Oleh karena itu penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana metode ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah?
  2. Bagaimana penerapan metode tafwid, taslim dan ta'wil tafsili dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah oleh ulama salaf ?
C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan  :
1.      Mengetahui metode ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah.
2.      Mengetahuai  penerapan metode tafwidtaslim dan ta'wil tafsili ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah.
Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini adalah :
1.      Penelitian ini dilakukan guna memberikan gambaran pemahaman ulama salaf tentang ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat yang sering diperdebatkan.
2.      Penelitian ini diharapkan dapat memunculkan minat para pembaca untuk mendalami kembali khazanah pemikiran keislaman pada masa lampau serta dapat memberi gambaran posisi ulama salaf dalam khazanah penafsiran.

D.    Kajian Pustaka
Berbagai pustaka yang ditelusuri, penulis mengklasifikasikan karya tulis yang berhubungan dengan ayat-ayat mutasyabihat dalam dua jenis yaitu skripsi yang disusun oleh para mahasiswa dan buku-buku yang diterbitkan oleh berbagai penerbit.
Untuk karya skripsi, pertamaPandangan Muhammad 'Abduh terhadap ayat-ayat Mutasyabihat: Studi terhadap Tafsir al-Manar oleh Nur Rohman.[10]Dalam penelitiannya berusaha menitikberatkan pada pemikiran Muhammad 'Abduh dari kitab tafsirnya (al-Manar) tentang ayat-ayat mutasyabihat. 'Abduh mengungkapkan berbagai ayat-ayat mutasyabihat yang ada dalam al-Qur'an. Sedangkan pada kesimpulan tentang ayat-ayat mutasyabihat ia tidak jauh berbeda dengan para ulama sebelumnya yaitu dengan memberlakukan ta'wil guna memahami ayat-ayat mutasyabihat, dan dia cenderung lebih akomodatif dengan mengangkat sepuluh definisi kemudian menganalisanya. Dari skripsi ini, penulis tidak menemukan pengungkapan metode tafwid dan ta'wil ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat pandangan ulama salaf, karena memang dalam penelitian Nur Rohman terfokus kepada pemikiran 'Abduh sendiri.
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Noer Fadilah Wening Dwihastuti[11]mengenai Penafsiran Hamka terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat (Kajian Tafsir al-Azhar). Dia berkesimpulan bahwa Hamka menerapkan dua metode dalam menyikapi ayat-ayat Mutasyabihat. Pertama, menggunakan penta'wilan terhadap ayat-ayat yang dianggap dapat dicari ta'wilnya, dan kedua bersikap tidak melakukan penta'wilan terhadap ayat-ayat yang dianggap hanya Allah saja yang mengetahuinya. Karena jika dipaksakan untuk mencari-cari ta'wilnya dikhawatirkan akan keluar dan menyimpang dari maksud ayat yang disampaikan. Sedangkan pengertian ta'wil dalam arti pengalihan makna, banyak digunakan Hamka dalam melakukan penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang kata-katanya mengandung dua arti, seperti mengalihkan makna aw lamastumu al-nisa dengan bersetubuh, demikian pula ma lam tamasuhunna dita'wilkan dengan sebelum disetubuhi. Sedangkan penerapan tentang metode ta'wil pada ayat-ayat mutasyabihat  mengenai sifat Allah oleh Noer Fadilah kurang terapresiasi, karena dalam skripsi ini lebih terfokus pada gambaran umum pemikiran Hamka tentang ayat Mutasyabihat.
