Senin, 26 Maret 2012

PERKEMBANGAN PERADABAN PADA MASA PEMERINTAHAN ABD AL-RAHMAN AL-NASHIR LI-DINILLAH DI ANDALUSIA (912-961 M)



PERKEMBANGAN PERADABAN PADA MASA PEMERINTAHAN ABD AL-RAHMAN AL-NASHIR LI-DINILLAH DI ANDALUSIA (912-961 M)


BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah


Semenanjung Iberia adalah nama tua untuk wilayah Spanyol dan Portugal. Karena sejak awal abad 5 M (406 M) dikuasai oleh bangsa Vandals, wilayah tersebut dinamakan Vandalusia. Dalam perkembangan selanjutnya wilayah ini dikuasai oleh bangsa Visigoth. Akan tetapi pada tahun 711 M, Semenanjung Iberia jatuh ke dalam kekuasaan Islam,[1] yaitu di bawah pimpinan Musa ibn Nushair dan hambanya Thariq ibn Ziyyad.[2] Sejak itulah wilayah ini dikenal sebagai Andalusia.[3]

Abd al-Rahman III adalah penguasa dinasti Bani Umayyah II di Andalusia yang kedelapan dan merupakan penguasa pertama yang menggunakan gelar khalifah.[4] Dia merupakan orang yang paling cakap dan paling besar di antara penguasa Bani Umayyah di Andalusia.[5] Dia naik tahta pada tahun 912 M ketika berusia 22 tahun.[6] Penobatannya disambut dan diterima oleh segenap kalangan.[7]

Pada waktu Abd al-Rahman naik tahta, dinasti Bani Umayyah dalam keadaan lemah; dia dihadapkan pada masalah internal dan eksternal. Selama masa pemerintahan sebelumnya yaitu Abdullah ibn Muhammad I (888-912 M), kakek Abd al-Rahman III yang juga membesarkan dan mendidiknya, keadaan Andalusia saat itu berada pada tahap kemerosotan dan terancam bahaya. Banyak gubernur provinsi yang menyatakan kemerdakaanya,[8] sehingga kedaulatannya hanya tinggal di Cordova dan sekitarnya, bahkan sedang terjadi perang saudara dan pertempuran antar berbagai kabilah Arab.[9] Di sana banyak terjadi perampokan, sehingga ekonomi merosot, terutama pemberontakan dari kerajan Kristen di utara dan ancaman dinasti Fathimiyah di Mesir.[10] Dalam kondisi seperti itu Abd al-Rahman III berhasil memajukan dinasti Bani Umayyah II di Andalusia di segala bidang, baik bidang politik, ekonomi, agama, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

 Pemerintahan Abdurrahman III terbagi atas dua periode, pertama; periode keamiran (912-929 M), kedua; periode kekhalifahan (929-961 M).[11] Yang pertama kali dia lakukan ketika memegang kendali pemerintahan ialah menyatukan visi politik di wilayah Andalusia, dan mengikis habis pemberontakan yang dipimpin oleh Umar ibn Hafsun[12] yang mendapat dukungan dari dinasti Fathimiyyah, sebagai awal usaha mereka untuk menguasai Andalusia, juga didukung oleh budak bangsa Berber dan pemuka bangsa Arab yang memberontak.[13] Dalam dua tahun pertama dari pemerintahannya, Abd al-Rahman III dapat mengalahkan pemberontakan Umar ibn Hafsun dan dalam masa dua puluh tahun pertama Abd al-Rahman berhasil mengkonsolidasikan Andalusia.[14] Setelah memantapkan kedamaian dalam negeri, Abd al-Rahman III menghadapi tantangan dari pimpinan-pimpinan Kristen di utara. Pada tahun 916 M dan 917 M, Abd al-Rahman mengirim Ahmad, anak Abi Abdah untuk mengejar orang-orang Kristen dan melindungi orang Islam di utara. Pada tahun 930 M, Abd al-Rahman berhasil mengalahkan kerajaan Leon dan kerajaan Navarre.[15] Abd al-Rahman juga berhasil meredam perlawanan dinasti Fathimiyyah di Mesir yang ingin memperluas kekuasaannya di Andalusia.

Setelah berhasil meredam perlawanan dinasti Fathimiyyah di Mesir, pada hari Jum’at bulan Januari tahun 317 H (929 M)[16] Abd al-Rahman III dengan menggunakan gelar al-Nashir (yang berjaya), meningkatkan status pemerintahannya dari imarah menjadi khilafah. Sejak dinasti Bani Umayyah II di Andalusia berdiri sampai masa awal Abd al-Rahman al-Nashir secara politis wilayah Andalusia lepas dari kekuasaan dinasti Bani Abbas di Baghdad, sekalipun kepala pemerintahan masih menggunakan amir, karena menurut oktrin teori hukum ortodox (Fiqih), kekhalifahan itu satu dan tidak bisa di bagi_, kekhalifahan menurut doktrin ini, hanyalah kepala negara yang menguasai dua kota suci Mekkah dan Madinah.[17]

Kebijakan ini diambil dengan berdasarkan kepada alasan bahwa: pertama, kekuasaan dinasti Abbasiyah sepeninggal al-Mutawakkil, hanya tinggal sebagai lambang. Kedua, dinasti Fathimiyyah di Mesir sudah menggunakan khalifah sebagai penguasa tertingginya. Ketiga, kedua kekuasaan itu tidak lebih kuat jika dibandingkan dengan kekuasaan dinasti Bani Umayyah di Andalusia pada waktu itu.[18] Dengan demikian, dalam dasawarsa pertama dari Abad ke-4 H (10 M), terdapat tiga kekhalifahan, dua kekhalifahan Sunni, yaitu kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, dan kekhalifahan Umayyah di Andalusia, dan satu kekhalifahan Syi’ah yaitu kekhalifahan Fathimiyyah di Mesir.[19] Dengan begitu Abd al-Rahman al-Nashir dalam kedudukannya sebagai penguasa tertinggi negara dipanggil dengan gelar Amir al-Mukminin Khalifah al-Nashir li-Dinillah.[20] Dengan melakukan kebijakan mengubah amir menjadi khalifah, telah mengubah pendapat umum yang dianut ketika itu, bahwa kepemimpinan politik Islam hanya satu, tidak lagi dipegang secara ketat. Para ulama memberikan legitimasi atas berbilangnya khalifah dengan menyatakan bahwa boleh ada beberapa khalifah, asalkan dipisahkan oleh laut.[21]

Selama 49 tahun memerintah, Abd al-Rahman al-Nashir tidak hanya mengamankan Andalusia dari kehancuran, namun sekaligus menciptakan kemakmuran dan kemajuan Andalusia. Kemajuan dalam bidang perekonomian mendukungnya untuk melancarkan kegiatan pembangunan di Andalusia. Industri dan perdagangan sangat maju sampai ke luar negeri, bahkan merupakan yang terbesar di Eropa pada waktu itu.

Di bawah pemerintahan khalifah Abd al-Rahman al-Nashir, Andalusia mengalami kemajuan peradaban yang menakjubkan dan merupakan simbol keagungan peradaban Muslim.[22] Pada saat itu Cordova ibu kota Andalusia penduduknya berkembang menjadi satu juta jiwa dan memiliki perpustakaan besar, sehingga Cordova dikenal sebagai pusat intelektual Eropa.[23] Orang-orang Eropa Kristen banyak belajar di perguruan tinggi Islam di sana, sehingga Islam menjadi uru_ bagi orang Eropa.[24]

Di bidang seni arsitektur, Cordova terkenal dengan arsitekturnya yang sangat menarik. Di sana terdapat 600 masjid, 80.000 gedung, dan 900 tempat pemandian umum.[25] Kemudian Abd al-Rahman membangun ibu kota pemerintahannya yang baru, di dekat Cordova, yaitu al-Zahra, yang dibangun oleh Abd al-Rahman untuk isterinya tercinta, yang merupakan gambaran terbaik untuk kemegahan Andalusia. Abd al-Rahman III berhasil menyatukan penduduk Andalusia, yang terdiri dari orang-orang Arab, Berber, Yahudi, Nasrani dan ada juga orang-orang Yunani. [26] Dia mengadakan hubungan diplomatik dengan luar negeri, diantaranya dengan kerajaan Bizantium, Itali, Jerman, dan Perancis.[27]

Berdasarkan pada pemikiran di atas, perkembangan peradaban pada masa pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir di Andalusia, mempunyai kelebihan tersendiri. Oleh karena itu, peneliti mencoba mendeskripsikan dan memaparkan perkembangan peradaban yang dibangun oleh Abd al-Rahman al-Nashir.





B.     Batasan dan Perumusan Masalah

Pokok pembahasan yang dikaji dalam skripsi ini adalah Abd al-Rahman al-Nashir dengan kebijakannya dalam memimpin pemerintahan serta pengaruhnya terhadap kemajuan kerajaan dinasti Bani Umayyah II di Andalusia. Kajian terhadap kebijakan kenegaraan ini difokuskan terhadap kiprahnya pada bidang politik yang membawa pemerintahan dinasti Bani Umayyah II di Andalusia mencapai puncak kejayaannya yang belum pernah dicapai oleh pendahulunya. Sebagai kepala pemerintah, dia mampu menciptakan keamanan dan kesejahteraan bagi kepentingan rakyatnya. Penelitian ini menelusuri lebih dalam mengenai Abd al-Rahman al-Nashir dalam mewujudkan kebijakan pemerintahannya pada tahun 912-961 M. Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah, maka perlu dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1.      Bagaimana situasi dan kondisi politik di Andalusia menjelang pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir li-Dinillah?

2.      Bagaimana kebijakan politik yang diterapkan Abd al-Rahman al-Nashir di Andalusia?

3.       Bagaimana prestasi pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir di bidang peradaban?



C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Sesuai dengan judul skripsi yang diajukan dan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan pokok dari penelitian ini adalah:

1.       Untuk mendeskripsikan mengenai situasi dan kondisi politik di Andalusia menjelang pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir li-Dinillah

2.       Untuk mendeskripsikan mengenai kebijakan politik yang diterapkan Abd al-Rahman al-Nashir di Andalusia

3.       Untuk mendeskripsikan prestasi pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir di bidang peradaban

Adapun kegunaan dalam penelitian ini sebagai berikut:

  1. Menambah bahan dan pengetahuan di bidang sejarah, khususnya sejarah Islam pada masa klasik
  2. Memberikan informasi bahwa dinasti Bani Umayyah II di Andalusia mencapai puncak kejayaannya pada masa Abd al-Rahman al-Nashir li-Dinillah
  3. Mempermudah Mahasiswa Sejarah dan kalangan intelektual pada umumnya di dalam mempelajari dan menemukan literatur tentang pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir di Andalusia yang disajikan dalam teks bahasa Indonesia.



D.    Tinjauan Pustaka


Pembahasan mengenai perkembangan peradaban pada masa pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir (912-961 M) ini sebetulnya bukanlah yang pertama, beberapa karya yang terdahulu banyak secara langsung maupun tidak langsung membahas mengenai pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir. Diantaranya Umar Asasuddin Sokah, dalam al-Jami’ah, Majalah Ilmu Pengetahuan no. 44 tahun 1986, yang berjudul bdurrahman III dan Sultan Akbar (Suatu Studi Perbandingan)_, secara khusus membahas mengenai perbandingan Abd al-Rahman al-Nashir dan Sultan Akbar. Pembahasan mengenai Abd al-Rahman al-Nashir dijelaskan kebijakannya di bidang politik, namun pembahasannya tidak dijelaskan secara komprehensif, dan pembahasan mengenai situasi dan kondisi politik menjelang pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir juga tidak dijelaskan secara komprehensif.

Buku karangan K. Ali, yang berjudul A Study of Islamic History ( India: Idarah-i Adabiyat-i  Delli, 1980). membahas Sejarah Islam dari zaman sebelum Islam sampai periode masa tiga kerajaan besar (Safawi, Mughol dan Turki Usmani). Mengenai Abd al-Rahman al-Nashir dijelaskan kebijakannya di bidang politik, namun pembahasan mengenai pengangkatan Abd al-Rahman sebagai khalifah tidak dijelaskan secara komprehensif, dan mengenai biografi Abd al-Rahman tidak dijelaskan sama sekali.

Buku karangan W. Montgomery Watt dan Pierre Cachia, yang berjudul A History of Islamic Spain (Edinburg: University Press, 1992), membahas mengenai Islamisasi di Spanyol sampai jatuhnya Islam di Spanyol. Pembahasan mengenai Abd al-Rahman al-Nashir dijelaskan mengenai kebijakannya di bidang politik dan perkembangan peradaban pada masa Abd al-Rahman al-Nashir. Pembahasan mengenai biografi Abd al-Rahman al-Nashir tidak dijelaskan secara komprehensif.

Buku A Political History of Muslim Spain, karangan S. M. Imamuddin (Pakistan: Najmah Sons, 1969) membahas dari masuknya Islam di Spanyol sampai runtuhnya dinasti-dinasti Islam di Spanyol. Pembahasan mengenai Abd  al-Rahman al-Nashir lebih terfokus di bidang politik, sedangkan situasi dan kondisi politik menjelang Abd al-Rahman al-Nashir serta prestasinya di bidang peradaban tidak dijelaskan secara komprehensif.

Buku karangan Syed Amir Ali, yang berjudul A Short History of The Saracens (New Delhi: Kitab bhavan, 1994) membahas mengenai Islam pada zaman Nabi, dinasti Bani Umayyah di Damaskus, dinasti Bani Abbas, dinasti Bani Umayyah di Spanyol dan Islam di Afrika. Pembahasan mengenai Abd al-Rahman al- Nashir meliputi kebijakannya di bidang politik dan situasi dan kondisi menjelang pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir, sedangkan prestasinya di bidang peradaban hanya dijelaskan secara ringkas.

Dalam buku Spanish Islam: A History of The Moslems In Spain (London: Chatto & Windus, 1913) karangan Reinhart Dozy, pembahasan mengenai Abd al-Rahman dijelaskan mengenai kebijakannya di bidang politik, sedangkan  mengenai situasi dan kondisi menjelang pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir dan prestasinya di bidang peradaban tidak dijelaskan secara komprehensif.

Dari buku-buku yang ada, penulis belum menemukan suatu buku yang menjelaskan secara khusus mengenai perkembangan peradaban pada masa pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir, buku-buku yang sudah ada itu, penjelasan mengenai Abd al-Rahman al- Nashir hanya merupakan bagian dari pembahasan mengenai dinasti Bani Umayyah II di Andalusia.  



E.     Landasan Teori


Penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisis perkembangan peradaban pada masa pemerintahan Abd al-Rahman di Andalusia, meliputi kebijakan politik yang diterapkan dan pengaruhnya terhadap masyarakat setempat. Kebijakan yang ditumbuh-kembangkan Abd al-Rahman al-Nashir menghantarkan Andalusia menjadi kuat dan besar.

Penelitian ini adalah penelitian sejarah, yang mencakup masa kurang lebih 49 tahun, antara tahun 912 M, sebagai awal tampuk kekuasaan sampai tahun 961 M, ketika Abd al-Rahman al-Nashir meninggal.

Dalam menghadapi gejala historis yang serba kompleks, setiap penggambaran atau deskripsi menuntut adanya pendekatan yang memungkinkan penyaringan data yang diperlukan.[28] Jika kebijakan dianggap sebagai fenomena politik dan dimaknai sebagai distribusi kekuasaan, maka tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir adalah sebuah proses politik. Akan tetapi pola distribusi tersebut jelas dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Pendekatan ilmu politik digunakan dalam penelitian ini. Ilmu politik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berkonsentrasi pada negara, mencoba memahami dan melengkapi negara, esensi dalam bentuk yang beragam atau manifestasi dari pengembangan,[29] sehingga ruang lingkup politik terkonsentrasi pada negara atau pemerintahan. Kajian ilmiah pada sejarah politik berarti harus mempelajari hakikat dan tujuan sistem politik, hubungan struktural dalam sistem tersebut, pola-pola individu atau kelompok yang membantu bagaimana sistem itu berfungsi, serta pengembangan hukum dan kebijakan-kebijakan sosial yang termasuk di dalamnya meliputi administrasi.[30]

Negara merupakan suatu struktur pokok kekuasaan politik dengan bentuk orang yang  memiliki kekuasaan yang syah untuk mengatur dan mengorganisir kegiatan masyarakat ke arah terciptanya tujuan-tujuan tertentu.[31] Untuk mengimplementasikan tujuan kekuasaan Abd al-Rahman al-Nashir, digunakan teori kekuasaan negara yang diungkapkan oleh Erich Kauffman dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1911, bahwasannya esensi negara adalah machtent faltung (pengembangan, peningkatan dan penyebaran kekuasaan), bersama-sama dengan kemauan untuk menjaga dan mempertahankan diri dengan sukses.[32]

Selaras dengan apa yang dikemukakan Erich Kauffman tersebut, Abd al-Rahman berusaha untuk mengembangkan dan meningkatkan pemerintahannya dengan memperbaiki administrasi pemerintahan, memperluas wilayah kekuasaan, mengamankan negara dari pemberontakan dan perlawanan dari musuh-musuhnya, sehingga dia dapat meningkatkan statusnya dari amir menjadi khalifah dan dapat mempertahankan kekuasaannya, sehingga pada masanya dinasti Bani Umayyah dapat mencapai puncak kejayaan.



F.      Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode historis yaitu proses menguji dan menganalisis secara kritis mengenai peninggalan masa lampau berdasarkan data yang telah diperoleh dan dikumpulkan.[33] Metode historis ini bertujuan untuk merekonstruksi kejadian masa lampau secara sistematis. Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.      Heuristik (pengumpulan data), yaitu tahap mencari data dari beberapa sumber seperti buku, majalah, internet dan lain-lain. Pengumpulan data atau dalam penelitian ini sumber dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library research).[34] Hal ini disesuaikan dengan sifat penelitian skripsi ini, yakni penelitian literatur.

2.      Verifikasi (kritik sumber), yaitu tahap menguji keabsahan sumber. Sumber yang telah terkumpul diuji keaslian (otentisitas) dan kesahihannya (kredibilitas), melalui kritik ekstern dan intern, dengan cara menguraikan dan mengecek silang data (cross check) yang ada dari berbagai sumber tersebut. Dari pengujian ini diambil data yang paling dapat dipercaya, sehingga diperoleh sumber yang keotentikan dan kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan.[35]

3.      Interpretasi (penafsiran) yaitu tahap analisis sejarah. Tahap ini bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh.[36] Untuk menganalisis pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir ini, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Erich Kauffman. Hal ini dilakukan karena Abd al-Rahman al-Nashir mencapai keberhasilannya didasarkan pada pengembangan, peningkatan dan penyebaran kekuasaan. Hal itu merupakan suatu cara untuk mempertahankan negara dengan sukses.

4.      Historiografi, merupakan penyusunan sejarah yang didahului oleh penelitian (analisis) terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu.[37] Penyusunan ini disusun dengan selalu memperhatikan aspek kronologis, sehingga muncul hubungan antara fakta-fakta yang ada, tersaji dengan utuh, dan berkesinambungan, kemudian disajikan dalam bentuk tulisan.



G.    Sistematika Pembahasan


Pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab yang satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang saling mendukung. Maka untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini perlu disusun sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama, berisi pendahuluan yang merupakan pengantar dalam bab selanjutnya. Bab ini memuat latar belakang masalah, batasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan sistematika pembahasan. Bab ini penting untuk menjawab mengapa penelitian ini dilakukan, sekaligus sebagai pengantar bagi pembahasan-pembahasan bab berikutnya.

Bab kedua, membahas tentang situasi dan kondisi politik di Andalusia menjelang pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir. Bab ini terdiri dari sub bab situasi dan kondisi politik pada masa Abdullah ibn Muhammad I dan biografi mengenai Abd al-Rahman al-Nashir. Dengan mengetahui situasi dan kondisi politik menjelang masa pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir dan boigrafinya yang mempunyai latar belakang keluarga dan kepribadiannya yang dikenal sangat ramah, cerdik, tegas, pemberani, cinta ilmu pengetahuan dan sangat toleran, maka akan berpengaruh pada kebijakan-kebijakan yang diterapkan Abd al-Rahman terhadap pemerintahannya.

Dalam bab ketiga dibahas mengenai kebijakan politik Abd al-Rahman al-Nashir di Andalusia, meliputi administrasi pemerintahan, pengamanan kerajaan dan perluasan wilayah, perubahan status pemerintahan dari amir menjadi khalifah dan hubungan diplomatik. Dengan demikian diketahui titik kulminasi perkembangan kebudayaan dinasti Bani Umayyah II di Andalusia.

Bab keempat dibahas mengenai prestasi pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir di bidang peradaban, meliputi perkembangan ilmu pengetahuan, bahasa dan sastra Arab, sosial-keagamaan, ekonomi, perkembangan kota dan arsitektur, yang pada masanya mengalami kemajuan sehingga Cordova ibu kota Andalusia sangat terkenal di dunia, menandingi ketenaran Konstantinopel dan kota-kota besar dunia timur yang Islam.

Bab kelima berupa penutup, yang berisi kesimpulan, sebagai jawaban atas rumusan-rumusan masalah penelitian dan dilengkapi dengan saran-saran atas segala kekurangan dari karya tulis ini.

BAB II


SITUASI DAN KONDISI POLITIK DI ANDALUSIA


MENJELANG PEMERINTAHAN


ABD AL-RAHMAN AL-NASHIR LI-DINILLAH




Sebelum membahas tentang kebijakan politik Abd al-Rahman al-Nashir terlebih    dahulu diuraikan tentang situasi dan kondisi politik menjelang masa pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir dan biografinya. Karena dari pembahasan hal ini dapat berpengaruh pada kebijakan-kebijakan yang diterapkannya di bidang politik pemerintahannya.



A.     Situasi dan Kondisi Politik Pada Masa Abdullah ibn Muhammad I

Pemerintahan dinasti Bani Umayyah di Andalusia secara garis besar terbagi dalam tiga periode, yaitu periode imarat, periode khilafat berkuasa penuh dan peroide khilafat boneka. Periode menjelang pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir (Abdullah ibn Muhammad I) termasuk ke dalam perioe imarat, yaitu masa pemimpin tertinggi negara menggunakan gelar amir, hal ini terhitung sejak masa pemerintahan Abd al-Rahman al-Dakhil menyatakan Andalusia independen dari kekuasaan Baghdad sampai dengan sepertiga pertama masa pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir. Sejak Abd al-Rahman al-Nashir memakai gelar khalifah untuk dirinya, dinasti Bani Umayyah di Andalusia memasuki periode khilafat. Hanya pada masa Abd al-Rahman al-Nashir dan masa setelahnya yaitu al-Hakam II, gelar khalifah betul-betul berfungsi sesuai dengan jabatannya, sedangkan masa pemerintahan setelah al-Hakam II nama khalifah hanya terletak di tangan orang lain.[38]

Sebelum Abd al-Rahman al-Nashir naik tahta, pemerintahan dinasti Bani Umayyah di Andalusia diduduki oleh kakeknya yang bernama Abdullah ibn Mumammad I (275-300 H/ 888-912 M). Pada masa pemerintahan Abdullah ibn Muhammad I kondisi pemerintah sangat menyedihkan, saat itu merupakan tahap kemerosotan dan terancam bahaya. Dia dihadapkan pada masalah internal dan external. Selama masa pemerintahan Abdullah keadaan pemerintah sangat menyedihkan, saat itu merupakan tahap kemerosotan dan terancam bahaya.

Menurut Ibn al-Atsir Andalusia menjadi penuh dengan gangguan dan pemberontakan di mana-mana, tidak hanya berasal dari masyarakat asli Andalusia, melainkan juga kaum bangsawan Arab. Banyak gubernur provinsi yang menyatakan kemerdekaannya, sehingga kedaulatannya hanya tinggal di Cordova dan sekitarnya. Bangsa Arab di Elvira yang dikepalai oleh Sawwar, menandatangani perjanjian-perjanjian dengan bangsa Arab dari Regio, Jean dan Calatrava.[39] Gubernur Torre er Mosa, Muhammad ibn Tuqete memberontak dan merebut Merida, Ibrahim ibn Hajjaj memproklamasikan keamiran Sevilla dan Ibn Marwan al-Ghaliqi merebut berbagai sektor di wilayah Lucitania.[40] Sementara itu orang-orang Yamaniyah dan Mudhariyah,[41] saling mengangkat senjata.

Di Andalusia pada saat itu banyak terjadi perampokan, sehingga ekonomi merosot, pada saat itu juga terjadi perlawanan dari kerajaan Kristen di bagian utara dan ancaman dari dinasti Fathimiyyah di Mesir. Dalam keadaan yang kacau itu Umar ibn Hafsun berusaha untuk memperluas kekuasaanya ke semua jurusan, bahkan dia menggunakan tahun-tahun ketamakannya untuk merebut tahta Cordova dengan bantuan orang-orang Kristen Cordova. Umar memperluas pengaruhnya ke utara, dia telah menduduki semua benteng utama di sebelah selatan Guadalquivir dan menjadi pemimpin yang tidak diragukan lagi bagi bangsa Spanyol. Kedudukan Abdullah menjadi sangat sulit, dia mengirimkan pasukan besar untuk melawan Umar di bawah komando Ubaidullah. Akan tetapi, ketika Ubaidullah meminta salah seorang anak Umar sebagai sandera, Umar menolak dan peperangan berkobar lagi. Akhirnya Ubaidullah menganggap bijaksana untuk menandatangani perjanjian damai dengan Umar tahun 901 M.

Penduduk Andalusia yang terdiri dari banyak unsur, antara lain Arab (Utara dan Selatan), Berber (ummat Islam yang berasal dari Afrika Utara), orang-orang Yahudi, Kristen, Mozareb yang berbudaya Arab,[42] bangsa Goth, Numidians dan Suriah.[43]

Sebelum masa Abd al-Rahman III, orang-orang Berber banyak ditempatkan di daerah-daerah perbukitan yang kering dan tandus di bagian utara negeri ini, berhadapan dengan basis-basis kekuatan Nasrani, padahal pada saat yang sama orang-orang Arab menempati lembah-lembah subur yang jauh dari ancaman kelompok-kelompok gerilya orang-orang Kristen. Oleh karena itu, wajar apabila dalam beberapa kerusuhan yang timbul, salah-satu penyebabnya berakar pada kemarahan orang-orang Berber yang semakin meluas terhadap penguasa Arab yang diskriminatif. Ketidak puasan orang-orang Berber ini  mereda ketika Abd al-Rahman al-Nashir berkuasa.[44]

Setelah memimpin suatu pemerintahan yang dipenuhi kerusuhan selama 25 tahun, Abdullah meninggal dunia pada tahun 912 M.[45]



B. Biorgrafi Abd al-Rahman al-Nashir

1.      Latar Belakang Keluarga    

Masa kecilnya tidak banyak diketahui, sebagian besar sejarawan hanya menceritakan riwayatnya sejak dia diangkat sebagai pengganti kakeknya (Abdullah). Abd al-Rahman III lahir di Cordova pada tahun 890 M (277 H).[46] Ayahnya bernama Muhammad ibn Abdullah ibn Muhammad I ibn Abd al-Rahman II ibn Hakam I ibn Hisyam I ibn Abd al-Rahman I ibn Muawiyah ibn Hisyam ibn Abd al-Malik. Hisyam I ibn Abd al-Rahman I adalah khalifah dinasti Bani Umayyah di Damaskus yang ke-sepuluh, sedangkan Abd al-Malik khalifah kelima, yang juga putera Marwan ibn Hakam (khalifah keempat dinasti Bani Umayyah di Damaskus). Dari silsilahnya maka jelaslah bahwa dalam diri Abd al-Rahman III mengalir darah bangsawan dinasti Bani Umayyah di Damaskus.[47] Ibunya bernama Mary, seorang bangsawan Kristen keturunan puteri Sara yang agung.[48] Abd al-Rahman III mempunyai empat orang anak, yaitu Al-Hakam (khalifah yang ke-sembilan, yang merupakan penggantinya), Abd al-Jabbar, Sulayman, Abd al-Malik dan Ubaidullah.[49] Abd al-Rahman lebih dikenal dengan gelar Abd al-Rahman III al-Nashir li-Dinillah.

Dia menggantikan kedudukan kakeknya Abdullah ibn Muhammad I (275-300 H / 888-912 M) sebagai amir dinasti Bani Umayyah II di Andalusia yang kedelapan dan merupakan khalifah pertama yang menggunakan gelar al-Nashir li-Dinillah. Dia memangku jabatan pemerintahan dinasti Bani Umayyah II pada bulan Oktober 912 M,[50] dalam usia yang sangat muda yaitu pada usia 22 tahun.

Ayahnya Muhammad ibn Abdullah telah dibunuh oleh saudaranya sendiri yang bernama Motorrif atas hasutan ayahnya (Abdullah). Abdullah membiarkan saja pembunuhan terhadap anak-anaknya yang lain, karena dia telah memilih cucunya, Abd al-Rahman III sebagai penggantinya. Biasanya yang menggantikan kedudukan pemerintahan adalah anak sulung, namun Abd al-Rahman yang merupakan cucu Abdullah diangkat sebagai pengganti kakeknya karena dianggap mampu.[51] Secara aklamasi pengangkatannya disepakati oleh keluarga, rakyat, dan pegawai istana, karena dianggap sebagai penyelamat kerajaan yang sedang kacau, sehingga tidak ada oposisi mengenai pengangkatannya.[52]

Pada masa pemerintahan kakeknya dia sudah ditunjuk menjabat sebagai Wali al-‘Ahdi (Putera mahkota) pada saat itu dia telah memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi seorang negarawan terbesar di samping ahli strategi militer. Dia terbiasa mengikuti pertempuran-pertempuran yang terjadi pada masa pemerintahan kakeknya.

Pada waktu Abd al-Rahman naik tahta, dinasti bani Umayyah berada dalam keadaan yang paling lemah dan paling menyusut, tetapi dia meninggalkannya dalam keadaan yang kuat dan paling luas dan juga telah menciptakan keadaan yang aman dan tertib di seluruh negeri.[53] Dengan Ibu Kota pemerintahannya yang terkenal di dunia, menandingi ketenaran Konstantinopel dan kota-kota besar dunia Timur Islam.[54] Abd al-Rahman wafat pada 2 Ramadhan 350 H (15 Oktober 961 M), ketika berusia 72 tahun, setelah memerintah selama 49 tahun. Setelah Abd al-Rahman wafat, dia digantikan oleh anaknya yang bernama Hakam II.   




2.      Kepribadian Abd al-Rahman al-Nashir


  Setelah ayahnya meninggal, Abd al-Rahman III dibesarkan oleh kakeknya Abdullah ibn Muhammad I, dia dididik menjadi orang yang cerdas dan terampil sejak masa kecil.[55] Walaupun Abd al-Rahman III tidak mendapatkan pendidikan secara formal, dia mempunyai bakat pembawaan, yaitu mempunyai opini yang sangat tinggi.[56] Dia sangat menyukai ilmu pengetahuan, sehingga ketika sedang santai, dia menggunakan waktunya untuk bersama dengan penyair, ahli filsafat dan para ilmuan lainnya.[57]

Pemerintahannya terkenal sebagai pelindung dan pendorong seni dan ilmu pengetahuan,[58] terutama di bidang sastra dan filsafat,[59] sehingga sepertiga dari pemasukan negara dialokasikan untuk pendidikan. Dia mempunyai agen-agen buku yang siap mensuplainya. Para agen ini juga siap melakukan perjalanan ke wilayah timur, yang dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan lebih dulu menikmatinya, guna memperoleh buku-buku baru dan buku-buku yang sulit diperoleh di pasar.[60] Segala macam ilmu pengetahuan yang ada di Yunani, seperti bidang pertanian, kedokteran dan lain sebagainya, buku-buku tentang hal itu diimpor dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan diajarkan di Universitas Cordova.[61]

Abd al-Rahman adalah orang yang tegas, dia berbicara secara jujur dan terus terang, dengan menyatakan kepada para pemberontak Andalusia, bahwa apa yang dikehendaki dari mereka bukanlah upeti, tetapi istana-istana dan kota-kota mereka. Kepada mereka yang menyerah dia menjanjikan ampunan, dan bagi yang lain diberikan hukuman yang sepantasnya. Hal itu bukannya menyebabkan masyarakat Andalusia menentangnya, tetapi justru hal itu dapat memadamkan segala pemberontakan-pemberontakan dan perlawanan-perlawanan dari musuh-musuhnya.[62]

Abd al-Rahman merupakan pemimpin yang cerdik, dia membentuk angkatan laut yang hebat sehingga dia dapat mengalahkan dinasti Fathimiyyah dan dapat merebut daerah Ceuta yang merupakan kunci ke Mauretania dan dapat mengalahkan perlawanan orang-orang Kristen bagian utara. Dia adalah seorang administrator hebat, pandai memposisikan para pemimpin yang teguh. dia membangun politik yang baik yang dapat mensukseskan pemerintahannya, sehingga Cordova menjadi kota termegah di Eropa.[63] Raja-raja Eropa bangga telah menjalin persekutuan dengannya, misalnya Bizantium, Jerman, Itali dan Perancis, dengan mengirimkan duta-duta mereka ke istana Abd al-Rahman III.[64]

Sewaktu dia kecil, di Andalusia sedang berkembang mazhab Maliki, sehingga apa yang dipelajarinya sewaktu masa kecil, kelak sangat berpengaruh terhadap kebijakan yang dia keluarkan pada saat mengembangkan mazhab Maliki.

Abd al-Rahman sangat toleran terhadap Penduduk Andalusia yang terdiri dari banyak unsur, antara lain Arab (Utara dan Selatan), Berber (ummat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk yang berdiam antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman, kemudian dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), orang-orang Yahudi, Kristen, Mozareb yang berbudaya Arab,[65] bangsa Goth, Numidians dan Suriah.[66]

Orang-orang Berber merasa diperlakukan secara diskriminaif dengan orang-orang Arab. Ketidakpuasan orang-orang Berber ini baru bisa mereda ketika Abd al-Rahman al-Nashir berkuasa.[67] Orang-orang Nasrani dan Yahudi diberikan kebebasan beragama yang cukup luas. Ketika al-Nashir menyadari bahwa semangat kesukuan Arab yang berlebihan merupakan sumber perpecahan dan persengketaan, dia melimpahkan kepercayaan kepada kelompok budak (al-Shaqalibah) untuk dijadikan pegawai di istananya. Mereka dididik dalam bidang kemiliteran dan diangkat menjadi tentara pemerintah. Menurut al-Maqarri, jumlah mereka di istana al-Zahra pada waktu itu mencapai 3750 orang.[68] Dengan sikapnya yang sangat toleran, Abd al-Rahman al-Nashir berhasil memfusikan semua ras dan negara ke dalam suatu persatuan.[69]  

Abd al-Rahman III membuktikan dirinya sebagai seorang terhormat, dia memiliki keteguhan hati dan keberanian yang menjadi ciri para pemimpin manusia di segala zaman. Dalam suatu peperangan dia telah terjun langsung di medan pertempuran, sehingga membuat semangat tentara menjadi tinggi, yang tidak pernah dilakukan oleh pemimpin sebelumnya.[70]

Pemerintahan Abd al-Rahman III merupakan salah satu periode yang paling cemerlang dalam sejarah muslim di Spanyol. Dia tidak dapat diragukan lagi merupakan penguasa yang paling mampu dan paling berbakat dari semua penguasa Spanyol.[71] 



BAB III


KEBIJAKAN POLITIK ABD AL-RAHMAN

AL-NASHIR LI-DINILLAH



            Pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir menandai puncak peradaban, kultur dan politik dinasti Bani Umayyah II. Sebagai seorang administrator besar di dinastinya, dia tidak sekedar mewarisi kekuasaan dari para pendahulunya saja, namun dia berupaya mempertahankan dan mengembangkan wilayahnya, dia juga banyak melakukan perbaikan dan penyempurnaan baik dalam bidang politik maupun dalam bidang lainnya. Di antara usaha-usaha yang dilakukannya di bidang poltik adalah:



Administrasi Pemerintahan


Administrasi pemerintahan pada masa Abd al-Rahman al-Nashir sangat baik dan stabil.[72] Hal ini ditandai dengan pengamanan dan penyempurnaan organisasi pemerintahan (sentralisasi).[73]

1. Lembaga Pemerintahan

Setiap sistem pemerintahan yang dikenal dunia, dahulu maupun sekarang mempunyai tujuan dan dasar-dasar yang dapat memudahkan pencapaian tujuan-tujuan oleh para pelaksana pemerintahan.[74] Seorang kepala negara secara sendirian adalah lemah, padahal dia memikul beban yang sangat berat di atas pundaknya, oleh karena itu dia memerlukan bantuan orang lain untuk menjalankan tugasnya dan juga untuk menjalankan segala kepentingannya yang lain. Dia harus membela dan melindungi masyarakat dari musuh-musuhnya, menjalankan hukuman terhadap rakyatnya dan menjaga agar mereka tidak saling bermusuhan dan saling menyerang karena harta benda. Dia menjadi pimpinan politik dan berusaha membuat rakyat patuh kepadanya sampai pada derajat yang dikehendaki. Semua itu merupakan kenyataan bahwa dia sendirilah yang mempunyai segala kebijakan itu, sedang mereka tidaklah mempunyai apa-apa.

Secara umum lembaga pemerintahan pada masa Abd al-Rahman al-Nashir tidak jauh berbeda dengan lembaga pemerintahan sebelumnya. Di bawah pemerintahan khalifah Abd al-Rahman al-Nashir, pada enam belas tahun pertama pemerintahannya, amir merupakan kepala pemerintahan tertinggi, namun setelah tahun 928 M, Abd al-Rahman menaikkan jabatannya menjadi khalifah.[75] Khalifah berkuasa dalam semua bidang, dia tidak hanya menetapkan pegawai untuk memelihara kesejahteraan dan kesehatan, namun juga bertugas meninjaunya.[76]

Tugas-tugas politik pemerintahan dilaksanakan oleh para menteri dengan gelar wazir. Pada masa pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir ada jabatan hajib. Hajib disebut juga dengan “pengurus rumah tangga kerajaan”. Jabatannya sama dengan jabatan wazir di kerajaan timur, tetapi di Andalusia jabatan hajib lebih tinggi dari wazir.[77] Hajib dipilih secara subyektif oleh khalifah. Dia merupakan pejabat yang menjadi penghubung antara para menteri dengan khalifah. Dia merepresentasikan khalifah dalam semua urusan negara yang berhubungan dengan urusan mandataris kerajaan dan memimpin ekspedisi militer. Spesifikasi dari seorang hajib adalah dia menjadi keluarga kerajaan, dengan kata lain dia adalah seorang yang mempunyai posisi yang penting. Untuk bisa sampai menjadi hajib, maka harus benar-benar mengetahui tentang keadaan masyarakat dan administrasi militer. Dia ditunjuk untuk menangani administrasi dan perpajakan,[78] bila pemerintahan dalam keadaan lemah, secara praktis hajib akan menjalankan semua pemerintahan negara, mulai dari menetapkan sampai memecat menteri-menteri, gubernur-gubernur dan hakim, namun hal itu harus tetap melalui persetujuan khalifah.[79]

Tugas politik pemerintahan dilaksanakan oleh menteri dengan gelar wazir. Setiap departemen negara di bawah pimpinan seorang menteri tersendiri, dan para pimpinan urusan lain, seperti keuangan, masalah luar negeri, pelaksanaan keadilan, manajemen, dan angkatan bersenjata dipegang oleh pejabat-pejabat utama. Seorang wazir diperbolehkan merangkap jabatan, hal ini mempunyai kesamaan pada periode khalifah Ummar ibn Khattab. Suatu bangunan khusus didirikan untuk tempat para wazir menjalankan perintah penguasa di bidangnya masing-masing yang telah dipercayakan kepada mereka.[80]

Di bawah jabatan wazir ada beberapa sekretaris negara yang disebut Katib-ul-Duwal yang diantaranya adalah sekretaris kepala kantor perhubungan (Katib-ul-Rasa’il) yang merupakan posisi yang mengurus masalah perlindungan dan keamanan kaum Muslim, serta Sahib ul-Ashghal yang mengawasi masalah tenaga kerja.[81]

Sekretaris-sekretaris (Kuttab) bersama-sama dengan wazir membentuk diwan-diwan propinsi yang jauh dari Cordova berjumlah enam propinsi yang masing-masingnya diperintah oleh seorang gubernur sipil atau militer yang disebut dengan wali.

Kepolisian

Pengawasan kejahatan dan pemberian hukuman atas kejahatan yang telah ditentukan oleh hukum syariah dianggap sebagai suatu tugas khusus. Tugas tersebut dilimpahkan kepada polisi dan hisbah.





a.       Polisi

Polisi (Sahib ash-Shurtah) atau kepala walikota (Sahib al-Madinah) ini dibagi ke dalam polisi besar dan polisi kecil. Batas kekuasaan polisi besar mencakup kelas atas dan kelas bawah. Dia memiliki yurisdiksi terhadap para pejabat pemerintah dan dalam melakukan kesaksian dapat pula melakukan penahanan terhadap mereka, kerabatnya atau orang-orang yang mempunyai hubungan dengan mereka. Sementara di pihak lain, pimpinan polisi kecil hanya mengurusi masyarakat awam. Pemimpin polisi besar menduduki kursinya di gerbang istana dan mempunyai pesuruh (Rajl), yang menduduki tempat di dekatnya serta tidak boleh meninggalkan tempat itu, kecuali ditugaskan oleh atasannya. Jabatan ini dipercayakan hanya kepada mereka yang mempunyai kepribadian yang menonjol dalam dinasti ini dan ini sering menjadi batu loncatan untuk sampai ke jabatan menteri (wazir) dan ajudan (hajib).[82]

Polisi mempunyai fungsi keagamaan yang lain dalam dinasti ini dan berada dalam posisi yang berkaitan dengan hukum syariah. Bidangnya agak lebih luas daripada jabatan hakim. Jabatan ini memungkinkan terjadinya orang yang dicurigai untuk dibawa ke depan pengadilan, dan memutuskan suatu hukuman preventif sebelum kejahatan yang sebenarnya dilakukan. Jabatan ini biasa menjatuhkan hukuman, seperti yang telah ditentukan dalam hukum syariah sesuai dengan masalahnya dan juga menetapkan besar ganti rugi yang diperoleh dalam hal luka-luka tubuh dalam penerapan hukuman balas (Law of Talion). Dia menetapkan hukuman yang tidak disebutkan oleh hukum dan menyediakan tindakan-tindakan korektif bagi mereka yang melakukan kejahatan yang telah direncanakan.      