 Ketiga, mengenai Penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat (Studi Komparatif antara Hasbi ash-Shidieqi dan Hamka) oleh Kurningsih.[12] Dari analisa kedua tokoh, Kurningsih menyatakan tidak ada perbedaan yang mendasar dalam menafsirkan aya-ayat mutasyabihat tentang sifat. Dari berbagai contoh yang dipaparkan, baik oleh ash-Shidieqi maupun Hamka memakai ta'wil pada empat ayat dan tawaquf pada istawa dan ja'a Rabukka, sementara Hamka pada kata istawa dan ain. Kedua tokoh itu disebutkan menggunakan metode ulama salaf dalam memahami beberapa hal tentang ayat-ayat sifat, tetapi skripsi tidak banyak mengupas tentang metode ulama salaf, karena skripsi ini lebih terfokus pada pemikiran dua tokoh yang dikaji.
Keempat, Mengenai Pandangan T{abataba'i terhadap Muhkam Mutasyabih oleh Muhammad Syarief.[13] Dalam tulisannya menitikberatkan pada pemahaman T{abataba'i tentang ta'wil, ia berkesimpulan bahwa T{abataba'i berpendapat bahwa ta'wil  dapat dipergunakan pada semua ayat al-Qur'an, baik yang memiliki dimensi muhkam-mutasyabih.
Sementara karya skripsi yang mengkaji tentang konsep ta'wil penulis temukan di antaranya: pertamaTa'wil dalam Pemikiran T{abataba'i (Studi terhadap Tafsir al-Mizan) oleh Muhammad Ghuzi.[14]Dalam penelitiannya ia lebih menitikberatkan pada metode ta'wil yang digunakan  T{abataba'i  pada semua ayat al-Qur'an, karena  T{abataba'i  ingin mengembalikan semua ayat al-Qur'an pada asalnya yang mengandung sisi batin dan lahir serta mengandung simbol-simbol yang memungkinkan semuanya untuk dita'wil.
Kedua, mengenai Komparasi Hermeneutis Konsep Ta'wil Menurut Muhammad Syahrur dan Nasr Hamid Abu Zaid dalam Perspektif al-Ta'wil al-Ilmi oleh Fahrur Rozi.[15] Dalam usaha menyingkap karakteristik perspektif al-ta'wil al-ilmi yang tercermin dalam konsep ta'wil, Fahrur Rozi dalam penjelajahannya mengadakan "pengujian paradigmatis" (paradigmatic examination), sehingga terungkap berbagai struktur paradigma keilmuan Syahrur dan Abu Zaid. Di samping itu juga ia mengadakan "pengujian hermeneutis"(hermeneuitical examination) atas produk pemikiran yang dihasilkan, yaitu kerangka konseptual dari konsep ta'wil yang dirumuskan Syahrur dan Abu Zaid. Dari kedua peneliti di atas dalam mengelaborasi pemahaman ulama salaf terhadap ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah belum menyentuh secara metodologis, karena memang dalam penelitiannya tidak mengacu kepada ulama salaf.
Sementara dari survei untuk karya kitab, buku, artikel, penulis menemukan beberapa kitab di antaranya: Sahih al-Bukhari karya al-Bukhari,[16] dalam bab tafsirnya mengemukakan ta'wil dengan contohnya. Sedangkan dalam buku Idah al-Dalil fi Qat'i Hujaj Ahl al-Ta'til karya Badruddin ibn Jama'ah banyak dimuat ayat-ayat mutasyabihat beserta ta'wil ulama salaf. Ulama salaf menurutnya adalah mereka yang hidup dalam tiga ratus tahun setelah hijrahnya Nabi Muhammad, mereka dari kalangan ulama yang kompeten dalam bidangnya seperti ilmu hadis, ilmu fiqih, tauhid dan sebagainya.[17]Sebagai penolakannya terhadap Antropomorfisme, al-Jama'ah mengemukakan bahwa Allah tidak seperti mahluknya yang membutuhkan kepada tempat, seperti ketika menta'wil lafaz istawa menta'wilnya dengan al-qahr dan al-istila, karena makna ini sesuai dengan sifat dan keagungan Allah.[18]
Dalam kitab al-Asma wa al-S{ifat karya  al-Baihaqi  banyak dimuat ta'wil-ta'wil ulama salaf, seperti Ibn 'Abbas menta'wil QS. al-Zariyat [51]: 47 tentang "al-yad" dimaknai dengan "al-quwwah"(kekuatan), juga ketika menta'wil tentang cahaya,[19] di sini Allah sebagai pemberi hidayat kepada penghuni langit dan bumi dan bukan dimaknai sebagai cahaya yang terdiri dari unsur materi.[20]