Fungsi polisi terbagi menjadi dua: pertama, adalah untuk menjaga orang-orang yang dicurigai, menjatuhkan sangsi hukum dan menjalankan hukum terhadap kaum kriminal yang dituduh terikat dalam suatu kejahatan tertentu yang bisa diancam dengan hukuman pemotongan tangan. Para pejabat diangkat oleh wali (Shurtah) untuk menjalankan fungsi ini. Hukuman yang telah ditentukan oleh hukum syariah dilaksanakan dalam gabungan antara fungsi seorang hakim dan seorang polisi, yang kemudian menjadi tugas resmi seorang hakim.[83]

b.      Hisbah (Sahib al-Suq)

Hisbah bertugas mengawasi pasar, pada dasarnya bersifat agamis, dan karenanya menjadi kewajiban yang agamis pula dalam mengajak berbuat baik dan menghindarkan perbuatan buruk bagi orang yang diangkat untuk masalah orang Islam ini.

Hisbah mengangkat orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk jabatan ini untuk membantunya. Dia menyelidiki penyalahgunaan yang terjadi dan menjatuhkan hukuman yang pantas atau tindakan-tindakan korektif lainnya. Secara umum dia memang tidak memiliki hak terhadap tuntutan hukum, namun mempunyai kekuasaan untuk segala hal yang berhubungan dengan penipuan dan kecurangan yang berkaitan dengan makanan atau barang-barang lainnya, seperti halnya yang bersangkutan dengan masalah ukuran dan berat. Tugas lainnya termasuk mengawasi mereka yang menunggak hutang-hutangnya dan masalah-masalah serupa yang tidak memerlukan pembuktian atau keputusan hukum.

Dengan perkataan lain, jabatan ini berada di bawah jabatan hakim yang dapat mengangkat siapa saja menurut kebijaksanaanya. Kemudian, ketika kedudukan penguasa menjadi terpisah dari khalifah, dan penguasa mengambil alih tugas umum tentang masalah-masalah politik, jabatan hisbah menjadi salah satu jabatan kebangsawanan dan mempunyai masyarakat tersendiri.[84]

Kebijakan Hukum dan Peradilan

Khalifah memasukkan sistem penyelenggaraan hukum yang sama seperti yang diselenggarakan di Madinah dan Damaskus. Kedudukan para Qadi mempunyai martabat yang tinggi dan pimpinannya sering disebut dengan Qadi al-Jama’at atau pemimpin ummat, selain Qadi al-Qudlat. Qadhi bertanggung jawab mengurusi baitul maal, kekayaan anak yatim piatu dan orang gila.[85] Selain itu dia dibantu oleh hakim pembantu dan menyelenggarakan keadilan menurut hukum syariah. Hakim sering menyertai tentara dalam kampanye musim panen, dipercaya untuk menangani masalah-masalah yang teramat penting seperti halnya masalah yang dipercayakan kepada orang-orang yang mampu mengendalikan perasaan kelompok yang mereka butuhkan.

Pengadilan atau mahkamah biasanya terletak di dekat masjid-masjid kota dan sering pula masjid-masjid itu dipergunakan sebagai tempat pengadilan lokal. Terlihat di sini bahwa Qodi bisa memilih sendiri di mana akan diadakannya suatu pengadilan. Di bawah Qadi terdapat Sahib al-Madinah, yaitu pejabat yang bertanggungjawab dalam menjalankan hukuman mati atau hukuman-hukuman tertentu (hadd) untuk kasus-kasus pelacuran, peracunan dan lain-lain. Hukuman mati sebelum dijalankan membutuhkan restu atau penegasan dari khalifah terlebih dahulu.[86] Khalifah biasanya selalu mendengarkan sendiri kasus-kasus yang terjadi. Kepala pengadilan banding merupakan ketua para Qadi di mana para pemohon banding dari pengadilan yang lebih rendah dilayani. Biasanya mufti memberi nasehat kepada para Qadi dalam menafsirkan serta menerapkan hukum.

Lembaga konsilium hakim adalah salah satu unsur yang mendasar dalam sistem peradilan Andalusia. Lembaga ini memperoleh nama besar untuk waktu yang cukup lama dan disebut Syura, dan ahli hukum yang meluluhkannya disebut dengan Musyawar. Dengan perkataan lain, dia berarti juga suatu dewan dengan konselornya atau bahkan sering dikatakan bahwa yurisdiksi seorang Qodi bisa disebut sahih hanya jika dia telah disertai atau dibantu oleh suatu konsilium ahli hukum .[87]

Kebijakan  Pajak Tanah

Pajak merupakan salah satu pendapatan utama pada pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir . Orang Islam membayar zakat sebanyak 2,5 % atas kekayaan yang mereka miliki,[88] sedangkan non-Muslim membayar jizyah sebanyak 48 dirham setiap tahun dan dapat diangsur secara bulanan.[89]

Para petugas pengumpul pajak propinsial ditunjuk untuk meningkatkan pendapatan dan menyerahkan surplus penghasilan tersebut ke Cordova. Meskipun jalan wilayah propinsial diperintah oleh qaid lokal dan keturunan tuan-tuan tanah. Seorang hakim kepala mengawasi admnistrasi yudisial dan mengelola sejumlah properti yang disediakan untuk tujuan-tujuan keagamaan dan derma bakti sosial.

Pada masa pemerintahan Abd al-Rahman tiap tahun dia mendapatkan pemasukan negara sebesar 6.245.000 keping emas, dan pada tahun 951 M, dia mendapatkan pemasukan yang sangat besar sebanyak 20.000.000 keping emas.[90] Perbendaharaan pajak ditangani oleh lembaga baitul maal. Dia menghapuskan semua pajak yang tidak syah, yang dibebankan oleh pemerintahan terdahulu. Dalam pemerintahannya 1/3 pendapatan negara digunakan untuk pengembangan gedung-gedung umum, yang dibangun di seluruh daerah kerajaan.[91]

Kebijakan Militer

Kebijakan Abd al-Rahman al-Nashir dalam bidang militer berbeda dengan kebijakan militer pada masa Abd al-Rahman I. Dia membentuk angkatan bersenjata yang terdiri dari orang-orang yang datang dari wilayah utara Pyrennes. Abd al-Rahman al-Nashir membentuk angkatan bersenjata yang mulanya mereka merupakan tawanan yang ditangkap oleh pasukan Jerman dalam serangan ke Eropa bagian timur, kemudian tawanan tersebut dijual kepada tawanan kaum Muslim Spanyol.[92] Tentara ini juga dikenal dengan Saqalibah.[93]

Struktur masyarakat Muslim yang khas, yang memungkinkan budak-budak menempati kedudukan yang berkuasa dan berpengaruh besar, membuat orang Saqalibah di Spanyol menjadi unsur terpenting dalam masyarakat Arab Spanyol. Banyak budak yang akhirya menjadi menteri, memiliki harta dan makmur, bahkan kadangkala memiliki kebun dan budak pula. Dalam pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir 1/3 dari tentaranya merupakan orang Slavia.[94] Ini merupakan politik Abd al-Rahman III untuk mengurangi pengaruh aristokrasi Arab kuno.

Angkatan laut Abd al-Rahman III yang hebat, berhasil mengalahkan perlawanan dinasti Fathimiyyah, dia dapat merebut daerah Ceuta yang merupakan kunci ke Mauretania. Pasukan tentaranya yang kuat dan berdisiplin tinggi yang merupakan yang terkuat di dunia pada waktu itu, dapat mengalahkan perlawanan dari orang-orang Kristen di sebelah utara. Dengan keberhasilannya itu banyak Raja-raja Eropa bangga menjalin persekutuan dengannya, misalnya Bizantium, Jerman, Italia dan Perancis mengirim duta-duta mereka ke istananya.[95]



Pengamanan Kerajaan dan Perluasan Wilayah


Selama berkuasa Abd al-Rahman berusaha membersihkan Andalusia dari segala bentuk pemberontakan dan perlawanan dari musuh-musuhnya.[96] Kebijakannya yang menjadi pegangan dan bijaksana ialah memadamkan semua pemberontakan dan menegakkan kekuasaanya dari sungai Ebro sampai Atlantik (dari kaki pegunungan Pyrennes sampai Gibraltar),[97] bahkan kedaulatannya telah diakui oleh negara-negara Kristen kecil yang masih ada.[98]

Pemberantasan Pemberontakan

Pemberantasan Para Perampok

Tujuh tahun sebelum masa Abd Al-Rahman al-Nashir memerintah, Andalusia dikelilingi oleh para perampok yang membangun persembunyiannya di pegunungan dan suka mengganggu daerah kota, yang menyebabkan perjalanan menjadi tidak aman,[99] sehingga tidak ada kafilah yang ingin mengadakan perjalanan dari Cordova, Saragossa dan untuk daerah lainnya. Abd al-Rahman berhasil memberantas para perampok tersebut .

Perang dengan Umar ibn Hafsun


Umar ibn Hafsun merupakan musuh yang paling tangguh untuk ditaklukan. Sebelum akhir tahun 913 M pemimpin-pemimpin Arab seperti Saik ibn Judi dari Granada, Quraib ibn Khaldun dan Ibrahim ibn Hajjaj dari Seville yang bersekutu dengan Umar ibn Hafsun sudah meninggal, hal ini sangat melemahkan posisi Umar ibn Hafsun. Lebih lanjut, konflik pada saat itu bukan lagi bersifat nasional tetapi berkarakter agama, hal itu disebabkan sejak ibn Hafsun mengumumkan dirinya memeluk agama Kristen pada tahun 899 M. Setelah berpindah kepada agama Kristen, ibn Hafsun menyebut dirinya Samuel, dengan masuknya ibn Hafsun menjadi orang Kristen membuat pengikutnya terbagi menjadi dua bagian, sebagian tetap setia terhadap ibn Hafsun dan sebagian lagi terutama dari orang-orang neo-Muslim yang telah kesal akan konflik dan politik pimpinannya yang plin-plan itu membuat mereka berdamai dengan penguasa yang adil dan toleran yaitu Abd al-Rahman III.[100]

Setelah mengalahkan Samuel pada pinggir sebelah kanan sungai Guadalquivir, Abd al-Rahman III menyerang Regio. Setiap langkah dia temui dengan posisi yang kuat dari para pengikut Samuel yang Kristen itu. Mereka membunuh dan memenjarakan pasukan khalifah, namun ahirnya khalifah sampai di Tolox tempat Samuel berlindung. Di Tolox Samuel menangkis kekuatan kerajaan dengan hebat, tetapi istananya diserahkan oleh anaknya yang bernama  Abd al-Rahman kepada khalifah. Samuel meninggal pada tahun 917 M, di dalam benteng Bobastro.[101]

Umar mempunyai empat orang anak, yaitu Ja’far, Sulaiman, Abd al-Rahman dan Hafs. Ja’far yang menggantikan ayahnya, tidak dapat mempertahankan kemerdekaanya dan setuju membayar upeti tahunan kepada Abd al-Rahman III tahun 919 M. Dia bermaksud memeluk kembali agama Islam, tetapi hal ini berakibat fatal kepadanya, sebab tentara Kristen menentang kepala mereka yang munafiq, mereka bangkit melawannya dan membunuhnya tahun 920 M. Sulaiman menggantikan saudarannya tetapi dia tidak dapat mempertahankan keamanan dan meninggal dalam pertempuran melawan tentara kerajaan bulan Februari 927 M. Dia digantikan oleh saudaranya Hafs. Bobastro akhirnya dikepung bulan Juni 927 M oleh angkatan perang Cordova. Hafs menyerah pada bulan Januari 928 M setelah bertahan dengan gigih selama enam bulan. Dia dipenjarakan tetapi akhirnya dijadikan sebagai tentara kerajaan. Dengan demikian jatuhlah ke tangan Abd al-Rahman III kubu ketahanan yang sangat ampuh yang menentang serangan terus-menerus dari empat penguasa Cordova selama setengah abad lebih. Bobastro baru jatuh setelah pengepungan selama sepuluh tahun. Ketika Abd al-Rahman melihat benteng pertahanan kota itu dia sangat kagum bahwa benteng itu tidak ada taranya di dunia.[102]

Pemberantasan Perlawanan dan Perluasan Wilayah

Setelah urusan dalam negeri aman, Abd al-Rahman III mengikuti politik luar negeri yang tegas dan semua aktivitas luar negerinya terpusat pada tujuan utama: pertama, melawan pemimpin-pemimpin Kristen Utara dan meluaskan kekuasaanya di sana, dan kedua, membalas pengaruh dan kekuatan dinasti Fathimiyyah di Afrika-Utara dan perairan Laut Tengah.

Perang Dengan Raja-raja Kristen di Utara.

Ketika operasi yang dikalahkan terhadap musuh-musuh di dalam dan di luar negeri mengalami kemajuan, Abd al-Rahman mulai melakukan peperangan terhadap orang-orang Kristen di sebelah utara yang sampai pada saat itu belum pernah mengalah. Di sinilah daerah Basques menjadi pusat untuk menyeberang ke Pyrennes. Di sebelah timur terletak kerajaan-kerajaan Navarre dan Aragon. Di barat terbentang wilayah-wilayah yang berkembang menjadi kerajaan Castille dan Leon.[103] Orang-orang Kristen di utara menyerang orang-orang Islam Spanyol, sejak masa Alfonso I, mereka merebut benteng di sepanjang perbatasan milik orang Islam. Orang-orang Kristen bagian utara sangat arogan, kuat, fanatik dan sangat tidak toleran, sehingga banyak merusak peradaban di Spanyol.

 Pada tahun 914 M, Leonesse di bawah kepemimpinan Ordono II,[104] menyeberangi sungai Duoro memasuki wilayah Lusitania dan melakukan penjarahan di situ sampai tahun 916 M. Pada tahun 917 M Ordono II maju sampai ke selatan mendekati sungai Guadiana, merebut dan menduduki kota al-Hange terletak di sebelah utara Merida. Di manapun mereka menemukan pemukiman masyarakat Islam, mereka membunuhnya, membawa perempuan-perempuan dan anak-anak sebagai tawanan perang dan mengambil harta rampasan perang.[105] Pada saat itu Abd al-Rahman sedang sibuk menghadapi perselisihan dengan khalifah Fathimiyyah (Muiz) dari Afrika-Utara.[106]

Pada tahun 916 M, Abd al-Rahman mengirim Ahmad, anak Abi Abdah, dan sekali lagi tahun 917 M, untuk mengejar orang-orang Kristen dan mempertahankan orang-orang Islam di utara. Dalam serangan kedua, Ahmad hampir saja menghancurkan benteng Castro Moro yang tangguh itu, ketika Ordono II dari Leon datang menyelamatkannya. Tentara Ahmad tidak dapat menahan serangan gencar orang-orang Leon itu. [107] Ahmad berhasil ditawan oleh orang-orang Kristen, kemudian dipenggal lehernya terus digantungkan di dinding perbatasan Estaben de Gormaz, tempat Ahmad sebelumnya dikepung.

Kemenangan kerajaan Leon itu telah mendorong Raja Navarre, Sancho Garces Abarca (905-925 M), mengumumkan dirinya merdeka dari kekuasaan Islam di Cordova dan mengikat persekutuan dengan kerajaan Leon. Pada bulan Juni 920 M, Abd al-Rahman memimpin sendiri pertempuran dan menghancurkan San Esteban serta menghancurkan benteng-benteng lainnya di wilayah pertarungan antara Kristen dan Islam di Naide Junqueras, Abd al-Rahman  menghadapi pasukan gabungan Ordono II dan Sancho Garces Abarca (Sancho yang Agung) dari Navarre.[108] Dalam pertempuran itu tidak ada perlawanan yang ditemui oleh orang-orang Islam hingga mereka menyebrangi sungai Ebro. Ordono dikalahkan, Abd al-Rahman berhasil merebut Osma, San, Estevan, Clunca, dan beberapa tempat lain yang penting, kemudian dia mengalihkan perhatiannya kepada Sancho, kepala suku Navarre. Pasukan Navarre menghancurkan barisan depan tentara Abd al-Rahman, kemudian menuggu di lorong-lorong pegunungan untuk menghancurkan kekuatan utamanya, akan tetapi orang-orang Islam melakukan pukulan yang ganas terhadap Val de Junqueras pada kekuatan terpadu Sancho (Raja Navarre) dan sekutunya Ordono.

Setelah menerima kemenangan yang gemilang ini Abd al-Rahman kembali ke ibu kotanya dalam bulan September 920 M. Akan tetapi orang-orang Kristen tidak putus asa, Ordono dan Sancho lagi-lagi menyerbu provinsi-provinsi perbatasan Muslim, merebut Nayera dan Viguera pada tahun 920 M, membunuh banyak orang dan membawa perempuan serta anak-anak sebagai tawanan.[109] Abd al-Rahman menangkis serangan mereka dan menghukum orang-orang Basques dan Leon menerobos sampai ke Pamplona ibu kota Navarre, dan menghancurkan banyak bentengnya.[110] Sancho berulang kali berusaha melawan tetapi selalu dikalahkan.

Ordono II meninggal pada tahun 923 M diikuti dengan perang perebutan tahta di antara anak-anaknya. Fruella II (923-925 M) menggantikan ordono II kemudian digantikan oleh Alfonso IV (925-930 M).[111] Mereka memerintah hanya dalam masa yang singkat, kemudian kekuasaan jatuh ke tangan Ramiro II (930-950 M). Dia bercita-cita sangat besar untuk mengalahklan orang-orang Islam.

Pada tahun 934 M, Ramiro II bergabung dengan kerajaan Asturia, Castille dan Galicia menyerbu Bani Umayyah ke dalam wilayah sebelah selatan sungai Duoro. Khalifah Abd al-Rahman mengirimkan pasukan di bawah pimpinan  panglima al-Muzhaffar, namun pasukan Islam mengalami kekalahan. Sisa pasukan Islam itu mengalihkan tujuan serangan ke arah barat laut memasuki wilyah Galicia untuk merebut ibu kota Santiago. Pertempuran pecah pada dataran lembah Osma di seberang sungai Duoro, pasukan Islam memperoleh kemenangan.[112]

 Pada tahun 932 M, Ramiro II menyerang territorial Muslim dan pada tahun 934 M terjadi persekutuan antara Muhammad ibn Hasyim, gubernur Saragossa dengan Ramiro II memberontak khalifah. Jadi, seluruh daerah utara berbaris menghadapi Abd al-Rahman di al-Handega yang terletak di sebelah selatan Salamanca. Bahaya itu luar biasa, tetapi dia menghadapinya dengan semangat seperti biasanya. Dalam penyerbuan ini pasukan Abd al-Rahman hampir hancur berantakan, bahkan khalifah sendiri nyaris menemui ajalnya.[113] Saragossa menyerah, gubernurnya diampuni dan diangkat kembali menduduki jabatannya. Tota, karena menderita kekalahan demi kekalahan, meminta damai dan mengakui Abd al-Rahman sebagai penguasa Navarre. Dengan demikian, kecuali di Leon, dan sebagian Catalonia yang merupakan daerah Perancis, seluruh Spanyol menyerah kepada khalifah.[114]

Pada tahun 938 M orang-orang Galicia dan Basques memberontak kembali, Abd al-Rahman memerintahkan kepada seorang Slavia yang bernama Najdah (Najha) untuk memimpin pasukan dengan seratus ribu tentara Slavia, sehingga orang-orang Arab merasa terhina dengan pengangkatan komando Slav ini, mereka sangat marah dan menganggap Abd al-Rahman telah pilih kasih. Dengan pengangkatan komando Slavia ini orang-orang Arab melakukan penyerangan.

Dalam peperangan dengan orang-orang Galicia dan Basques ini tentara Abd al-Rahman mengalami kekalahan, sebab mereka terperangkap di dalam parit yang digali oleh Ramiro di sekitar Zamora. Peperangan itu terjadi di kedua pinggir sungai Tormes dekat desa al-Khandaq (Spanyol: al-Handega atau parit) selatan Salamanca. Sementara itu orang-orang Arab melakukan penyerangan, sesampainya mereka tiba di kota Zamora, kota besar ini dikelilingi dinding, di dalamnya terdapat parit besar yang diisi dengan air di dalam lingkaran tersebut.

Orang Arab terus menembus dinding dan ketika mereka tiba di depan parit, di sini mereka dilempari dengan tombak dan panah. Pada saat yang genting ini akhirnya tentara Arab mengundurkan diri.[115] Khalifah hanya dapat melarikan diri dengan 49 orang tentara, bahkan khalifah sendiri nyaris menemui ajalnya.[116] Hal ini merupakan pukulan hebat baginya, sementara Ramiro mentransmigrasikan kembali orang-orang Salamanca dan sekitarnya. Dengan demikian perluasan wilyah di utara oleh umat Islam dihentikan oleh Ramiro II, Raja Leon dan Asturia.[117]

Pada tahun 950 M Ramiro II meninggal dan digantikan oleh Ordono III. Sancho the Fat (saudara bungsu Ordono III) berkeinginan menumbangkan tahta Ordono III. Sancho meminta bantuan kepada Fernan Gonzales (mertua Ordono III) yang merupakan Raja Castille. Raja Castille dan Raja Navarre, yakni Garcia II berhasil dibujuk Sancho untuk membantunya. Pada tahun 951 M bergeraklah pasukan gabungan Castille dan Navarre memasuki wilayah Asturia untuk menyerang dan menduduki ibu kota Leon dan berniat untuk menempatkan Sancho di atas kerajaan Leon. Ordono III sangat marah dengan perbuatan mertuanya, dia menceraikan isterinya, Uracca (anak Fernan Gonzales), kemudian mengawini Evvira (puteri bangsawan Asturia). Ordono III dengan pasukan besar menangkis serbuan pasukan gabungan Castille dan Navarre.

Dalam keadaan itu, pada tahun 955 M, Abd al-Rahman dengan pasukan besar menyerang di segala penjuru Galicia, Asturia, Castille dan Navarre. Ordono III kewalahan menghadapi serbuan dari segala penjuru itu. Pada saat yang kritis itulah Ordono III mengirimkan utusan untuk memohon perdamaian dengan Abd al-Rahman. Hal demikian membuat pengaruh dan kekuasaan Abd al-Rahman bertambah di utara. Raja Leon, Ratu Navarre, tuan-tuan tanah Castille dan Barcelona mengakui kekuasaannya dan setuju membayar upeti tahunan dan menyerahkan kubu-kubu pertahanan mereka pada front Muslim.[118]  

Setelah kematian Ordono III pada bulan Agustus 955 M, penggantinya Sancho The Fat (yang gemuk) telah digagalkan oleh kerajaan Leon dengan bantuan pemimpin Castille Gonzales, dan telah memilih Ordono IV (sepupu Sancho). Sancho mencari perlindungan di Pamplona bersama dengan Tota memohon kepada Abd al-Rahman III untuk mengembalikan kedudukannya dari Ordono IV dan menyembuhkan penyakit kegemukan Sancho. Abd al-Rahman menerima permintaan Sancho dan Tota, melalui dokter istana yang bernama Hasdai ibn Shibruth, Sancho sembuh dari penyakit kegemukannya. Sebagai rasa terima kasih Sancho dan Tota berjanji menyerahkan sepuluh benteng untuk diberikan kepada Abd al-Rahman.[119] Dengan begitu berarti pada tahun 951-961 M, hegemoni Abd al-Rahman diakui oleh Raja-raja Leon, Ratu Navarre, gubernur Castille dan Barcelona. Pengakuan ini diikuti dengan pembayaran upeti setiap tahun, jika gagal mengirimkan upeti, dapat menyebabkan hukuman serangan.[120]

Abd al-Rahman menegakkan perdamaian di wilayah utara. Di sana dia telah memperluas garis perbatasan Islam yang membentang dari Lerida di Atlantik hingga ke mata air sungai Ebro.[121]

Penaklukan Kembali Propinsi-Propinsi di Andalusia

Ketika Abd al-Rahman naik tahta negara dalam keadaan kritis karena di sana-sini terjadi pemberontakan, dan propinsi-propinsi banyak yang ingin membebaskan dari pusat, seperti Saragossa, Merida, Elvira, Bobastro dan lain-lain.[122] Abd al-Rahman berhasil merebut kembali satu demi satu propinsi-propinsinya yang selama ini sudah lepas dari kekuasaan Bani Umayyah. Dia mengumpulkan pasukan militer yang sangat besar, dan didukung oleh rakyat yang sudah bosan dengan pemberontakan dan merindukan kedamaian, sehingga dia berhasil memperluas penaklukannya ke semua jurusan. Ecija merupakan daerah yang mula-mula sekali menyerah pada tanggal 31 Oktober tahun 912 M,[123] kepada pengepungnya Badr, yang pada masa itu berkedudukan sebagai hajib.

Abd al-Rahman III ingin terjun langsung di medan pertempuran, sehingga membuat semangat tentara menjadi tinggi, yang tidak pernah dilakukan oleh pemimpin sebelumnya (Abdullah). Pada bulan April 913 M, dia mengepalai tentara untuk menaklukan propinsi Jaen, dia berhasil merebut Castille dari Jaen menyerah, akhirnya propinsi Jaen dapat ditaklukan. Regio dengan daerah pegunungannya yang menjadi daerah kekuasaan Ibn Hafsun setapak demi setapak dikurangi wilayahnya. Elvira juga segera ditaklukkan, demikian pula Archidona bersedia membayar pajak dan Banu Hajaj yang menguasai Seville membuka pintunya pada akhir tahun 913 M,[124] dan pada tahun 914 Carmona juga dapat ditaklukkan.[125]

Setelah membangun kekuasaanya di bagian selatan, Abd al-Rahman selanjutnya mengalihkan perhatiannya pada wilayah lain Spanyol. Pada tahun 928 M dengan pasukan yang khusus, Abd al-Rahman menyuruh Syekh Islami (pemimpin Arab) untuk menyerah, kemudian dia dan keluarganya dibawa ke Cordova sebagai tawanan. Kemudian daerah Merida dan Beja juga tunduk, selanjutnya Khalaf ibn bakr, pemimpin neo-Muslim di Oksonobi pada propinsi Algarva juga tunduk.[126] 

Di perbatasan hilir (Lower march) keturunan Ibn Marwan, penguasa Badajoz mengadakan perlawanan yang gigih dan tidak menyerah hingga tahun 930 M. Toledo yang telah menikmati kebebasan politik yang agak lama, menderita kelaparan dan diblokade oleh kekuatan kerajaan di bawah khalifah sendiri selama dua tahun. Raja Kristen Ordono dari Leon dan Galicia datang menyelamatkan Toledo, tetapi dikalahkan tahun 320 H/932 M. Toledo merupaka kubu terahir pemberontakan di perbatasan tengah (Middle march). Tujubid, pangeran (Lord), Saragossa, walaupun menunjukkan tanda-tanda loyalitas pada permulaan di perbatasan hulu (Upper march), memindahkan loyalitasnya kepada penguasa Kristen Leon tahun 937 M dan menyerahkan Saragossa hanya ketika dia terpaksa oleh pengepungan. Dengan demikian orang-orang Arab, Berber dan Spanyol semua dapat dikalahkan.[127]



Perang Dengan Dinasti Fathimiyyah di Afrika Utara.


Dinasti Fathimiyyah di Afrika Utara, merupakan musuh yang berbahaya bagi Abd al-Rahman III. Dinasti Fathimiyyah mengakui dirinya sebagai keturunan Fathimah binti Rasulullah (isteri Ali ibn Abi Thalib), karena itu khalifah-khalifah  Fathimiyyah tidak akan mengakui kekuasaan-kekuasaan lain dalam Islam kecuali kekuasaan mereka sendiri. Setelah penggulingan para penguasa Aghlabiyah, Bani Fathimiyyah mengirimkan agen-agen mereka ke Andalusia untuk menentang para penguasa Bani Umayyah. Al-mahdi pendiri daulah Fathimiyyah di Tunisia (pada tahun 909 M) berunding dengan Umar ibn Hafsun untuk memperoleh tempat berpijak di Andalusia.[128] Dia juga menugaskan Ibn Masarrah al-Qurthuby (883-931 M), seorang ahli filsafat, membentuk golongan Fathimiyyah di Spanyol.[129]

Selama dinasti Fathimiyyah terus berkembang, Abd al-Rahman merasa kedudukannya terancam, untuk melindungi serangan dari dinasti Fathimiyyah dan menghalangi perluasan ke daerah Mauretania, dia membangun benteng-benteng di pantai selatan dan membentuk angkatan laut yang kuat. Untuk mengambil tindakan pencegahan Abd al-Rahman merebut Ceuta (Septah) tahun 319 H (931 M).[130] 

Abd al-Rahman III meletakkan pasukan di Ceuta dan Gibraltar yang terdiri atas angkatan laut di bawah komando Ahmad ibn Muhammad ibn Ilyas dan Yunus ibn Sa’id, Abu Yazid, pemimpin Kharijiyah suku Berber dari Iforen menerima kepemimpinan Abd al-Rahman dan mengepung Fathimiyyah di kala pemerintahan Qaim (penguasa kedua). Abd al-Rahman berhasil merebut Afrika Barat Daya melalui vassalnya (negara bawahan). Orang-orang Berber Argeria dan Oran menerima kedaulatannya, dan Abd al-Rahman mengerahkan dinasti-dinasti lokal termasuk penguasa-penguasa kecil Arab Nukur yang telah mempertahankan diri untuk menentang serangan-serangan Fathimiyyah, dengan bantuan Maghrawa. Abd al-Rahman menundukkan seluruh Mauretania kecuali daerah Tahirt (Tahort). Akan tetapi, ketika al-Muiz (khalifah keempat dinasti Fathimiyyah) naik tahta pada tahun 952-975 M Abd al-Rahman sedang menghadapi serangan orang-orang Kristen Spanyol di bagian utara sehingga pasukan Abd al-Rahman terdesak keluar dari Afrika Utara.

Al-Muiz mengirim jenderal Jauhar as-Syakili[131] ke Maroko. Dalam pertempuran tersebut panglima Jauhar as-Syakili berhasil mengalahkan gubernur Umayyah dan menduduki Maroko sampai lautan Atlantik pada tahun 958 M.[132] Setelah ekspedisi Jauhar, kekuasaan Abd al-Rahman III di Afrika-Utara hanya tinggal Tangier dan Ceuta.[133]

Kapal-kapal Bani Umayyah mengalahkan kapal-kapal al-Muiz li-Dinillah yang berisi perlengkapan ke Maroko, kemudian al-Muiz membalas dengan menyuruh raja mudanya, Hasan ibn Ali untuk pergi ke Spanyol dan menghancurkan kota al-Meria. Abd al-Rahman III memerintahkan kaptennya untuk mengambil tindakan balasan dengan menghancurkan Susa’ dan tempat lainnya. Dua negara ini saling berperang menghabiskan tenaga, kegiatan saling balas-membalas terus berlangsung sampai beberapa tahun kemudian. Kondisi ini dimanfaatkan oleh bangsa Yunani untuk menaklukkan pulau Kreta dan mendudukinya pada tahun 967 M, sehingga orang-orang Islam kehilangan pulau Kreta yang pernah mereka kuasai di bawah pemerintahan al-Makmun.[134]

Penyebab utama perselisihan antara dua kekuatan Islam sebagai super power pada abad sepuluh adalah dari pihak Fathimiyyah membantu Umar ibn Hafsun yang menjadi ancaman bagi penguasa-penguasa Sunni di Andalusia, sementara di pihak Umayyah membantu persenjataan kepada suku Zanatha (Sunni) di Afrika-Utara melawan Sanhaja, yang mendukung Fathimiyyah.[135] Akan tetapi, dengan Angkatan Laut yang berkekuatan luar biasa telah membuat Abd al-Rahman III mampu berhadapan dengan Fathimiyyah dalam menguasai Laut Tengah dan membuat dia berhasil menguasai kota benteng Ceuta, yang merupakan kunci wilayah Mauretania.[136]



Abd al-Rahman III Menggunakan Gelar Khalifah


Dunia Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, Khulafaurrasyidin, dan dinasti Bani Umayyah di Damaskus ditandai dengan utuhnya kekuasaan Islam di tangan seorang pemimpin tunggal. Pada masa dinasti Bani Abbasiyah keutuhan kekuasaan Islam di tangan seorang pemimpin tunggal tidak dapat dipertahankan lagi. Sejak abad keempat Hijriyah (10 M) terjadi perkembangan baru, yaitu munculnya penguasa baru yang pada awalnya ditunjuk oleh khalifah sebagai wakil di beberapa wilayah dunia Islam, namun kemudian menegakkan kekuasaan secara independen sekalipun mengakhiri kekuasaan khalifah. Di samping itu, ada pula penguasa Islam yang pada mulanya muncul di luar kebijakan khalifah tetapi kemudian memperoleh pengakuan sebagai gubernur atau wakil khalifah. Ada pula yang sejak awal menentang khalifah Abbasiyah dan mengakui dirinya sebagai penguasa dunia Islam, seperti dinasti Bani Umayyah di Andalusia dan dinasti Fathimiyyah di Afrika Utara dan Suriah.[137]

Andalusia semenjak ditaklukkan Thariq ibn Ziyyad sampai kedatangan Abd al-Rahman I ke wilayah ini, pemerintahannya masih berada di bawah gubernur Afrika-Utara. Pada tahun 756 M Andalusia dinyatakan sebagai imarah yang bebas dari Afrika-Utara, dan selama 10 tahun, ad-Dakhil tetap mengakui bahwa wilayah kekuasaanya berada dalam kekhalifahan Abbasiyah, selama itu pula masih memperkenankan penyebutan nama khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur, dalam setiap khutbah Jum’at. Dalam tahun 775 M, setelah keamanan pulih sepenuhnya dan stabilitas kekuasaannya terjmin, al-Dakhil secara tegas memerintahkan kepada rakyatnya agar khutbah-khutbah Jum’at dibacakan atas namanya. Secara politis berarti dia menyatakan kemerdekaan Andalusia dari kekuasaan Baghdad, dan berdirinya kekuasaan daulah Umayyah di Andalusia.[138] Dalam masalah-masalah duniawi mereka independen dari Abbasiyah.[139]  Sekalipun demikian, Abd al-Rahman tidak mau menyebut dirinya sebagai khalifah, dia lebih senang dengan gelar amir saja.

Masa imarah berlangsung tahun 756-929 M. Pada pemerintahan Abd al-Rahman I sendiri berlangsung sampai tahun 788 M, sesudah itu dia digantikan oleh Hisyam I (788-796 M), Al-Hakam I (796-822 M), Abd al-Rahmn II (822-852 M), Muhammad I (852-886 M), Al-Mundzir (886-888 M), Abdullah (888-912 M) dan 17 tahun pertama dari pemerintahan Abd al-Rahaman III.

Pandangan kekhalifahan pada masa itu adalah khalifah merupakan pemimpin politik negara dan agama dari negara Muslim yang menguasai dua tanah suci yaitu Mekkah dan Madinah, yang pada saat itu dikuasai oleh dinasti Bani Abbas di Baghdad.[140] Tiga lambang kekuasaan khalifah adalah: pertama, nama khalifah dibaca dalam khutbah; kedua, namanya dilukiskan dalam mata uang emas; ketiga, memakai gelar amir al-Mukminin.  Abd al-Rahman I tetap menggunakan gelar amir, tidak menggunakan gelar khalifah, sebab kalau dia memakai gelar khalifah dia akan menghadapi banyak kesulitan, sebab Muslim Spanyol terutama para fuqahanya tidak akan menyerahkan kedudukan itu kepadanya dan dia dengan mudah akan tergeser dari kedudukannya.[141] Akan tetapi, Abd al-Rahman III pada tanggal 16 Januari tahun 929 M mengubah bentuk pemerintahannya dari emirat menjadi khilafah serta memproklamirkan dirinya sebagai khalifah,[142] dan menyebut dirinya sebagai khalifah al-Nashir li-Dinillah (khalifah pembela agama Allah).

Ada tiga faktor yang mendorong dan melatarbelakangi tindakaannya itu: pertama, kedudukan para khalifah di Baghdad sejak meninggalnya khalifah al-Mutawakkil (847 M) sudah tidak ada pengaruhnya lagi, derajat khalifah-khalifah Abbasiyah sudah merosot, kekuasaan mereka menjadi terbatas hampir hanya di daerah-daerah sekitar Baghdad sendiri. Para pemerintah yang berkuasa berbuat semaunya, misalnya menurunkan, mengangkat dan membunuh setiap khalifah,[143] mereka menghabiskan waktunya dalam kemewahan, perjudian, wanita dan memimpin pemerintahan dengan sangat absolut.[144] Dengan begitu dinasti Abbasiyah telah kehilangan peranannya tidak dalam kekuatan politik tetapi juga dalam agama dan moral. Hal itu mengubah pandangan rakyat terhadap khalifah, bahwasannya khalifah itu tidak hanya menguasai Mekkah dan Madinah, tetapi juga khalifah yang bermoral.[145]    

Kedua, daulah Fathimiyyah (909-1171 M) di Mesir yang berhasil menumbangkan daulah Aghlabiyah (801-909 M) di Afrika-Utara telah membebaskan diri sepenuhnya dari kekuasaan pusat di Baghdad dan memproklamasikan khilafah.[146] ketiga, daulah Fathimiyyah yang telah berhasil sepenuhnya menguasai wilayah Afrika-Utara, pulau Sicilia, Calabria dan semenanjung Selatan Itali, Afrika-Barat dan Sudan-Sahara, sudah dapat dihalau oleh Abd al-Rahman III pada tahun 316 H (929 M) dari Afrika Barat dan Sudan Sahara, sehingga Abd al-Rahman menganggap kekuasaanya lebih kuat jka dibanding dengan kekuasaan daulah Fathimiyyah pada waktu itu.[147]

Tuntutan meningkatkan amir menjadi khalifah itu bukanlah dimaksudkan untuk menentang Abbasiyah, tetapi membalas tuntutan daulah Fathimiyyah di Tunisia dan Abd al-Rahman ingin memberikan kepada penguasa-penguasa kecil Afrika-Utara suatu justifikasi teologi untuk mengakui kedaulatan Bani Umayyah di Cordova.[148]

Pengangkatan dirinya sebagai amirul mukminin menandai keuniversalan kekuasaanya, Abd al-Rahman mengumumkan kemerdekaanya sebagai penguasa di belahan barat dunia Islam. Sebagai keturunan Umayyah di Spanyol sejak lama telah menyebut diri mereka sebagai keturunan khalifah (Abna al-Khulafa), yaitu keturunan dari khalifah yang ketiga, Utsman ibn Affan.[149]



Hubungan Diplomatik


Abd al-Rahman tidak hanya membangun perdamaian dan keamanan, tetapi juga menjalin hubungan dengan luar negeri. Selama masa pemerintahan Muhammad I sampai Abdullah tidak menjalin hubungan dengan kedutaan luar negeri.[150] Pada masa Abd al-Rahman al-Nashir memperlihatkan stabilitas yang mantap. Meningkatnya gengsi negara pada masa itu, membuat istana dinasti Bani Umayyah di Andalusia sebagai tempat persinggahan duta-duta perdamaian dari beberapa negara tetangga di sekitarnya. Pada tahun 334 H (945 M) Raja Otto dari Slavia (Jerman) telah mengirim dutanya ke Cordova.[151] Demikian pula duta-duta yang diutus oleh para penguasa Perancis dan negara-negara lainnya. Selain itu al-Nashir juga terlibat perjanjian damai dengan Itali yang menderita kerugian akibat serbuan orang-orang Fathmiyah ke Genua, sebagaimana halnya perjanjian damai dengan Bizantium yang ingin melepaskan Sicilia dari cengkraman kekuasaan khalifah al-Qaim bi Amrillah al-Fathimy (322-334 H/ 934-945 M).[152]

Pada tahun 447-448 H kaisar Bizantium Constantine porphryogenitus (911-959 M) mengirimkan dutanya ke Cordova untuk mengikat perjanjian damai dengan al-Nashir, guna menghadapi lawan mereka bersama Abbasiyah dan Fathimiyyah. Hubungan dengan Bizantium tidak terbatas hanya dalam bidang politik, melainkan lebih luas daripada itu. Bizantium memiliki andil dalam pembuatan mihrab masjid Agung Cordova dan pembangunan al-Zahra. Kaisar juga mengutus Nicholas untuk menterjemahkan sebuah buku kedokteran yang selanjutnya diterjemahkan oleh Ibn Syibruth[153] ke dalam bahasa Arab.[154] 

Provense termasuk salah-satu negara yang merasakan langsung ancaman perluasan kekuasaan Muslim di Laut Tengah. Menyadari hal itu, Raja Provense meminta bantuan kepada Otto yang Agung (936-973 M), Kaisar Jerman, yang pada tahun 966 M dinobatkan menjadi Kaisar Imperium Roma Suci, untuk menghadapi ancaman tersebut, maka seperti juga halnya negara-negara tetangga yang lain, Otto mengikat perjanjian dengan al-Nashir. Pada tahun 956 M Otto mengirimkan delegasinya ke Cordova di bawah pimpinan Uskup Jean de Gorza. Adapun delegasi balasan yang dikirim oleh al-Nashir ke Jerman dipimpin oleh Uskup Rabi ibn Zaid, yang dalam catatan Spanyol nama ini lebih dikenal dengan Recemundo. Situasi politik yang demikian memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan kebudayaan dalam berbagai seginya di Andalusia, sehingga mampu menghantarkan dinasti Bani umayyah ke puncak kejayaanya.[155]



BAB IV

PRESTASI PEMERINTAHAN ABD AL-RAHMAN AL-NASHIR

 DI BIDANG PERADABAN



Setelah memantapkan pemerintahannya di bidang politik, Abd al-Rahman al- Nashir membangun Andalusia dengan mengembangkan di bidang ilmu pengetahuan dan peradaban yang dinilai sangat maju.