Di samping karya di atas, sebuah karya dari 'Abdullah al-Harari dengan judul bukunya S{arih al-Bayan fi al-Rad 'ala man Khalafa al-Qur'an, yang memuat prinsip-prinsip akidah ulama salaf, juga di dalamnya membahas penetapan ta'wil tafsili ulama salaf, penerapan metode ta'wil disertai beberapa contoh baik dari ayat al-Qur'an ataupun hadis Nabi yang mutasyabihat mulai dari Ibn 'Abbas, Mujahid, Ahmad ib H{anbal, dan al-Bukhari sebagaimana penerapannya terhadap ta'wil ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah.[21]Ia juga mengemukakan pentingnya ta'wil ijmali (istilah lain dari tafwid{ dan taslim) sebagai penetapan dari ayat-ayat tentang sifat Allah, karena taslim dan tafwid menurutnya lebih dekat kepada metode tanzih (pensucian terhadap sifat Allah dari sifat mahluk-Nya).[22]
Kemudian, kitab Mutasyabih al-Qur'an karya al-Qadi 'Abd al-Jabbar al-Hamaz\ani yang menghimpun ayat-ayat mutasyabihat dengan beberapa ta'wil-nya. Buku ini berusaha memberikan penjelasan tentang ayat-ayat yang dianggap mengandung ambiguitas oleh kaum Mu'tazilah dan dipakai secara salah oleh lawan-lawannya. Ambiguitas ini dimaksudkan sebagai kemungkinannya secara lahiriyah atau secara ta'wil untuk dipakai sebagai dalil pendukung pendapat-pendapat yang bertentangan atau berbeda dengan kaum Mu'tazilah. Pengertian ini menurut mereka tidak dapat dipegangi karena bertentangan dengan dalil-dalil akal.[23] Kitab ini juga pernah diteliti oleh Machasin dalam sebuah disertasinya, tetapi tidak semua masalah yang dibahas 'Abd al-Jabbar dibicarakan, melainkan dipilih beberapa topik. Ada empat topik yang dipilih, yakni: tanggung jawab manusia, keadilan Allah, Antropomorfisme dan masalah pelaku dosa besar. Keempat persoalan ini adalah yang paling banyak dibahas dalam teologi Islam klasik.[24]
Selanjutnya, al-Misbah al-Munir karya Ahmad ibn Muhammad 'Aly al-Fayumi al-Muqarri menampilkan dalam kitabnya tentang makna ayat-ayat al-Qur'an (ma'ani al-Qur'an) khususnya tentang ayat-ayat sifat Allah, seperti kata al-yad (tangan) yang disinyalir sebagai sifat Allah yang bermakna al-qudrah (kekuasaan) atau dengan al-quwwah (kekuatan).[25]
Kemudian kitab yang membahas ilmu-ilmu al-Qur’an adalah al-Itqan karya Jalaluddin al-Sayuti.[26] Dalam bab Muhkam dan Mutasyabih-nya merekam beberapa pendapat sekitar pengertian muhkam dan mutasyabih yang terfokus pada QS. Ali-'Imran [3]: 7. Di antaranya ada yang memberi pengertian bahwa muhkam adalah ayat-ayat al-Qur'an yang diketahui maksud, penjelasan dan penta'wilannya. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui maknanya, seperti kapan terjadinya hari Kiamat, keluarnya Dajjal dan huruf muqata'ah di awal surat. Ada juga yang memberi pengertian muhkam dengan ayat-ayat al-Qur'an yang jelas maknanya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya. Ada juga yang mendefinisikan muhkam sebagai ayat-ayat yang mengandung penta'wilan hanya dari satu segi. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung kemungkinan dita'wilkan dari beberapa segi. Kemudian yang lainnya memberikan pengertian bahwa muhkam adalah ayat-ayat yang ma'qul al-ma'na. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang ghairu ma'qul al-ma'na. Dan masih banyak lagi yang memberikan pengertian lain terhadap kedua terma tersebut.[27]
Kemudian, dalam kitab Ihya 'Ulum al-Din karya Abu H{amid Muh{ammad ibn Muhammad al-Ghazali juga dimuat tentang beberapa kajian akidah ulama salaf.[28] Sebagian dari ayat-ayat mutasyabihat yang mengandung sifat Allah seperti lafaz istawa, al-yad, alwajh dikemukakan dengan menggunakan metode ta'wil tafsili, tetapi dalam sebagian ayat mutasyabihat juga menggunakannya metode tafwid dan taslim sebagai kehati-hatian terhadap paham Antropomorfisme.