A.     Ilmu Pengetahuan

Islam sejak awal sudah menempatkan akal dalam kedudukan yang terhormat, supaya akal itu dapat bekerja sesuai dengan fungsinya yang wajar. Dengan akalnya ini manusia disuruh untuk berfikir sebelum bertindak dan menentukan sikap. Kebebasan berfikir yang dijamin oleh ajaran Islam itu merupakan benih yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Islam menemukan metode ilmiah yang merupakan kunci pembuka rahasia-rahasia alam semesta, karena kemerdekaan akal yang diajarkannya. Oleh karena itu, Islam telah berperan sebagai pelopor kebangkitan intelektual pada saat Eropa sedang terlena dalam buaian fikiran beku, karena akal mereka dipasang oleh mitos-mitos gereja menyesatkan.[156]

Pemisahan Andalusia dari Baghdad secara politis, tidak berpengaruh terhadap kemajuan keilmuan dan peradaban antara keduanya, banyak Muslim Andalusia yang menuntut ilmu di negeri Islam belahan timur itu dan tidak sedikit pula ulama dari timur yang mengembangkan ilmunya di Andalusia. Oleh karena itu, pengaruh timur cukup besar terhadap perkembangan ilmu dan peradaban di Andalusia.[157]

Abd al-Rahman al-Nashir terkenal sebagai pelindung dan pendorong seni dan ilmu pengetahuan.[158] Satu pertiga dari pendapatan negara setiap tahunnya dibelanjakan untuk kemajuan pengajaran dan kebudayaan.[159] Pada waktu itu Andalusia sudah mencapai tingkat peradaban yang sangat maju, sehingga hampir tidak ada seorangpun penduduknya yang buta huruf.[160] Di pinggiran kota bagian timur terdapat 170 orang wanita penulis mushaf dengan khat kufi, terdapat 80 sekolah dan orang-orang miskin menuntut ilmu pengetahuan secara gratis. Menurut Muhammad al-Mas’umi, pada masa itu (abad 7 H/10 M) para pelajar Andalusia pergi ke Baghdad, Basrah, Damaskus dan Mesir untuk mempelajari hadits, tafsir, logika dan filsafat. Muhammad ibnu Abdun al-Jabali pada tahun 347 H/952 M belajar logika kepada Abu Sulaim Muhammad ibn Thahir ibn Bahran al-Sijistani dan kembali ke Andalusia pada tahun 360 H/965 M. Sebelumnya dua orang bersaudara Ahmad dan Umar ibn Yunus al-Barrani belajar berbagai ilmu kepada Tsabit ibn Sinan ibn Tsabit ibn Qurran di Baghdad sejak tahun 339 H/935 M, kembali ke Andalusia pada tahun 351 H/936 M.[161]

Khalifah mendirikan dan menempatkan Universitas Cordova di dalam masjid Cordova.[162] Universitas Cordova ini mendahului Universitas al-Azhar di Mesir dan Universitas Nizamiyah di Baghdad serta menarik perhatian pelajar-pelajar Kristen dan bukan saja dari Spanyol tetapi juga dari negara-negara lainnya di Eropa, Afrika dan Asia.[163] Fakultas-fakultas yang ada dalam perguruan tinggi tersebut di antaranya ialah fakultas kedokteran, matematika, filsafat, kesusasteraan, astronomi, musik dan penyalinan naskah-naskah Yunani dan naskah-naskah Latin.[164] Yang mengajar di Universitas Cordova di antaranya adalah al-Qali (901-967 M) yang dilahirkan di Armenia dan belajar di Baghdad, muridnya yang utama Muhammad ibn al-Hasan al-Zubaidi (928-989 M) berhubungan dengan keluarga yang datang dari Hims, tetapi dia sendiri lahir di Sevilla.[165] Pada masa Abd al-Rahman al-Nashir terkenal filosof Muhammad ibn Abdillah ibn Misarrah al-Bathini (269-319 H), Luthfi Abd al-Badi’ dari Cordova mengemukakan bahwa dia adalah orang pertama yang menekuni filsafat. Hal ini berarti filsafat sudah dikenal di semenanjung ini sebelum munculnya al-Jabali.[166]

Hasdai ibn Shibruth (945-970 M) adalah diplomat besar dan seorang ahli kedokteran dan bekerja sebagai bendahara dan menteri finansial pada pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir. Buku The Ilustrated Botanical karya Dioscorades diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para sarjana Yunani Nicholas dengan seorang asisten Ibn Shibruth yang merupakan sumber buku bagi studi ilmu pengetahuan Yunani di Spanyol. Ahli kedokteran Yahya ibn Ishaq, yang merupakan orang Yahudi, sangat terkenal, sehingga menjadi dokter di berbagai kerajaan Eropa. Dia juga diangkat oleh al-Nashir sebagai menteri.[167]

Ada suatu kejadian yang menarik yang menunjukkan betapa dunia kedokteran di Andalusia jauh lebih maju dari Eropa Kristen. Kasus ini terjadi ketika don Sancho (955-967 M), Raja Kerajaan Leon, melarikan diri ke Nevarre karena kemelut politik dalam negerinya. Sancho menderita penyakit kegemukan badan, hingga badannya terasa sangat berat, karena penyakit itulah dia kemudian dijuluki sancho the fat_ (Sancho yang gemuk) ketika melarikan diri ke Navarre, Sancho mendapat anjuran dari Raja Navarre, don Garcia II (929-970 M), agar dia memohon bantuan kepada dokter istana khalifah Abd al-Rahman. Permohonan itu dikabulkan, Sancho disambut dengan ramah dan dilayani dengan mewah sekali oleh khalifah, dengan jamuan ramuan-ramuan tertentu, maka dalam waktu singkat dia pun terbebas dari gumpalan-gumpalan daging yang keterlaluan itu, dan dia pun kembali dengan keadaan ringan dan lincah seperti sediakala.[168]

Sejarawan yang terkenal pada masa itu adalah Abu Bakar Muhammad ibn Umar yang telah dikenal dengan Ibn al-Quthiyah (wafat 367 H/977 M). Bukunya yang berjudul Tarikh Iftitah al-Andalus memiliki nilai tersendiri, karena penafsirannya mengenai peristiwa-peristiwa di Spanyol yang sebelumnya tidak diketahui oleh orang Arab. Isi buku ini dimulai dari penaklukan Andalusia sampai masa pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir. Sejarawan yang sezaman dengan Ibn al-Quthiyah ialah Uraib ibn Saad (wafat 369 H/ 979 M). Nenek moyangnya adalah keturunan Nasrani Cordova yang sudah masuk Islam. Dia meringkas tarikh al-Thabari dan menambahkan kepadanya tentang Maghrib dan Andalusia, di samping memberi catatan indeks terhadap buku tersebut.[169] Ahli sejarah yang lainnya yaitu Ibn al-Qasim (964 M).

Di tiap-tiap Universitas tentunya ada perpustakaannya. Perpustakaan negeri Cordova yang dimiliki oleh Muhammad I (852-886 M) kemudian di perluas oleh Abd al-Rahman al-Nashir, pada masanya ini Cordova memiliki perpustakaan besar, Cordova dikenal sebagai pusat intelektual di Eropa. Granada, Sevilla, Toledo dan Malaga ikut memperkuat barisan sebagai kota-kota ilmu pengetahuan, karena di sana banyak dijumpai perpustakaan.[170] Perpustakaan yang ada kurang lebih berjumlah tujuh puluh perpustakaan yang berisikan empat ratus ribu buku.[171]

Abd al-Rahman mempunyai agen-agen buku yang siap mensuplainya. Para agen ini juga siap melakukan perjalanan ke wilayah timur, yang dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan lebih dahulu menikmatinya, guna memperoleh buku-buku baru dan buku-buku yang sulit diperoleh di pasar. Oleh karena itu kenyataan bahwa ada buku-buku yang ditulis di Persia dan Syam, tetapi telah dikenal terlebih dahulu di Andalusia dibandingkan di timur sendiri. Hal ini karena penguasa Andalusia itu berani membayar mahal buku yang dikehendakinya.[172]



B.     Perkembangan Bahasa dan Sastra Arab

Perkembangan bahasa dan sastra Arab di Andalusia adalah bersamaan dengan masuk dan meluasnya kekuasaan Islam di semenanjung itu. Bahasa Arab dipelajari oleh berbagai kalangan penduduk dan lapisan sosial di Andalusia, sehingga akhirnya mampu menggeser peran bahasa lokal dan menembus batas-batas keagamaan. Menurut Philip K. Hitti, sebagaimana dikutip oleh Maman, Kemenangan bahasa Arab dalam bidang kemiliteran, politik dan keagamaan sebelum digunakan sebagai sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, bahasa Arab digunakan sebagai bahasa ilmu pengetahuan

Dozy, sebagaimana dikutip Syalabi, dan dikutip lagi oleh Maman, mengemukakan bahwa orang-orang Andalusia tidak menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa sehari-hari mereka, bahkan mereka telah melupakannya. Seorang pendeta di Cordova mengeluh, karena di kalangan mereka hampir tidak ada yang mampu membaca kitab suci yang berbahasa Latin, mereka hanya mengetahui dan memahami bahasa Arab. Karena itu pada permulaan abad IX M bahasa Arab sudah digunakan sebagai menjadi bahasa remi di Andalusia, hal itu mendorong seorang pendeta dari Sevilla menerjemahkan kitab Taurat ke dalam bahasa Arab, karena hanya bahasa Arab yang dapat dimengerti oleh murid-muridnya untuk memahami kitab suci agama mereka. Keadaan seperti itu terjadi di Cordova dan Toledo sampai Alfonso VI menguasai Toledo pada tahun 1065 M. bahkan menurut al-Siba'iy tidak jarang dari penduduk Nasrani Andalusia lebih fasih berbahasa Arab daripada (sebagian) orang Arab sendiri.[173]

Tokoh besar yang tercatat pernah berperan secara aktif dalam pengembangan bahasa Arab di sana, antara lain Abu Ali al-Qali, dia dibesarkan dan menimba ilmu hadits, bahasa, sastra, nahwu dan sharaf dari ulama terkenal di Baghdad. Pada tahun 330 H/941 M dia tiba di Cordova atas undangan al-Nashir, lalu dia menetap di sana dan mengembangkan ilmunya sampai dia wafat pada tahun 358 H/969 M. di antara karya tulisnya yang bernilai tinggi ialah kitab al-Amali dan kitab al-Nawadir.[174]

Ulama lain yang berperan dalam pengembangan bahasa Arab di Andalusia yang semasa dengan al-Qali ialah ibn al-Quthiyah Abu Bakar Muhammad ibn Umar. Dia seorang ulama besar yang ahli bahasa Arab, ahli nahwu, penyair dan sejarawan. Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Af’al dan kitab Fa’alta wa-Af’alat, dia wafat pada tahun 367 H/977 M. Guru Ibn al-Quthiyah di antaranya ialah al-Zabidi yang dikenal sebagai ulama ahli nahwu, karyanya yang terkenal adalah kitab Mukhtashar al-‘Ain dan kitab Akhbar al-Nahwiyyin, di samping itu al-Quthiyah juga pernah berguru kepada Sa’id ibn Jabir. Kedua orang gurunya itu sudah tidak disangsikan lagi sudah mengajarkan ilmunya di Andalusia sejak sebelum kedatangan al-Qali.[175]

Selain berkembangnya bahasa Arab di Andalusia, berkembang pula kesusasteraan Arab yang dalam arti sempit disebut adab, baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Di antara jenis prosa adalah Khitabah sebagai media pembangkit perjuangan dan propaganda dalam penyebaran agama dan dakwah, dan Tarassul, untuk memperlancar korespondensi dan administrasi.[176] Adapun jenis-jenis syair yang berkembang di Andalusia ialah Madah (pujian), Ratsa, Gazal, Khimar, Washf, Himasah, Hijaz, Zuhd dan Hikmah.[177] Syair Arab hispano pada masa awal, disebut Qasidah, yang memuja sifat-sifat kebajikan sang penguasa dan menyampaikan beberapa tujuan pemerintah, merupakan bentuk syair yang dominan, beberapa bentuk syair yang khas Spanyol mengalami perkembangan. Sejumlah pujangga baru mengembangkan lirik Arab yang disebut dengan Kharja, yaitu sajak cinta yang bertemakan perihal kehidupan istana, yang menekankan unsur kelaki-lakian, Kharja merupakan model sintesis antara beberapa bait bahasa Arab dan bahasa Romawi. Kharja biasanya menyuarakan kehidupan kelas bawahan, atau menggambarkan seorang budak wanita Kristen, dan inspirasi kewanitaannya telah menonjol. Ketika seorang penyair menulis dalam bahasa Arab, maka sistem kandungannya (materi yang terkandung), prosodi (model persajakan) yang bersifat silabus dan alur irama seluruhnya menunjukkan pengaruh bahasa Romawi.[178]

Sebelum Islam masuk ke Andalusia, orang Spanyol suka berseloka, kedatangan Islam telah memperluas seloka-seloka Spanyol yang tidak beraturan itu, sehingga lahir Muwasysyah dan Muwasysyah ini melahirkan Zajal. Di antara sastrawan terkenal di Andalusia adalah Abu Amir Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih, lahir di Cordova 246 H/860 M. Dia menekuni ilmu kedokteran dan musik, sehingga memperoleh pengetahuan yang cukup dalam kedua bidang ilmu tersebut, akan tetapi dia lebih cenderung kepada sastra dan sejarah. Dia semasa dengan empat orang khalifah Umayyah (Muhammad I, al-Mundzir, Abdullah dan Abd al-Rahman al-Nashir) yang bagi mereka telah dia ciptakan syair-syair pujian (madah), sehingga dia memperoleh kedudukan terhormat di sisi mereka. Pada masa al-Nashir dia telah menciptakan empat ratus empat puluh bait puisi dengan menggunakan bahan acuan sejarah. Ketika memasuki usia lanjut, dia menyesali kehidupan masa mudanya, kemudian lebih menyukai kehidupan zuhud. Oleh sebab itu dia menciptakan syair-syair zuhdiyah. Himpunan puisi yang dihasilkan pada hari tuanya itu diberi nama al-Mumhishat. Sebagian besar karya syairnya yang berupa puisi sudah hilang, sedangkan yang berupa prosa dia tuangkan dalam karyanya yang diberi nama al-‘Aqd al-Farid. Dia wafat dalam keadaan lumpuh pada tahun 328 H/940 M.[179]

Seirama dengan perkembangan syair, berkembang pula musik dan seni suara. Dalam hal ini tidak bisa dikesampingkan jasa besar Hasan ibn Nafi’ yang lebih dikenal dengan panggilan Ziryab. Dia seorang maula dari Irak, murid Ishaq al-Maushuli seorang musisi dan biduan kenamaan di istana Harun al-Rasyid. Ziryab tiba di Cordova pada tahun pertama pemerintahan Abd-al-Rahman II al-Ausath. Keahliannya dalam seni musik dan tarik suara, pengaruhnya masih membekas sampai sekarang, bahkan dia dianggap sebagai peletak dasar dari musik Spanyol modern. Tidak diingkari baik oleh sarjana barat maupun timur, bahwa orang Arab pula yang memperkenalkan not: do, re, mi, fa, sol, la, si. Bunyi-bunyi itu diambil dari huruf-huruf Arab: Dal, Ra, Mim, Fa, Shad, Lam, Sin.[180]

Pada masa ini bahasa Arab telah menjadi bahasa pemersatu bagi seluruh penduduk Andalusia. Orang-orang Muwalladun (Spanyol: Muladies atau Muslim keturunan Spanyol) dan orang-orang Musta’ribun (Spanyol: Mozareb atau orang Spanyol yang tetap beragama Kristen) menggunakan bahasa Arab dalam percakapan umum mereka, walaupun dalam kehidupan sehari-hari ada sebagian diantara mereka yang masih menggunakan dialek Romano. Orang-orang Mozareb termasuk pejabat-pejabat gereja mengadaptasikan peradaban dan kebudayaan Muslim dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka mempunyai dua nama, yang satu nama baptis dan yang satu lagi nama Arab. Dengan begitu dapat dilihat bahwa pada saat itu terciptalah suatu kondisi yang rukun dalam suatu masyarakat yang majemuk.[181] Contoh kosakata Spanyol yang diadopsi dari bahasa Arab yaitu: Arab: al-Aruz, Spanyol: arrot (beras); Arab; rumman, Spanyol; romania (delima), dan lain-lain.[182]

 


C.     Bidang Sosial Keagamaan


Masyarakat Andalusia merupakan masyarakat yang majemuk,[183] di antaranya adalah orang-orang Islam Arab dan Berber,[184] sebagai kelompok bangsa yang ambil bagian dalam penaklukan Spanyol pada masa Thariq ibn Ziyyad dan Musa ibn Nushair, dan orang-orang Nasrani Andalusia keturunan Spanyol yang kemudian memeluk Islam setelah penaklukan negeri itu.[185]

Sebagian besar bangsa Arab yang datang ke sana adalah keturunan Arab Selatan (suku Yaman) dan keturunan Arab Utara (suku Mudhari). Kebanyakan orang-orang Mudhari tinggal di Toledo, Saragossa, Sevilla, dan lain-lain, sedangkan suku Yamani banyak bermukim di Granada, Cordova, Sevilla, Murcia dan Badajoz. Orang-orang Berber sekalipun mereka pada masa penaklukan memperoleh sukses besar, orang-orang Arab Selatan mengharamkan hasil penaklukan itu bagi mereka dan menempatkan mereka di daerah-daerah perbukitan yang kering dan tandus di bagian utara negeri ini. Oleh karena itu, mereka harus mampu berdiri tegak menghadapi serangan-serangan orang-orang Nasrani yang mendiami tempat-tempat berbenteng, sedangkan pada saat yang sama orang-orang Arab menikmati lembah-lembah sumber yang jauh dari ancaman kelompok-kelompok gerilya orang-orang salib itu. Maka wajar apabila dalam beberapa kerusuhan yang timbul salah-satu faktor penyebabnya berakar pada kemarahan orang-orang Berber. Mereka menyatakan permusuhan pada orang Arab, sebagaimana sebelumnya mereka memusuhi orang Arab dan Maroko.[186] Ketika Abd al-Rahman berkuasa, dia mampu memaksa orang-orang Berber untuk patuh terhadap kebijakannya, sehingga kesatuan negara bisa dikembalikan.[187]

Di antara penduduk Andalusia adalah umat Nasrani, mereka terdiri atas dua kelompok, yaitu; pertama, kelompok yang berpegang teguh pada agamanya yang lama dan warisan nenek moyangnya, kedua, kelompok yang sekalipun tetap pada keyakinannya, tetapi memperlihatkan kecendrungan untuk mempelajari bahasa Arab, berbicara dengan bahasa Arab, bahkan bertingkah laku seperti adat kebiasaan bangsa Arab (mereka dikenal dengan sebutan Musta’ribah).[188]

Di bawah pemerintahan dinasti Bani Umayyah, pemeluk agama Nasrani ini dapat bergaul dengan saudara-saudaranya dalam kebebasan yang sempurna menurut aturan yang berlaku, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang memperoleh jabatan tinggi baik sipil maupun militer. Mereka di tempatkan di bawah kepemimpinan seorang count yang dipilih oleh amir atau khalifah dari kalangan mereka sendiri. Mereka memilih seorang hakim dan mahkamah apel di bawah kepemimpinan count[189] untuk menyelesaikan perkara yang diminta banding.[190]

Untuk mengawasi masalah perlindungan dan keamanan kaum non-Muslim, Abd al-Rahman al-Nashir mengangkat pejabat yang disebut dengan Katib udl-Diman.[191] Gereja-gereja diizinkan didirikan. Dia menciptakan semacam keseimbangan politik dan mengundang setiap orang dari agama ke masjidnya.[192] Banyak budak-budak perempuan dari orang-orang Kristen diserahkan kepada Abd al-Rahman al-Nashir, kemudian dijadikan kaum minoritas yang dilindungi.[193]

Di samping penduduk yang beragama Nasrani, terdapat pula bangsa Yahudi, yang diperlakukan sebagai kelompok Ahl al-Dhimmah (minoritas yang dilindungi), tetapi mereka berada dalam hubungan yang baik dengan orang-orang Arab, sebab kedua kelompok itu saling bahu-membahu menghadapi orang Visigoth pada masa penaklukan. Sebagaimana umat Nasrani, orang Yahudi pun memiliki aturan administrasi tersendiri. Al-Idrisi mengatakan bahwa umat Yahudi memiliki sebuah kota sekitar empat puluh mil dari Cordova. Mereka tinggal di jantung kota yang tidak bisa dimasuki oleh seorangpun yang beragama Islam. Penduduk kota itu adalah orang-orang hartawan yang jauh lebih kaya dari orang-orang Yahudi yang tinggal di negara-negara Islam yang lain. Sikap pemerintah Bani Umayyah terhadap umat Yahudi dapat dilihatkan dari penunjukkan Ibn Syibruth untuk menyambut duta-duta dari negara-negara lain yang datang ke istana Cordova. Ibn Syibruth telah memegang peranan penting dalam menyambut utusan kaisar Constantine II dari Jerman, kecuali itu Abd al-Rahman al-Nashir pernah melimpahkan kepercayaan kepada Ibn Syibruth dalam urusan diplomatik yang amat penting dengan raja Navarre, dia juga dijadikan sebagai dokter istana yang mengawasi kesehatan khalifah Abd al-Rahman al-Nashir dan telah memapankan suatu kelompok sarjana Talmud di Spanyol. Dari kelompok sarjana ini, penggunaan bahasa Ibrani sebagai bahasa kalangan terpelajar kemudian dikembangkan. untuk tujuan-tujuan yang biasa, orang Yahudi secara luas mengunakan dialek bahasa Arab dan Romawi negara itu. Sejumlah orang Yahudi mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat dengan sarjana-sarjana Arab dan menjadi pakar dalam disiplin-disiplin tersebut.[194] Sehingga pada masa itu terciptalah toleransi antar umat Islam, Nasrani dan Yahudi, [195] terbukti pada waktu itu seorang Nasrani yang bernama Nicholas, seorang ahli kimia dan apoteker dapat tinggal dan bersahabat dekat dengan orang Yahudi, Hasdai, yang ahli ilmiah.[196]