Di samping itu juga tafsir al-Jami li al-Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi yang menetapkan metode ta'wil tafsili dan berusaha untuk mengungkapkan makna dengan merincinya, seperti QS. al-An'am [6]: 52 mengenai "al-wajh". Secara lahiriyah makna ayat ini mengandung makna wajah yang dimiliki Tuhan, tetapi al-Qurtubi di sini berusaha memberikan penjelasannya yang berbeda dengan apa yang tersirat dalam ayat tersebut dengan mengungkapkan bahwa wajah yang dimaksud adalah mengharapkan keta'atan manusia kepada Allah secara ikhlas dalam hal beribadah dan tidak menghadap kepada selain-Nya.
Al-Zarkasyi dengan kitabnya al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an juga mengemukakan pentingnya akan metode ta'wil sebagai metodologi penafsiran al-Qur'an terutama dalam penafsiran ayat-ayat mutasyabihatTa'wil menurutnya adalah mengalihkan ayat pada makna yang sesuai dengan yang sebelum dan sesudahnya, yaitu makna yang dimungkinkan oleh ayat tidak bertentangan dengan al-Kitab dan al-Sunnah melalui istinbat[29]
 Beberapa karya ulama kontemporer yang komprehensif dengan memberikan pandangannya terhadap metode ta’wil terhadap ayat-ayat sifat dengan mengacu kepada beberapa kitab-kitab ulama salaf seperti Al-Sarah al-Qawim fi Halli Alfaz al-S{irat al-Mustaqim  karya 'Abdulah al-Harari[30] yang menjelaskan Ta'wil secara terperinci QS. T{aha [20]: 5, bahwa Allah tidak duduk di atas Arsy juga tidak bersemayam, dan juga tidak bersentuhan dengannya. Sebagian interpretasinya dengan mengimani"taslim" tanpa memberikan makna secara zahir-nya, dari pemahaman ta'wil ini ia menamakannya dengan"ta'wil ijmali". Kemudian buku-buku lain mengenai ilmu-ilmu al-Qur’an seperti Subhi al-S{alih dalam Mabahis fi 'Ulum al-Qur’an, sebagian pembahasannya mengenai sifat-sifat Allah pada ayat-ayat yang Mutasyabih (tidak jelas hakikatnya) membagi kepada dua maz\hab di kalangan para ulama: pertamamaz\hab salaf (para ulama di kalangan generasi sahabat Nabi) yang menggunakan metode tafwid terhadap ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat dan menyerahkan makna serta pengertiannya kepada Allah SWT. KeduaMaz\hab khalaf (para ulama di kalangan generasi-generasi berikutnya) yang menetapkan makna bagi lafaz-lafaz yang menurut lahirnya mustahil bagi Allah. Maz\hab ini menurutnya berasal dari Imam H{aramain[31] dan jama'ah berikutnya.[32]   
 Muhammad Chirzin dalam bukunya al-Qur’an dan Ulumul Qur’an menyebutkan muhkam dan mutasyabih yang terdapat pada QS. Ali-Imran [3]: 7 menjadi titik sentral dari berbagai perdebatan, kriteria, bentuk-bentuk tasybih-nya dan lain sebagainya.[33] Ia juga menyebutkan tiga masalah mengenai ayat-ayat mutasyabihat. Pertama, mengenai boleh tidaknya melakukan ta'wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Kedua, jika boleh siapakah yang diperbolehkan melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Ketiga, tentang kriteria ayat yang dimasukkan ke dalam kategori ayat-ayat muhkamat dan yang dimasukkan ke dalam katergori ayat-ayat mutasyabihat.[34] Sedangkan untuk melihat historisitas yang dikemukakan oleh para teolog mengenai sifat-sifat Allah, penulis temukan dalam al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani  yang banyak memberikan kontribusi lintas interpretasi para teolog dalam menetapkan sifat-sifat Allah, juga dalam kitabnya ia mengklasifikasikan perpecahan aliran-aliran dalam Islam.