Kelompok lain yang tidak kalah pentingnya dalam kehidupan politik dan sosial budaya di Andalusia adalah golongan lavia_. Kelompok ini didekati oleh Abd al-Rahman al-Nashir sesudah dia melihat bahwa semangat kesukuan Arab merupakan sumber petaka perpecahan dan percekcokan, maka al-Nashir berupaya menghindarkan diri dari pengaruh bangsa Arab dan melimpahkan kepercayaannya kepada kelompok budak itu, yang dijadikannya sebagai pengawal bagi dirinya. Mereka dididik dalam kemiliteran dan diangkat menjadi tentara pemerintah untuk menekan bangsa Arab. Al-Maqarri mengatakan, bahwa golongan Slavia di istana al-Zahra pada waktu itu mencapai 3750 orang.[197] Secara umum para menteri diangkat dari kalangan Arab terkemuka namun tidak pernah dari familinya. Khalifah mengimbangi pengaruh mereka dengan mengangkat golongan Slavia yang telah dimerdekakan untuk berbagai politik penting. Badr Ahmad, budak yang telah dimerdekakan oleh Abdullah, merupakan tangan kanan Abd al-Rahman al-Nashir sampai tahun 921 M.[198]

Di samping masyarakat di atas, pada periode ini juga terdapat bangsa Yunani, mereka bersedia hidup berdampingan dengan penduduk lain dalam rangka melakukan perdagangan dan membina kebudayaan, sehingga Cordova terdapat pusat pengkajian bahasa Ibrani, namun merekapun biasa berbahasa Arab dengan fasih.[199]

Pemerintahan Abd al-Rahman al-Nashir merupakan kesetabilan politik dan perdamaian internal di mana semua masyarakat Andalusia tunduk pada pemerintah. Pengaruh-pengaruh timur mulai berkurang dan peradaban hispano Arab bercampur dengan tradisi lokal,[200] dan terjadi integrasi ras terhadap bangsa Arab dan Spanyol.[201]

Pada masa Abd al-Rahman al-Nashir, hukum yang berkembang pesat dan meluas di Andalusia menggunakan mazhab Maliki (Hijaz). Mazhab Maliki masuk ke Andalusia pada tahun 184 H (800 M) menggantikan Mazhab Auza’i. Proses masuk dan berkembangnya mazhab Maliki di Andalusia ialah melalui diintroduksinya buku-buku yang ditulis oleh dua orang fuqoha (mufrod: faqih=ahli hukum) dari Qairawan, yaitu Isa ibn Dinar (wafat 232H/ 847 M) yang menulis duabelas jilid buku dan Yahya ibn Yahya al-Laitsi (wafat: 847 M) yang keduanya bermazhab Maliki. Buku yang ditulis oleh kedua tokoh itu berbentuk tanya jawab praktis. Pada masa pemerintahan amir al-Hakam I (180 H/788 M-206 H/822 M) menetapkan buku-buku yang ditulis oleh kedua orang itu menjadi sebuah kodifikasi hukum sebagai pegangan para Qadi. Ditambah lagi dengan buku-buku yang ditulis oleh al-Utbi (wafat: 869 M) yang menjadi suplemen bagi buku-buku yang ditulis oleh kedua orang pendahulunya, maka menjadi lengkaplah kodifikasi hukum menurut mazhab Maliki di Andalusia. Pada masa pemerintahan Muhammad I (852 886 M) mazhab Syafi’i juga masuk ke Andalusia yang dikembangkan oleh Baqi’ ibn Makhlad (wafat 280 H/889 M). Demikian juga mazhab Dhahiri pernah menyentuh Andalusia walupun kurang mengalami perkembangan.[202]



D.    Di Bidang Ekonomi

Pada masa pemerintahan sebelum Abd al-Rahman al-Nashir, ekonomi Andalusia sangat merosot, industri belum berkembang dan perdagangan tidak eksis. Bencana kelaparan terjadi di Jaen pada tahun 904-910 M, sehingga demi menghindari kematian, masyarakat banyak yang bermigrasi ke Afrika-Utara.[203] Pada masa Abd al-Rahman al-Nashir li-Dinillah, perekonomian Andalusia mengalami peningkatan, baik di bidang industri, pertanian dan perdagangan. Barang-barang dagangan dijual dengan harga murah sehingga tidak ada lagi para pengemis, hal ini membuktikan kemakmuran bagi rakyatnya.[204]

 Tiap tahun dia mendapatkan pemasukan negara sebesar 6.245.000 keping emas dan pada tahun 951 M dia mendapatkan pemasukan yang sangat besar, sejumlah 20.000.000 keping emas.[205] Pemasukan negara pada umumnya berasal dari pajak-pajak barang eksport dan import.





  1. Industri

Andalusia ketika dipimpin oleh Abd al-Rahman al-Nashir pernah menjadi pusat industri yang perdagangannya sampai ke luar negeri, bahkan merupakan yang terbesar di Eropa pada waktu itu. Mereka membangun industri tekstil yang merupakan industri utama, keramik, kertas, sutera dan gula murni, serta membuka pertambangan penting dari emas, perak dan logam lainnya.[206] Produk-produk industri yang di eksport ialah kain jorjet yang ditenun dari bahan wol, linen dan sutera yang contohnya masih disimpan sampai sekarang. Kaum Muslim memperkenalkan tehnik pemintalan benang sutera di Andalusia. Di Cordova sendiri dikatakan ada 13.000 penenun.[207] Mereka mengembangkan industri kulit yang cukup maju dan pesat. Dari Spanyollah keahlian menyamak kulit dan pembuatan kulit yang berukir-ukir tersebar ke Maroko. Dari kedua negeri itulah kemudian keahlian tersebut tersebar ke Perancis dan Inggris,[208] dengan istilah Cordova, Cordwainer dan istilah-istilah Maroko. Wol dan sutera bukan saja banyak dijumpai di Cordova tetapi juga di Malaga, Almeria dan pusat-pusat perdagangan lainnya. Pemeliharaan ulat sutera, yang aslinya merupakan monopoli orang-orang Cina, diperkenalkan oleh orang-orang Islam ke Spanyol berhasil berkembang biak dengan pesatnya. Almeria juga menghasilkan perkakas dari gelas dan kuningan. Paterna dan Valencia merupakan pusat barang pecah belah, Jaen dan Algarve tercatat sebagai penghasil emas dan perak, Cordova terkenal dengan besi dan timah hitam, dan Malaga terkenal dengan batu delimanya. Toledo sebagaimana juga Damaskus terkenal ke seluruh dunia dengan pedang-pedangnya, karpet terkenal di Beza dan Calcena, kertas di Jativa dan Valensia, emas dan perak yang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang indah seperti bunga-bungaan, pada mulanya berasal dari Damaskus yang selanjutnya berkembang ke beberapa kota di Spanyol dan negara-negara Eropa lainnya dan meninggalkan nama-namanya yang terkenal dengan damascene, damaskeen, dalam bahasa Perancis damasquiner dan bahasa Italia damaschino.[209] Dengan demikian pada abad ini Cordova telah sebanding dengan Constantinople dalam seni ukir perhiasan emas, perak dan permata.[210]

  1. Pertanian

Orang-orang Arab Spanyol melakukan kegiatan pertanian yang lazim mereka laksanakan di negeri leluhurnya.[211] Akibat diterapkannya sistem hak guna tanah, hak warisan atas tanah dan lembaga wakaf menurut Islam yang mengakui hak individu itu, telah mendorong lahirnya sistem dan metode baru yang memungkinkan meningkatnya produksi pertanian. Sistem irigasipun berkembang,[212] karena didukung oleh letak Andalusia yang besar di dataran tinggi.[213]

Untuk keperluan irigasi mereka menggali kanal, menanam anggur dan memperkenalkan beberapa tanaman-tanaman lainnya dan buah-buahan seperti padi, aberikos, persik, delima, jeruk manis, jeruk asam, apel, aprikot, kapas, kunyit, gandum dan zaitun yang dikerjakan oleh petani-petani dengan cara bagi hasil dengan pemilik tanah.[214] Pemilik tanah disebut dengan alvers_ karena mereka membayar setengah produknya pada keuangan negara. Abd al-Rahman al-Nashir menurut Ibn Bashkuwel memiliki 750.000 dinar setiap tahunnya dari hasil pertanian. Akibat dari pertanian yang baik dapat meningkatkan perekonomian negara sehingga berpengaruh pada perkembangan di bidang perdagangan dan ilmu pengetahuan.[215]  

  1. Perdagangan

Keberhasilan Andalusia memproduksi komoditi pertanian dan industri kerajinan serta bahan tambang telah dapat melebihi kebutuhan dalam negeri, karenanya perlu di ekspor. Para pedagang tidak hanya menggunakan jalur darat tetapi juga dapat menggunakan jalur laut.[216] Melalui Sevilla, salah satu pelabuhan sungai yang terbesar, mereka mengekspor kapas, buah zaitun dan minar. Dari Malaga dan Jaen di eksport kunyit, buah-buahan, batu marmer dan gula. Hasil-hasil pertanian dan perindustrian tersebut dijual orang sampai di India dan Asia Tengah, melalui Iskandariyah dan Konstantinopel. Hubungan perdagangan dengan Damsyik, Baghdad dan Mekkah berlangsung lancar dan ramai. Hal ini juga ditopang dengan kemahiran orang-orang Arab dalam soal pelayaran. Orang-orang Arab memang sejak abad 5 M, telah mampu melayari lautan Hindia sampai ke negeri Cina, mereka inilah yang melakukan perdagangan internasional antara timur dan barat. Kesanggupan mereka menguasai lautan semata-mata karena mereka telah memiliki peta dan kompas, di samping tehnik pembuatan kapal yang mampu melawan angin sakal.[217]

Di samping kegiatan-kegiatan yang tersebut di atas, pemerintah juga melakukan pemberangkatan surat-surat melalui pos. Bentuk mata uang serupa dengan mata uang yang terdapat di wilayah timur (Abbasiyah), dengan dinar sebagai satuan mata uang emas dan dirham sebagai satuan perak. Mata uang Islam juga dipergunakan pada waktu itu untuk kerajaan-kerajaan Kristen di utara, hampir selama empat ratus tahun yang berlaku hanya mata uang Islam dan Perancis.









 

E.     Perkembangan Kota dan Arsitektur

Baik Muslim maupun non-Muslim memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam pembangunan negara. Oleh karena itu, dinasti Bani Umayyah II yang merupakan inti kekuasaan Islam di Andalusia mampu menempatkan Cordova sejajar dengan Konstantinopel dan Baghdad sebagai pusat peradaban dunia.[218]

Andalusia pada masa Abd al-Rahman al-Nashir terkenal mempunyai arsitektur yang baik.[219] Pada tahun 325 H/936 M al-Nashir membangun kota satelit yang diberi nama salah satu isterinya, al-Zahra. Biaya untuk membangun kota itu pada mulanya akan digunakan untuk menebus orang-orang Islam yang ditawan oleh orang-orang Kristen. Akan tetapi ternyata tawanan-tawanan yang dimaksud itu tidak pernah ada, maka dia pun menuruti nasehat isterinya yang bernama al-Zahra (artinya: orang-orang yang berseri-seri mukanya). Al-Zahra menghendaki supaya Abd al-Rahman mendirikan istana itu dan harus diberi nama al-Zahra,[220] yang sekarang disebut dengan Cordova La Vieja. Kota ini dibangun di kaki bukit ‘Arus dari pegunungan Sierra sekitar 4,5 km ke arah utara Cordova. Panjangnya dari timur ke barat 2700 hasta dan lebarnya 1500 hasta.[221] Di tengah-tengah kota ini dibangun sebuah istana yang memiliki 400 buah kamar.[222]

Menurut al-Idrisi, al-Zahra terdiri atas tiga bagian yang masing-masing dipisahkan oleh pagar tembok. Bagian atas terdiri dari istana-istana dan gedung-gedung negara lainnya, bagian tengah adalah taman dan tempat rekreasi, sedangkan di bagian bawah terdapat rumah-rumah, toko-toko, masjid-masjid dan bangunan-bangunan umum lainnya. Istana-istana al-Zahra di bagian atas itu yang terbesar diantaranya diberi nama Dar al-Raudah.[223]

Pembangunan kota ini menghabiskan waktu empat puluh tahun (dimulai pada tahun 325 H dan diselesaikan oleh al-Hakam II pada tahun 365 H/975 M). setiap harinya menyerap tenaga kerja sekitar 10.000 orang dan 1500 hewan pengangkut.[224] Setiap hari dipasok 1.100 muatan bata dan gamping. Batu marmer yang diperlukan didatangkan dari Numidia dan Kartago, sedangkan sokoguru-sokoguru dan bak-bak berukir emas didatangkan dari Konstantinopel, arsitek dan tenaga ahli banyak didatangkan dari luar negeri termasuk Konstantinopel dan Baghdad. Pintunya berjumlah 1500 yang dihiasi besi berlapis emas dan tembaga.[225] Adapun tiangnya sebanyak 4.300 buah, sebagian didatangkan dari Afrika dan sebagian lagi dari Perancis.

Lantainya beralaskan batu-batu marmer yang berwarna-warni dengan formula yang indah. Dinding-dindingnya dilapisi lempeng-lempeng lazuardi keemas-emasan. Di serambi-serambinya terdapat mata air-mata air tawar yang memancar dan tertuang ke kolam-kolam yang terbuat dari marmer putih beraneka bentuk, kemudian bermuara ke sebuah kolam di kamar khalifah. Di bagian tengah kolam ini terdapat angsa emas yang kepalanya tergantung sebutir mutiara, ikan-ikannya beraneka macam dalam jumlah ribuan ekor. Roti-roti yang dilemparkan ke situ sebagai makanan ikan-ikan itu mencapai 12.000 potong setiap hari.[226]

Di istana al-Zahra terdapat majelis bernama Qashrul Khilafah (semacam istana kepresidenan). Langit-langit dan dinding-dindingnya terbuat dari emas dan marmer tebal yang jernih warnaya dan beraneka macam jenis. Di bagian tengahnya terdapat sebuah kolam besar yang penuh dengan air raksa.[227] Di setiap sisi majelis terdapat delapan pintu melengkung yang terbuat dari gading dan kayu yang dihiasi dengan emas dan macam-macam permata yang berdiri tegak di atas lantai marmer berwarna dan kristal jernih. Matahari masuk melalui pintu-pintu itu dan sinarnya jatuh mengenai bagian tengah majelis dan dinding-dindingnya sehingga terpancar dari situ sinar yang sangat menyilaukan.

Al-Nashir jika ingin menakut-nakuti salah seorang anggota majelisnya, dia memberikan isyarat kepada pelayannya agar menggerak-gerakan air raksa di kolam sehingga tampak dalam majelis itu kilauan sinar seperti kilat yang mengiriskan hati. Bahkan setiap orang dalam majelis menghayalkan mereka telah diterbangkan oleh tempat itu selama air raksa bergerak-gerak.

Istana al-Zahra dikelilingi oleh taman-taman hijau dan lapangan yang luas, di samping itu ada tembok besar yang melingkupi bangunan menakjubkan yang memiliki 300 benteng pertahanan. Al-Zahra berisikan rumah kediaman khalifah, para amir dan keluarga. Ruangan-ruangan besar untuk singgasana raja terletak di sebuah tempat yang diberi nama Assathul Mumarrad yang memiliki kubah dan bahan baku emas dan perak tetapi Badhi Mundzir ibn Salid menentang perbuatan khalifah itu dihadapan orang banyak di masjid Cordova, sehingga khalifah membongkarnya dan membangunnya kembali dari bata.

Di dalam al-Zahra terdapat gedung-gedung industri dan peralatan seperti gedung industri  alat-alat perang, gedung industri busana hias, gedung industri seni pahat, seni ukir dan patung dan sebagainya.[228] Istana khalifah pada waktu itu merupakan satu-satunya istana yang paling megah di Eropa, sehingga Cordova dikenal sebagai Baghdad kedua dan kota perhiasan dunia.[229] Orang-orang yang pernah diterima di istana tersebut antara lain ialah utusan-utusan dari kaisar Bizantum, demikian juga dari Raja-raja Jerman, Itali dan Perancis. Kapan saja Raja-raja Leon, Navarre atau Barcelona memerlukan dokter, arsitek, penyanyi dan tukang jahit, maka pasti mereka akan mencari ke Cordova.[230]

Termasuk keistemewaan istana al-Zahra ialah kolam-kolam marmer berukir aneka bentuk, baik yang berlapis emas maupun tidak. Satu di antara kolam-kolam berukir buatan Konstantinopel itu berukir gambar timbul manusia, diletakkan di kamar tidur al-Nashir. Di atas kolam itu dipasang patung-patung buatan Cordova, terbuat dari emas bertatahkan permata yang mahal harganya dan memancarkan air dari masing-masing mulutnya. Patung singa, kucing dan buaya yang ditata sejajar, berhadapan dengan patung ular, rajawali dan gajah. Di kedua samping patung-patung itu diletakkan patung merpati, domba, merak, ayam betina, ayam jantan, rajawali dan burung nasar.[231] Akan tetapi pada pertengahan kedua abad sebelas hanya sebagian kecil saja dari istana ini yang masih tegak, karena para penggantinya tidak mampu memelihara istana yang megah itu.[232]

Al-Nashir juga memperluas masjid Agung Cordova dua kali lebih besar39, sehingga berukuran panjang 57 M dan lebar 30 M, tidak beratap selain pada mihrabnya. Mimbarnya ditampatkan pada ruangan khusus yang berlantai marmer merah muda. Sedangkan di tengah masjid mengalir air yang tidak pernah kering. Pembangunan masjid ini melibatkan 300 orang tukang batu, 200 orang tukang kayu dan 500 orang tukang-tukang lainnya.40

Pembangunan itu diselesaikan hanya dalam waktu 40 hari. Ini sebuah prestasi kilat yang hampir tidak ada bandingannya.41 Tinggi menaranya 40 hasta dengan kubah yang menjulang berdiri di atas batang-batang kayu berukir yang ditopang oleh 1093 tiang yang terbuat dari berbagai macam marmer berbentuk papan catur. Di malam hari masjid itu diterangi dengan 4700 buah lampu yang setiap tahun menghabiskan 24.000 ritl minyak. Di sisi selatan masjid tampak 19 pintu berlapiskan lempeng-lempeng emas. Di sisi sebelah timur dan barat juga tampak 9 buah pintu yang serupa. Menurut sejarawan Barat mihrabnya merupakan fenomena paling indah yang terlihat mata manusia. Tidak ada peninggalan manapun (entah klasik maupun modern) yang melebihi keindahan dan keagungannya.[233]

Kecuali itu al-Nashir juga membangun saluran air yang menembus gunung sepanjang 80 km, karena Wadi al-Kabir yang mengaliri al-Zahra dan Cordova pada musim kemarau airnya tidak mungkin bisa diminum. Penggalian saluran air ini selesai pada tahun 329 H dan dewasa ini bekas bangunan yang bernilai tinggi itu masih bisa disaksikan.[234] Al-Nashir juga telah mendirikan pelabuhan yang disebut dengan Almeria.[235] Dalam periode ini, Andalusia memegang peranan penting sebagai kota kebudayaan di Eropa dan bersama-sama dengan Konstantinopel dan Baghdad merupakan salah satu kota kebudayaan yang terpenting di dunia pada waktu itu. Di malam hari kota ini diterangi dengan lampu-lampu terang untuk memudahkan orang-orang berjalan malam. Bukan hanya di dalam kota, tetapi juga jalan di luar kota diterangi dengan lampu sejauh 16 km. Lorong-lorong sudah dikeraskan dengan koral, jalanan dibebaskan dari sampah dan kotoran, terdapat pula taman-taman yang indah di mana para pendatang dapat santai beristirahat sebelum kembali ke rumahnya. Berpenduduk lebih dari satu juta jiwa  (40 kali lebih banyak dari pada penduduk kota terbesar di belahan Eropa). Di kota ini terdapat 900 kamar mandi umum, 283.000 rumah tinggal, 80.000 buah gedung, 600 buah masjid dan 50 buah rumah sakit.[236]

Kota Cordova menjadi harum semerbak dan banyak dikagumi oleh dunia internasional serta mendapat penghormatan dari tiap-tiap pengunjungnya. Para pengunjung kota itu selalu gembira karena jalan-jalan di sana dibatui dan disinari lampu-lampu rumah sepanjang jalan di waktu malam. Ini semua merupakan hal-hal yang biasa di kota Cordova pada waktu itu, sedangkan di kota London tujuh ratus tahun kemudian, hampir-hampir belum ada sebuah lenterapun yang didapati di jalan-jalan di sana, dan di kota Paris, berabad-abad kemudian dalam musim hujan lumpur tebalnya sampai ke mata kaki bahkan juga sampai teras rumah.[237] Di universitas Oxford, mandi masih dianggap sama artinya dengan kekufuran bahkan di masa itu pendeta-pendeta Kristenpun masih melarang mandi. Tetapi Cordova telah merayakan hasil ciptaan para ilmuan Islam yaitu mandi di kamar mandi yang serba mewah.[238]



BAB V

PENUTUP



A.     Kesimpulan

Dalam sejarah Andalusia, Abd al-Rahman al-Nashir adalah penguasa dinasti Bani Umayyah II yang kedelapan dan merupakan penguasa pertama yang menggunakan gelar khalifah. Dia merupakan penguasa yang paling cakap dan paling besar di antara penguasa Bani Umayyah II di Andalusia. Dia mempunyai kepribadian yang cerdas, tegas, cerdik, administrator, pemberani dan sangat toleran, sehingga berhasil memfusikan semua ras dan negara ke dalam suatu persatuan.

Kebijakan politik yang diterapkan Abd al-Rahman al-Nashir menandai puncak peradaban Bani Umayyah di Andalusia. Dia menjalankan pemerintahannya tidak hanya sekedar mewarisi kekuasaan para pendahulunya saja, namun dia berupaya mempertahankan dan mengembangkan wilayahnya.