Dari beberapa pustaka tersebut di atas, penulis merasa ada sesuatu yang terlewatkan, yaitu mengenai metode ta'wil yang dilakukan oleh ulama salaf. Selama ini hanya disebutkan bahwa orang merujuk pada ulama salaf, tetapi secara khusus belum pernah dibahas bagaimana penafsiran ulama salaf itu sendiri, dan siapa saja yang termasuk ulama salaf . Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk lebih menfokuskan pada penelitian tentang  metode ta'wil yang dilakukan ulama salaf.




E.      Metode Penelitian
Penelitian pada skripsi ini berupa penelitian kepustakaan (library research)[35] yang bersifat literer, artinya penelitian ini secara langsung akan didasarkan pada data tertulis yang berbentuk kitab-kitab terutama karya klasik, juga buku-buku yang terkait. Dalam proses pelaksanaannya, sumber data diklasifikasikan dalam dua kategori, sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber primer seharusnya adalah karya asli ulama salaf, tetapi karena keterbatasan untuk menjangkau karya-karya mereka, maka penulis mengkaji karya-karya representatif yang memberikan acuan dan mempunyai kontribusi dalam mendeskripsikan pemikiran mereka. Data primer pertama, mengacu kepada karya ulama salaf seperti Sahih al-Bukhari karya al-Bukhari, alasan dijadikan buku primer karena ia termasuk ulama salaf juga memuat beberapa ta'wil ayat-ayat al-Qur'an dalam bab tafsirnya. Kemudian kitab kedua Idah al-Dalil fi Qat'i H{ujaj Ahl al-Ta'til karya Badr al-Din ibn Jama'ah yang memuat ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah beserta ta'wil-nya ulama salaf, kitab ketiganya karya al-Baihaqi  yaitu al-Asma wa al-S{ifat yang banyak memuat ta'wil-ta'wil ulama salaf juga, kitab keempat S{arih al-Bayan Fi al-Rad Ala Man Khalafa al-Qur'an karya 'Abdullah al-Harari, yang memuat prinsip-prinsip akidah ulama salaf, juga di dalam kajiannya membahas penetapan ta'wil tafsili ulama salaf. Buku lain tentang Mutasyabih al-Qur'an karya al-Qadi 'Abd al-Jabbar al-Hamaz\ani yang menghimpun ayat-ayat mutasyabihat dengan beberapa ta'wil-nya. Sedangkan data sekundernya adalah segala sumber tertulis baik kitab, buku, ensiklopedi, jurnal atau tulisan berbentuk artikel yang berkaitan dengan pembahasan, baik mengenai sejarah kajian al-Qur'an maupun metode penta'wilan ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah.