Ketika naik tahta dia mewarisi kerajaan dalam keadaan kacau. Dia dihadapkan pada pemberontakan dari dalam negeri, perlawanan yang terus-menerus dari pihak Kristen di bagian utara dan perlawanan dari dinasti Fathimiyyah di Mesir. Walaupun dihadapkan pada rintangan yang besar, dengan administrasi yang dibangunnya dengan baik, dia dapat menyelamatkan Andalusia dari kekacauan di sebelah dalam, dan dengan angkatan laut yang hebat dan tentara yang berdisiplin tinggi, dia berhasil mengalahkan perlawanan dari pihak luar.

Abd al-Rahman tidak hanya mengamankan kerajaan dari berbagai pemberontakan dan perlawanan dari musuh-musuhnya, tetapi dia juga menegakkan kekuasaannya dari sungai Ebro sampai Atlantik, dan dia menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain, diantaranya dengan kerajaan Bizantium, Itali, Jerman dan Perancis. 

Apa yang dilakukan Abd al-Rahman al-Nashir di bidang politik sangat berbeda dengan para pendahulunnya. Dia mengakhiri kebijakan menggunakan gelar amir diganti dengan menggunakan gelar khalifah, sehingga telah mengubah pendapat umum yang dianut ketika itu, bahwa kepemimpinan politik Islam hanya satu, yang pada saat itu adalah khalifah Abbasiyah tidak dapat lagi dipegang secara ketat. Para ulama memberikan legitimasi atas berbilangnya khalifah dengan menyatakan boleh ada beberapa khalifah asalkan dipisahkan oleh laut. Dalam merekrut tentara, Abd al-Rahman al-Nashir lebih memprioritaskan kepada orang-orang Slavia yang disebut juga dengan Saqalibah, hal ini merupakan politik Abd al-Rahman untuk mengurangi pengaruh aristokrasi Arab kuno.

Abd al-Rahman al-Nashir mewarisi perbendaharaan yang kusut, tetapi sebaliknya dia mewariskan kondisi yang sangat berkembang. Seluruh negeri menikmati kemakmuran yang merata. Ilmu pengetahuan, bahasa dan sastra Arab, kehidupan sosial keagamaan, ekonomi, pembangunan kota dan arsitektur pada masanya mengalami perkembangan yang sangat besar. Kemajuan peradaban yang menakjubkan ini merupakan simbol keagungan peradaban Muslim, sehingga Cordova pada saat itu dikenal sebagai pusat intelektual eropa. Orang-orang Eropa Kristen banyak belajar di perguruan tinggi Islam di sana, sehingga Islam menjadi “guru” bagi orang-orang Eropa.



B.     Saran-saran

1.      Seorang pemimpin hendaknya meneladani kebijakan pemimpin sebelumnya untuk bisa diambil suatu pelajaran. Setiap penguasa mempunyai peran dan peranan tersendiri pada zamannya, demikian juga Abd al-Rahman al-Nashir. Di satu sisi, kebijakannya  banyak bernilai positif, namun ada juga yang berakibat negatif. Kebijakannya untuk mengakui penguasa-penguasa non-Muslim sebagai teman, telah berakibat terhentinya perluasan wilayah dan berkurangnya mobilitas orang-orang Islam (Arab dan Berber) ke daerah-daerah tersebut. Kemampuan non-Muslim mempertahankan kedudukan mereka yang otonom dan terpisah terbukti selanjutnya mempunyai efek negatif terhadap eksistensi Islam di Spanyol. Maka dari itu, bagi yang berminat meneliti lebih lanjut mengenai Abd al-Rahman al-Nashir, harus bisa memberikan argumen yamg memperkuat bahwa Abd al-Rahman memang pantas dinilai sebagai penguasa dinasti Bani Umayyah yang paling berjaya.   

2.      Bagi para sejarawan, hendaknya lebih teliti dalam mengkaji sejarah. Mereka perlu dibekali pengetahuan tentang analisis dan kritik sumber yang handal, sehingga tidak melakukan kesalahan dalam generalisasi sejarah.

DAFTAR PUSTAKA





A. Buku dan Jurnal

A. Hasjmy. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan-bintang, 1995

A. Muin Umar. Islam di Spanyol. Yogyakarta: Lembaga Penerbitan IAIN Sunan Kalijaga, 1975

Akbar S. Ahmad. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi. terjemah Munding Ram dan Ramli Yakub, Jakarta: Erlangga, 1992

______. Rekonstruksi Sejarah di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002

Ali, K. A Study of Islamic History. India: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1980

Ali, Syed Amir. A Short History of The Saracens. New Delhi: Kitab Bhavan, 1994

Badri yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Press, 2000

Bosworth, C. E. Dinasti-dinasti Islam. terjemah Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1993

Brice, William C. An Historical Atlas of Islam. Leiden: E. J. Brill, 1981

Brockelmann, Carl. History of The Islamic Peoples. London: Routledge & Kegan Paul LTD, 1959

Donzel, E. Van. Islamic Desk Reference. New York: E. J. Brill, 1994

Dozy, Reinhart. Spanish Islam: A History of The Moslems in Spain. London: Chatto & Windus, 1913

Dudung Abdurrahman. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1993

Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992

______. Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1992

Esposito, John L. The Oxford Encyclopaedia of The Modern Islamic World vol. I. New York: Oxford University Press, 1995

Faisal Ismail. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis. Yogyakarta: Titian Illahi Press, 2003

Fuad Moh. Fachruddin. Perkembangan Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan-Bintang, 1985

Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam Ringkas. Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 1996

Gomez, Emilo Garcia .“Morish Spain, The Golden Age of Cordoba and Granada”. dalam Bernard Lewis (ed). The World of Islam, Faith-people-Culture. London: Thantes and hudson, 1994

Gottschlak, Louis. Mengerti Sejarah. terj. Nugroho Noto Susanto. Jakarta: UI Press, 1986

Grenville, G. S. P. Freeman. Historical Atlas of The Middle of The East. New York: Simon and Schuster, 1993

H. J. Van Den Berg, H. Kroeskamp, I. P. Simanjuntak. Dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia. Jakarta: Groningen, 1952

Hamka. Sejarah Ummat Islam Jilid II. Jakarta: Bulan-Bintang, 1975

Hassan, Hassan Ibrahim. Islamic History and Culture. London: From 630, 1968

Hell, Joseph. The Arab Civilization. Pakistan: Kashmiri Bazar, 1969

Hitti, Philip K. Islam and The West, A Political Cultural Survey. London: D. Van Nostrand Company Inc, 1962

______.                 The Arabs, A Short History. London: Macmilan, 1968.

Hodeson, Marshal G. Agama. The Venture of Islam, Conscience and History In A World Civilization vol. 2. London: The University of Chicago Press, 1974

Holt, P. M. The Cambridge History of Islam, vol. 2. London: At The university Press, 1970

Husayn Ahmad Amin. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1995

Imamuddin, S. M. A Political History of Muslim Spain. Pakistan: Najmah Sons, 1969

Irving, Thomas Ballantine. Rajawali dari Spanyol. terj. A. Niamullah Nuiz dan A. Malik. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990

Jayyusi, Salma Jhudra (ed). The Legacy of Muslim Spain. Leiden: EJJ. Brill, 1994

Khaldun, Ibn. Muqaddimah. terj. Ahmadi Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000

Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1989

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Lapera, 2002

Langer, William. An Encyclopaedia of World History. London : Harrap London, 1972

Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam jilid I&II. terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2000

Lewis, Bernard. Muslim Menemukan Eropa. terj. Ahmad Nizamullah Muiz. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1998

_____ .The Arab In History. London: Harper Colophon Book, 1996

M. Abdul Karim,”Persoalan Agama dalam Perang (Perspektif Historis)”. dalam Thaqafiyyat, Jurnal Bahasa, Peradaban dan  Informasi Islam vol. 4 no. 1. Januari-Juni 2003

M. Solihin Arianto, “Perkembangan Perpustakan Islam Pada Periode Klasik”. dalam Thaqafiyyat, Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam vol. 2 no. 2 Juli-Desember 2001

Mahmudunnasir. Syed, Islam: Its Concepts & History. India: Kitab Bhavan, 1994

Maman A. Malik Sya’roni. Islam di Andalusia, Sejak Penaklukan Sampai Berakhirnya Daulat Bani Umayyah Di Cordova, Diktat Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 1987

______. “Peradaban Islam Pada Masa Bani Umayyah II di Andalusia”. dalam Siti Maryam dkk. (ed). Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: SPI Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga & LESFI, 2003          

Marwati Djoened Poesponegoro. Tokoh dan Peristiwa Dalam Sejarah Eropa Awal Masehi – 1815. Jakarta: UI Press, 1988

Miriam Budiarjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1972

Mories, Hussain. “The Role of Men of Religion In The History of Muslim Spain Up To The End of The Caliphate”. dalam Maribel Fierro and Julio Samso (Editor). The Formation of al-Andalus, Part II. Sydney: Ashgate Variorum, 1998

Mundzirin Yusuf. Sejarah Kebudayaan Islam II, Diktat Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 1990

Mushtafa as-Siba’iy. Kebangkitan Kebudayaan Islam. Alih Bahasa Nabhan Husein. Jakarta: Media Dakwah, 1987

______. Sumbangan Islam Kepada Peradaban Dunia. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1985

Nicholson, R. A. A Lterary History of  The Arabs. India: Adam Publishers & Distributers, 1996

Nourouzzaman Shiddiqi. Tamaddun Muslim, Bunga Rampai Kebudayaan Muslim. Jakarta: Bulan-Bintang, 1986

Osman Raliby. Ibnu Chaldun Tentang Masyarakat dan Negara. Jakarta: Bulan-Bintang, 1965

Qadri, Anwar Ahmad. Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan, dalam Sejarah Pemerintahan Muslam. terj. Eddi S. Hariyadhi. Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafka, 1987

Rahim, A. Islamic History. Delhi: Dahari Bhojia Chitty Qaher, 1992

Rahman, H. U. A Chronology of Islamic History 570-1000 C E. London: Ta-ha Publishers Limited, 1995

S. P. Varma. Teori Politik Modern. Jakarta: Rajawali Press, 1917

Saidun Derari. “Islam Di Spanyol: Sebuah Tinjauan Peradaban” dalam Turas, Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, Agama vol. 9 no. 1 Januari, 2003

Sartono Kartodirjo.  Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992

Saunders, JJ.  A History of Medieval Islam. London: Routledge and Kegan Paul, 1965

Siddiqi, Amir Hasan. Studies In Islamic History, Edisi Indonesia, Alih Gahasa H. M. J. Irawan. Bandung: al-Tha’arif, 1985

Spuler, Bertold. The Muslim World The Age of The Caliphs part I. Netherlands: E. J. Brill, 1968

T. Ibrahim Alfian. “Disiplin Sejarah dalam Merekonstruksi Masa Lampau Untuk Menyongsong Masa Depan”. dalam Lokakarya Nasional Pengajaran Sejarah Arsitektur ke-4, 22-23 April 1999 di Yogyakarta

Taufik Abdullah (ed). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid II. Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1992

Umar Asasuddin Sokah. “Kenapa Islam Lenyap Sama Sekali dari Spanyol?”. dalam al-Jami’ah, Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam  no. 38 tahun 1989

______. “Abdurrahman III dan Sultan Akbar (Suatu Studi Perbandingan)”. dalam al-Jami’ah, Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam no. 44 tahun 1991

Watt, W. Montgomery and Pierre Cachia. A History of Islamic Spain. Edinburgh: Universitry Press, 1992

______.The Influence of Islam on Medievel Europe. terj. Hendro Prasetyo,

Websters New World Encyclopaedia, New York: Prentice Hall General Reference, 1990

_____. Islam dan Peradaban Dunia, Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997

Winarno Surachmad. Dasar dan Tekhnik Research. Bandung: CV. Transito, 1975

Yusuf Musa. Politik dan Negara dalam Islam. Surabaya: al-Ikhlas, 1963

Zainal Abidin Ahmad. Ilmu Politik Islam IV, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang (Perkembangannya dari Zaman Ke Zaman) bag. 2. Jakarta: Bulan-Bintang, 1978



B. Internet

Http.www. Saudi Aramco. The City Of al-Zahra. net.



DAFTAR PUSTAKA





A. Buku dan Jurnal

A. Hasjmy. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan-bintang, 1995

A. Muin Umar. Islam di Spanyol. Yogyakarta: Lembaga Penerbitan IAIN Sunan Kalijaga, 1975

Akbar S. Ahmad. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi. terjemah Munding Ram dan Ramli Yakub, Jakarta: Erlangga, 1992

______. Rekonstruksi Sejarah di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002

Ali, K. A Study of Islamic History. India: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1980

Ali, Syed Amir. A Short History of The Saracens. New Delhi: Kitab Bhavan, 1994

Badri yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Press, 2000

Bosworth, C. E. Dinasti-dinasti Islam. terjemah Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1993

Brice, William C. An Historical Atlas of Islam. Leiden: E. J. Brill, 1981

Brockelmann, Carl. History of The Islamic Peoples. London: Routledge & Kegan Paul LTD, 1959

Donzel, E. Van. Islamic Desk Reference. New York: E. J. Brill, 1994

Dozy, Reinhart. Spanish Islam: A History of The Moslems in Spain. London: Chatto & Windus, 1913

Dudung Abdurrahman. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1993

Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992

______. Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1992

Esposito, John L. The Oxford Encyclopaedia of The Modern Islamic World vol. I. New York: Oxford University Press, 1995

Faisal Ismail. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis. Yogyakarta: Titian Illahi Press, 2003

Fuad Moh. Fachruddin. Perkembangan Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan-Bintang, 1985

Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam Ringkas. Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 1996

Gomez, Emilo Garcia .“Morish Spain, The Golden Age of Cordoba and Granada”. dalam Bernard Lewis (ed). The World of Islam, Faith-people-Culture. London: Thantes and hudson, 1994

Gottschlak, Louis. Mengerti Sejarah. terj. Nugroho Noto Susanto. Jakarta: UI Press, 1986

Grenville, G. S. P. Freeman. Historical Atlas of The Middle of The East. New York: Simon and Schuster, 1993

H. J. Van Den Berg, H. Kroeskamp, I. P. Simanjuntak. Dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia. Jakarta: Groningen, 1952

Hamka. Sejarah Ummat Islam Jilid II. Jakarta: Bulan-Bintang, 1975

Hassan, Hassan Ibrahim. Islamic History and Culture. London: From 630, 1968

Hell, Joseph. The Arab Civilization. Pakistan: Kashmiri Bazar, 1969

Hitti, Philip K. Islam and The West, A Political Cultural Survey. London: D. Van Nostrand Company Inc, 1962

______.                 The Arabs, A Short History. London: Macmilan, 1968.

Hodeson, Marshal G. Agama. The Venture of Islam, Conscience and History In A World Civilization vol. 2. London: The University of Chicago Press, 1974

Holt, P. M. The Cambridge History of Islam, vol. 2. London: At The university Press, 1970

Husayn Ahmad Amin. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1995

Imamuddin, S. M. A Political History of Muslim Spain. Pakistan: Najmah Sons, 1969

Irving, Thomas Ballantine. Rajawali dari Spanyol. terj. A. Niamullah Nuiz dan A. Malik. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990

Jayyusi, Salma Jhudra (ed). The Legacy of Muslim Spain. Leiden: EJJ. Brill, 1994

Khaldun, Ibn. Muqaddimah. terj. Ahmadi Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000

Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1989

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Lapera, 2002

Langer, William. An Encyclopaedia of World History. London : Harrap London, 1972

Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam jilid I&II. terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2000

Lewis, Bernard. Muslim Menemukan Eropa. terj. Ahmad Nizamullah Muiz. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1998

_____ .The Arab In History. London: Harper Colophon Book, 1996

M. Abdul Karim,”Persoalan Agama dalam Perang (Perspektif Historis)”. dalam Thaqafiyyat, Jurnal Bahasa, Peradaban dan  Informasi Islam vol. 4 no. 1. Januari-Juni 2003

M. Solihin Arianto, “Perkembangan Perpustakan Islam Pada Periode Klasik”. dalam Thaqafiyyat, Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam vol. 2 no. 2 Juli-Desember 2001

Mahmudunnasir. Syed, Islam: Its Concepts & History. India: Kitab Bhavan, 1994

Maman A. Malik Sya’roni. Islam di Andalusia, Sejak Penaklukan Sampai Berakhirnya Daulat Bani Umayyah Di Cordova, Diktat Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 1987

______. “Peradaban Islam Pada Masa Bani Umayyah II di Andalusia”. dalam Siti Maryam dkk. (ed). Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: SPI Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga & LESFI, 2003          

Marwati Djoened Poesponegoro. Tokoh dan Peristiwa Dalam Sejarah Eropa Awal Masehi – 1815. Jakarta: UI Press, 1988

Miriam Budiarjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1972

Mories, Hussain. “The Role of Men of Religion In The History of Muslim Spain Up To The End of The Caliphate”. dalam Maribel Fierro and Julio Samso (Editor). The Formation of al-Andalus, Part II. Sydney: Ashgate Variorum, 1998

Mundzirin Yusuf. Sejarah Kebudayaan Islam II, Diktat Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 1990

Mushtafa as-Siba’iy. Kebangkitan Kebudayaan Islam. Alih Bahasa Nabhan Husein. Jakarta: Media Dakwah, 1987

______. Sumbangan Islam Kepada Peradaban Dunia. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1985

Nicholson, R. A. A Lterary History of  The Arabs. India: Adam Publishers & Distributers, 1996

Nourouzzaman Shiddiqi. Tamaddun Muslim, Bunga Rampai Kebudayaan Muslim. Jakarta: Bulan-Bintang, 1986

Osman Raliby. Ibnu Chaldun Tentang Masyarakat dan Negara. Jakarta: Bulan-Bintang, 1965

Qadri, Anwar Ahmad. Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan, dalam Sejarah Pemerintahan Muslam. terj. Eddi S. Hariyadhi. Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafka, 1987

Rahim, A. Islamic History. Delhi: Dahari Bhojia Chitty Qaher, 1992

Rahman, H. U. A Chronology of Islamic History 570-1000 C E. London: Ta-ha Publishers Limited, 1995

S. P. Varma. Teori Politik Modern. Jakarta: Rajawali Press, 1917

Saidun Derari. “Islam Di Spanyol: Sebuah Tinjauan Peradaban” dalam Turas, Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, Agama vol. 9 no. 1 Januari, 2003

Sartono Kartodirjo.  Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992

Saunders, JJ.  A History of Medieval Islam. London: Routledge and Kegan Paul, 1965

Siddiqi, Amir Hasan. Studies In Islamic History, Edisi Indonesia, Alih Gahasa H. M. J. Irawan. Bandung: al-Tha’arif, 1985

Spuler, Bertold. The Muslim World The Age of The Caliphs part I. Netherlands: E. J. Brill, 1968

T. Ibrahim Alfian. “Disiplin Sejarah dalam Merekonstruksi Masa Lampau Untuk Menyongsong Masa Depan”. dalam Lokakarya Nasional Pengajaran Sejarah Arsitektur ke-4, 22-23 April 1999 di Yogyakarta

Taufik Abdullah (ed). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid II. Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1992

Umar Asasuddin Sokah. “Kenapa Islam Lenyap Sama Sekali dari Spanyol?”. dalam al-Jami’ah, Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam  no. 38 tahun 1989

______. “Abdurrahman III dan Sultan Akbar (Suatu Studi Perbandingan)”. dalam al-Jami’ah, Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam no. 44 tahun 1991

Watt, W. Montgomery and Pierre Cachia. A History of Islamic Spain. Edinburgh: Universitry Press, 1992

______.The Influence of Islam on Medievel Europe. terj. Hendro Prasetyo,

Websters New World Encyclopaedia, New York: Prentice Hall General Reference, 1990

_____. Islam dan Peradaban Dunia, Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997

Winarno Surachmad. Dasar dan Tekhnik Research. Bandung: CV. Transito, 1975

Yusuf Musa. Politik dan Negara dalam Islam. Surabaya: al-Ikhlas, 1963

Zainal Abidin Ahmad. Ilmu Politik Islam IV, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang (Perkembangannya dari Zaman Ke Zaman) bag. 2. Jakarta: Bulan-Bintang, 1978



B. Internet

Http.www. Saudi Aramco. The City Of al-Zahra. net.