Dalam penelitian kali ini, penulis menggunakan metode deskripsi yang berupaya mendeskripsikan metode pemahaman ulama salaf terhadap ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah dan menyusunnya secara sistematis dan logis. Dalam al-Qur'an ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah lebih dari dua puluh ayat disebutkan, tetapi penulis tidak membahas secara keseluruhannya. Dengan segala keterbatasannya untuk menguatkan pendeskripsian ini, penulis menampilkan berbagai contoh yang berkenaan dengan ragam penta'wilan ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah dalam al-Qur'an dengan tiga makna sifat Allah saja, yaitu makna istawaal-wajh dan al-yad. Adapun pendekatan sejarah, digunakan dalam rangka menyingkap secara kronologis penafsiran ulama salaf, juga berguna untuk memahami kondisi objektif perkembangan sejarah kajian al-Qur'an di era salaf.

F.      Sistematika Pembahasan
Seluruh pembahasan dalam skripsi ini akan penulis paparkan ke dalam beberapa bab agar pembahasan ini teratur, maka sistematika penulisannya adalah sebagai berikut: bab pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah untuk memberi penjelasan mengapa penelitian ini perlu dilakukan, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas periodisasi ulama salaf dan kajiannya dalam ulum al-Qur'an. Bab ini meliputi pengertian salaf secara etimologi dan terminologi, dilanjutkan dengan pembahasan periodisasi ulama salaf, di mana ulama salaf terbagi kepada tiga masa. Pertama periode sahabat, kedua periode Tabi'in, dan ketiga periode Tabi' al-Tabi'in, selanjutnya dalam bab ini dijelaskan pula mengenai ulama salaf dalam kajiannya terhadap studi al-Qur'an secara umum guna mengetahui problematika seputar kajian ulum al-Qur'an generasi Islam awal.
 Bab ketiga, membahas tinjauan para ulama terhadap kajian ayat-ayat Mutasyabihat. Bab ini meliputi: pengertian Mutasyabihat secara etimologi dan terminologi, dilanjutkan dengan menjelaskan pengertian ayat-ayat al-Qur'an yang mengandung ayat-ayat sifat Allah dengan maksud agar pembahasan yang terkandung dapat terungkap secara menyeluruh, juga dijelaskan pengertian ayat-ayat tentang sifat, dan pandangan ulama salaf dalam merespon makna ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah. Selanjutnya dalam bab ini dijelaskan pula implikasi pemahaman ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah terhadap perkembangan firqah-firqah dalam Islam.
Bab keempat, merupakan pembahasan inti yang akan mengkaji ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah dalam konstelasi pemahaman ulama salaf. Pembahasan bagian pertama meliputi metode tafwid, taslim dengan menjelaskan beberapa pengertiannya, dijelaskan pula ungkapan dan penerapan ulama salaf dengan metode tafwid dan taslim  dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah, dijelaskan pula beberapa contoh dalam tafwid dan taslim.
Bagian kedua masih dalam konstelasi ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat terkait dengan ayat-ayat sifat Allah, dengan membahas metode ta'wil, definisinya dan beberapa contoh ta'wil ayat-ayat mutasyabihat ulama salaf. Bagian ketiga sebagai penegasan kembali dalam penelitian ini, penulis mengkaji relasi antara metode tafwid, taslim dengan ta'wil, dilanjutkan dengan menjelaskan pembagian ta'wil yang dalam hal ini terbagi kepada dua bagianta'wil ijmali dan ta'wil tafsili, dilanjutkan dengan analisa dan implikasinya dalam konteks penafsiran sebagai catatan akhir penulis.
Bab kelima adalah penutup terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran.

Selengkapnya Silahkan ===> DOWNLOAD


Tags: METODE ULAMA SALAF DALAM MEMAHAMI AYAT-AYAT MUTASYABIHAT (Studi terhadap Metode Tafwid dan Ta'wil Ayat-ayat tentang Sifat Allah)

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net