[1] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta: Titian Illahi Press, 2003), hlm. 216.
[2] Hamka, Sejarah Ummat Islam Jilid II (Jakarta: Bulan-Bintang, 1975), hlm. 134.
[3] Ismail, Paradigma Kebudayaan, hlm. 216-217.
[4] Marwati Djoened Poesponegoro, Tokoh dan Peristiwa dalam Sejarah Eropa Awal Masehi – 1815 (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 2.
[5] Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1992), hlm. 56.
[6] Ada juga pendapat yang mengatakan Abd al-Rahman III naik tahta ketika berusia 23 tahun, namun lebih banyak pendapat yang mengatakan 22 tahun, seperti yang dijelaskan pada bukunya S. M. Imamuddin, A Political History of Muslim Spain (Pakistan: Najmah Sons, 1969), hlm. 134. Dan buku A Short history of The Saracens (New Delhi: Kitab Bhavan, 1994), hlm. 496 yang di tulis oleh Syed Amir Ali.
[7]  K. Ali, A Study of Islamic History (India: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1980), hlm. 317.
[8] Syed Mahmudunnasir, Islam: Its Concepts & History (India: Kitab Bhavan, 1994), hlm. 225-226.
[9] Imamuddin, A Political, hlm. 134.
[10] Mahmudunnasir, Islam: Its Concept, hlm. 226-228.
[11] E. Van Donzel, Islamic Desk Reference (New York: E. J. Brill, 1994), hlm. 9.
[12] Umar ibn Hafsun muncul pada masa Muhammad ibn Abdurrahman II (852-886 M) sebagai lawan berat, demikian pula pada masa Mundzir (886-888 M) dan masa Abdullah (888-912 M). Pada masa penguasa ketiga ini, Umar ibn Hafsun sebagai penguasa defacto di Andalusia. Pada masa Abd al-Rahman III (912-961 M), Umar ibn Hafsun sudah lanjut usia dan mengubah akidahnya dari Islam menjadi Kristen, namanya diganti menjadi Samuel. Tujuannya adalah mendapatkan simpati dari dunia Kristen Eropa, namun bukannya mendapat simpati dari orang-orang Kristen, bahkan anak kandungnyapun tidak ada yang mendukungnya, karena kehidupannya yang tidak konsisten.
[13] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1995), hlm. 134.
[14] Umar Asasuddin Sokah, enapa Islam Lenyap Sama Sekali Dari Spanyol?_, dalam al-Jami’ah, Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam  no. 38 tahun 1989, hlm. 43.
[15] Umar Asasudin Sokah, bdurrahman III dan Sultan Akbar (Suatu Studi Perbandingan)_, dalam al-Jami’ah, Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam no. 44 tahun 1991, hlm. 83.
[16] Reinhart Dozy, Spanish Islam: A History of The Moslems in Spain (London: Chatto & Windus, 1913), hlm. 425.
[17] C. E. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, terjemah Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 34.
[18] Mundzirin Yusuf, Sejarah Kebudayaan Islam II, Diktat Tidak Diterbitkan (Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 1990), hlm. 36.
[19] Hassan Ibrahim Hassan, Islamic History and Culture (London: From 630, 1968), hlm. 210.
[20] Maman A. Malik Sya’roni, Islam di Andalusia, Sejak Penaklukan Sampai Berakhirnya Daulat Bani Umayyah di Cordova, Diktat Tidak Diterbitkan (Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 1987), hlm. 31.
[21] Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1993), hlm. 24.
[22] Akbar S. Ahmad, Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemah Munding Ram dan Ramli Yakub (Jakarta: Erlangga, 1992), hlm. 45.
[23] M. Solihin Arianto, erkembangan Perpustakan Islam Pada Periode Klasik_, dalam Thaqafiyyat, Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam vol. 2 no. 2 Juli-Desember 2001, hlm. 165.
[24] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Rajawali Press, 2000), hlm. 84.
[25] Ali, A Study, hlm. 321.
[26] Maman, Islam di Andalusia, hlm. 40.
[27] Imamuddin, A Political, hlm. 154-155. Lihat juga Amir Ali, A Short History, hlm. 509-510.
[28] Sartono Kartodirjo,  Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 4.
[29] Inu Kencana Syafi’i, Ilmu politik (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 18-19.
[30] Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 17-18.
[31] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1972), hlm. 38-39.            
[32] S. P. Varma, Teori Politik Modern (Jakarta: Rajawali Press, 1917), hlm. 244.
[33] Gottschalk, Mengerti Sejarah, hlm. 32.
[34] Mengenai metode dokumenter ini, lihat T. Ibrahim Alfian, isiplin Sejarah Dalam Merekonstruksi Masa Lampau Untuk Menyongsong Masa Depan_, dalam Lokakarya Nasional Pengajaran Sejarah Arsitektur ke-4, 22-23 April 1999 di Yogyakarta, hlm. 20. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 45.
[35] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Jakarta: Lapera, 2002), hlm. 99.
[36] Dudung, Metode Penelitian, hlm. 64.
[37] Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos, 1995), hlm.5. lihat juga Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah cet. I (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 20.
[38] Maman A. Malik Sya'roni, Islam di Andalusia, Sejak Penaklukan Sampai Berakhirnya Faulah Bani Umayyah II di Cordova, Diktat Tidak Diterbitkan (Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 1987), hlm. 21.
[39] Syed Mahmudunnasir, Islam, Its Concept & History (India: Kitab Bhavan, 1994), hlm. 226.
[40] Maman, Islam di Andalusia, hlm. 29.
[41] Orang-orang Yamaniyah adalah masyarakat Arab yang berasal dari suku-suku Arab Selatan (Yaman), keturunan Kahtan, yang mempunyai sejarah tua dalam pembentukan kerajaan Saba’, dan orang-orang Mudhariyah adalah masyarakat Arab yang berasal dari suku-suku Arab utara (lembah Euphrath), keturunan Mudhar ibn Nizar, yang mempunyai sejarah tua dalam pembentukan kerajaan Hirah.
[42] Umar Asasuddin Sokah,bdurrahman III dan Sultan Akbar (Suatu Studi Perbandingan), dalam al-Jami'ah, Majalah Ilmu Pengetahuan Agma Islam no. 44 tahun 1991, hlm. 80.
[43] Saidun Derari, slam di Spanyol: Sebuah Tinjauan Peradaban dalam Turas, Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, Agama vol 9 no. 1 Januari, 2003, hlm. 42..
[44] William C. Brice, An Historical Atlas of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1981), hlm. Vii.
[45] Syed Mahmudunnasir, Islam: Its Concept & History (India: kitab Bhavan, 1994), hlm. 226-228.
[46] Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru - Van Hoeve, 1993), hlm. 23. 
[47] Carl Brockelmann, History of The Islamic Peoples (London: Routledge & Kegan Paul LTD, 1959), hlm. 185.
[48] Thomas Ballantine Irving, Rajawali dari Spanyol, terj. A. Niamullah Nuiz dan A. Malik (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990), hlm. 23. 
[49] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 1996), hlm. 467.
[50] Asasuddin Sokah, bd al-Rahman III, hlm. 86.
[51] Reinhart Dozy, Spanish Islam: A History of he Moslems In Spain (London: Chatto & Windus, 1913), hlm. 382.
[52] S. M. Imamuddin, A Political History of Moslems In Spain (Pakistan: Najmah Sons, 1969) hlm. 134.
[53] H. U. Rahman, A Chronology of Islamic History 570-1000 C E (London: Ta-ha Publishers Limited, 1995), hlm. 238.
[54] Hussain Mories, he Role of Men of Religion In The History of Muslim Spain Up To The End of The Caliphate, dalam Maribel Fierro and Julio Samso (Editor), The Formation of al-Andalus, Part II (Sydney: Ashgate Variorum, 1998), hlm. 74.
[55] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1995), hlm. 134.
[56] Dozy, Spanish Islam, hlm. 382.
[57] Imamuddin, A Political, hlm. 334.
[58] Marwati Djoened Poesponegoro, Tokoh dan Peristiwa dalam Sejarah Eropa Awal Masehi - 1815 (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 2.
[59] Marshal G. S. Hodeson, The Venture of Islam, Conscience and History In A World Civilization vol. 2 (London: The University of Chicago Press, 1974), hlm. 29.
[60] M. Solihin Arianto,erkembangan Perpustakaan Islam Pada Periode Klasik, dalam Thaqafiyyat, Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam vol. 2 no. 2 Juli-Desember 2001, hlm. 173-174.,
[61] Asasuddin Sokah, bdurrahman III, hlm. 87. 
[62] Philip K. Hitti, Islam and The West, A Political Cultural Survey (London: D. Van Nostrand Company, Inc, 1962), hlm. 67.
[63] Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hlm. 103.
[64] Ibid., hlm. 86.
[65] Asasuddin Sokah,bdurrahman III, hlm. 80.
[66] Derari, slam di Spanyol", hlm. 42.
[67] William C. Brice, An Historical Atlas of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1981), hlm. Vii.
[68] Maman A. Malik Sya'roni, eradaban Islam Pada Masa Bani Umayyah II di Andalusia, dalam Siti Maryam dkk. (ed), Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga & LESFI), hlm. 99.
[69] Imamuddin, A Political, hlm. 168.
[70] Asasuddin Sokah, bdurrahman III, hlm. 81.
[71] Ibid., hlm. 86.
[72] Joseph Hell, The Arab Civilization (Pakistan: Kashmiri Bazar, 1969), hlm. 103.
[73] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003), hlm. 221.
[74] Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1963), hlm. 173.
[75] JJ. Saunders, A History of Medieval Islam (London: Routledge and Kegan Paul, 1965), hlm. 132.
[76] S. M. Imamuddin, A Political History of Muslim Spain (Pakistan: Najmah Sons, 1969), hlm. 334.
[77] W. Montgomery Watt dan Pierre Cachia, A History of Islamic Spain (Edinburgh: University Press), hlm. 58. lihat juga A. Muin Umar, Islam di Spanyol (Yogyakarta: Lembaga Penerbitan IAIN Sunan Kalijga, 1975), hlm. 24.
[78] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jilid I & II, Terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2000), hlm. 584.
[79] Imamuddin, A Political. hlm. 335-336.
[80] Mundzirin Yusuf, Sejarah Kebudayaan Islam II, Diktat Tidak Diterbitkan (Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 1990),  hlm. 38.
[81] Anwar Ahmad Qadri, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan, dalam Sejarah Pemerintahan Muslim, terj. Eddi S. Hariyadhi (Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafka, 1987), hlm. 32.
[82] Ibid., hlm. 33.
[83] Ibid., hlm. 33.
[84] Ibid., hlm. 33-34.
[85] Imamuddin, A Political, hlm. 338.
[86] Ahmad   Qadri, Sebuah Potret, hlm. 34.
[87] Ibid.,  hlm. 35.
[88] Hal ini sudah ada semenjak masa khalifah Ummar ibn Khattab.
[89] Imamuddin, A Political, hlm. 343.
[90] R. A. Nicholson, A Literary History of  The Arabs (India: Adam Publishers & Distributers, 1996), hlm. 411.
[91] Asasuddin Sokah, “Abdurrahman III”, hlm. 87.
[92] Bernard Lewis, Muslim Menemukan Eropa,terj. Ahmad Nizamullah Muiz (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1998), hlm. 181.
[93] Saqalibah merupakan kata majemuk dari bahasa Arab untuk Saqlabi (Slavia). Seperti dalam bahasa Eropa sendiri, istilah Slavia dan Slave (budak) kelihatannya menggabungkan pengertian etnik dengan pengertian sosial. Dalam tulisan para ahli geografi istilah Saqalibah menunjuk pada berbagai suku Slavia di Eropa Tengah dan Timur. Dalam penulisan sejarah Muslim Spanyol, istilah itu menjadi tekhnis yang ditunjukkan kepada budak tukang pukul khalifah Umayyah di Cordova sama dengan mamluk Turki di kekhalifahan timur.
[94] Rahman, A Chronology, hlm. 240.
[95] Asasuddin Sokah, “Abdurrahman III”, hlm. 86.
[96] Bertold Spuler, The Muslim World The Age of The Caliphs, part I (Netherlands: E. J. Brill, 1968), hlm. 107
[97] Mahmudunnasir, Islam: Its Concept, hlm. 226.
[98] Watt, Islam dan Peradaban Dunia, Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan, terj. Hendro Prasetyo (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 4.
[99] Imamuddin, A Political, hlm. 4.
[100] Imamuddin, A Political, hlm. 137.
[101] P. M. Holt, The Cambridge History of Islam, vol. 2 (London: At The university Press, 1970), hlm. 416.
[102] Asasuddin Sokah, “Abdurrahman III”, hlm. 82.
[103] Muin Umar, Islam di Spanyol, hlm. 21.
[104] Orang Islam memanggil Ordono II dengan Urdun atau Radmiri
[105] Dengan harta rampasan yang melimpah itulah Ordono II membangun Katedral yang megah pada ibu kota Leon.
[106] Mahmudunnasir, Islam: Its Concept, hlm. 226.
[107] Asasuddin Sokah,”Abdurrahman III”, hlm. 83.
[108] Muin Umar, Islam di Spanyol, hlm. 21.
[109] Mahmudunnasir, Islam: Its Concept, hlm. 226-227.
[110] Asasuddin Sokah, “Abdurrahman III”, hlm. 83.
[111] Setelah turun tahta dia mendalami keagamaan di gereja Sahagun. Tetapi Alfonso IV meninggalkan gereja dengan satu pasukan maju menuju ibu kota Leon untuk merebut tahtanya kembali, pasukan Alfonso IV berhasil dihancurkan oleh Ramiro II, sedangkan Alfonso IV beserta tiga pangeran pendukungnya berhasil ditawan. Sesuai dengan ketentuan hukum bangsa Visigoth, maka keempat pangeran itu diberikan hukuman mati, tetapi mereka tidak dihukum mati, sebagai gantinya mereka dicukil kedua biji matanya dan diserahkan kembali ke dalam lingkungan gereja. Dengan begitu kerajaan Leon aman kembali.
[112] Sejarawan Kristen menyatakan dalam peperangan ini pasukan Raja Ramiro II yang mendapat kemenangan.
[113] Muin Umar, Islam di Spanyol, hlm. 22.
[114] Asasuddin Sokah, “Abdurrahman III”, hlm. 84.
[115] Syed Amir Ali, A Short History of The Saracens (New Delhi: Kitab Bhavan, 1994), hlm. 505. 
[116] Muin Umar, Islam di Spanyol, hlm. 22.
[117] Asasuddin Sokah, “Abdurrahman III”, hlm. 84-85.
[118] Mahmudunnasir, Islam: Its Concept, hlm. 227.
[119] Imamuddin, A Political, hlm. 146-147.
[120] Asasuddin Sokah, “Kenapa Islam Lenyap Sama Sekali Dari Spanyol”, dalam al-jami'ah, Majalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam no. 38 tahun 1989, hlm. 44.
[121] Asasuddin Sokah, “Abdurrahman III”, hlm. 85.
[122] Ibid., hlm. 80.
[123] Ibid., hlm. 81.
[124] Muin Umar, Islam, hlm. 20.
[125] Imamuddin, A Political, hlm. 136.
[126] Ibid., hlm. 140.
[127] Asasuddin Sokah, “Abdurrahman III”, hlm. 82.
[128] Mahmudunnasir, Islam: Its Concept, hlm. 228.
[129] Muin Umar, Islam di Spanyol, hlm. 20.
[130] Asasuddin Sokah, “Abdurrahman III”, hlm. 85.
[131] Jauhar as-Syakili adalah seorang Yunani Kristen dari Sicilia dan dijuluki al-Rumi dari Sicilia, dia dibawa ke Qairawan sebagai tahanan, karena jasa-jasanya terhadap dinasti Fathimiyyah. dia menduduki posisi penting dalam pemerintahan al-Muiz li-Dinillah.
[132] A. Rahim, Islamic History (Delhi: Dahari Bhojia Chitty Qaher, 1992), hlm. 232. 
[133] Asasudin Sokah, “Abdurrahman III”, hlm. 86.
[134] A Rahim, Islamic History, hlm. 333.
[135] M. Abdul Karim, “Persoalan Agama dalam Perang (Perspektif Historis)”, dalam Thaqafiyyat, Jurnal Bahasa, Peradaban dan  Informasi Islam vol. 4 no. 1. Januari-Juni 2003, hlm. 128-129.
[136] Asasuddin Sokah, “Abd al-Rahman III”, hlm. 81.
[137] Taufik Abdullah (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid II (Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1992), hlm. 114.
[138] Mundzirin Yusuf, Sejarah Kebudayan Islam II, Diktat Tidak Diterbitkan (Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 1990), hlm. 35. lihat juga Anwar Ahmad Qadri, Sebuah Potret, hlm. 30.
[139]  Hassan Ibrahim Hassan, Islamic History and Culture (London: From 630, 1968), hlm. 209.
[140] Imamuddin, A Political, hlm. 152.
[141] Asasuddin Sokah, “Abdurrahman III,” hlm. 84.
[142] Saunders, A History, hlm. 132.
[143] Faisal, Paradigma Kebudayaan, hlm. 219.
[144] Asasuddin Sokah, “Abdurrahman III,” hlm. 84.
[145] Imamuddin, A  poitical, hlm. 153.
[146] Faisal, Paradigma Kebudayaan, hlm. 220.
[147] Mundzirin, Sejarah Kebudayaan, hlm. 36.
[148] Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 31.
[149] John L. Esposito, The Oxford Encyclopaedia of The Modern Islamic World, vol. I (New York: Oxford University Press,1995), hlm. 322.
[150] Imamuddin, A Political, hlm. 154-155.
[151] Maman, “Peradaban Islam”, hlm. 98.
[152] Maman, Islam di Andalusia, hlm. 38.
[153] Ada yang menyebutnya dengan Ibn Syapruth.
[154] Maman, Islam di Andalusia, hlm. 38.
[155] Ibid., hlm. 39.
[156] Maman A. Malik Sya'roni, Islam di Andalusia, Sejak Penaklukkan Sampai Berakhirnya Daulat Bani Umayyah di Cordova, Diktat Tidak Diterbitkan (Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 1987), hlm. 58.
[157] Maman A. Malik Sya'roni, erdaban Islam Pada Masa Bani Umayyah II di Andalusia_, dalam Siti Maryam dkk. (ed), Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga & LESFI, 2003), hlm. 108.
[158] Marwati Djoened Poesponegoro, Tokoh dan Peristiwa dalam Sejarah Eropa Awal Masehi - 1815 (Jakarta: UI Press 1988), hlm. 2. Jika dibandingkan dengan ilmu pengetahuan pada masa Hakam II, maka lebih maju pada masa Hakam II.
[159] Syed Mahmudunnasir, Islam: Its Concept & History (India: Kitab Bhavan, 1994), hlm. 305.
[160] Mustafa as-Siba’iy, Sumbangan Islam Kepada Peradaban Dunia (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1985), hlm. 199.
[161] Ibid., hlm. 110.
[162] Faisal  Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta: Titian Illahi Press, 2003), hlm. 234.
[163] A. Muin Umar, Islam di Spanyol (Yogyakarta: Lembaga Penerbitan IAIN Sunan Kalijaga, 1975), hlm. 27.
[164] William Langer, An Encyclopaedia of World History (London : Harnap London, 1972), hlm. 178.
[165] Muin Umar, Islam di Spanyol, hlm. 46.
[166] Maman _ Perdaban Islam _, hlm 110.
[167] Ibid., hlm. 111.
[168] Faisal, Paradigma Kebudayaan, hlm. 220-221.
[169] Maman, Peradaban Islam, hlm. 112-113.
[170] M. Solihin Arianto, erkembangan Perpustakaan Islam Pada Periode Klasik", dalam Thaqafiyyat, Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam vol. 2 no. 2 Juli-Desember 2001, hlm. 165-166.
[171] Amir Hasan Siddiqi, Studies In Islamic History, Edisi Indonesia, Alih Gahasa H. M. J. Irawan (Bandung: al-Tha’arif, 1985), hlm. 87-88.
[172] M. Solihin Arianto, erkembangan Perpustakaan_, hlm. 174.
[173] Maman, eradaban Islam_, hlm. 105.
[174] Ibid., hlm. 105.
[175] Ibid.,hlm. 105-106.          
[176] Mundzirin Yusuf, Sejarah Kebudayaan Islam II, Diktat Tidak Diterbitkan (yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 1990),  hlm. 47.
[177] Maman, eradaban Islam_, hlm. 106.
[178] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Jilid I & II, terj. Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Pustaka Firdus, 1998), hlm. 585.
[179] Maman, eradaban Islam_, hlm. 106-107.
[180] Ibid., hlm. 108.
[181] Nourouzaman, Tamaddun Muslim, hlm. 80-81.
[182] Ibid., hlm. 98.
[183] Saidun Derari, slam di Spanyol: Sebuah Tinjauan Peradaban_, dalam Turas, Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, Agama vol. 9 no. 1 Januari, 2003, hlm. 42.
[184] G. S. P. Freeman-Grenville, Historical Atlas of The Middle of The East (New York: Simon and Schuster, 1993), hlm. 30. Kultur masyarakat Berber bersifat Badawi, yaitu suka berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat yang lain, mereka adalah orang-orang yang berperangai keras, sehingga sangat cocok untuk diajak berkelana dan berperang. Lihat Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadi Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 413.
[185] Mundzirin, Sejarah Kebudayaan, hlm. 39.
[186] Maman, eradaban Islam_, hlm. 99.
[187] Maman, Islam di Andalusia, hlm. 40.
[188] Ibid., hlm. 41. Musta’ribah banyak mengarang buku-buku dan menciptakan syair-syair Arab, serta mengikuti tradisi bangsa Arab. Mereka mendapat perlindungan hukum dan diwajibkan membayar pajak, sedangkan orang-orang Spanyol yang memeluk agama Islam disebut dengan eranakan_ atau uwalladun_. Sedangkan orang-orang tua mereka yang memeluk agama Islam pada waktu berlangsungnya penaklukan, dikenal dengan  sebutan usalamah_ atau kadang-kadang usalamin_. Itu mempunyai arti rang-orang yang diperlakukan dengan baik_, penduduk pribumi yang memeluk agama Islam. Jadi, jelaslah bahwa sebutan eranakan_ atau uwalladun_ dikenakan kepada orang-orang yang di lahirkan oleh keluarga usalamin_.    
[189] Gelar bangsawan di Andalusia.
[190] Maman, slam di Andalusia_, hlm. 41.
[191] Ahmd Qadri, Sebuah Potret, hlm. 32.
[192] Mahmudunnasir, Islam: Its Concept, hlm. 229.
[193]  W. Montgomery Watt dan Pierre Cachia, Islam dan Peradaban Dunia, Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan (jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 66.
[194] Ibid., hlm. 91-92.
[195] H. U. Rahman, A Chronology of Islamic History 570-1000 C E (London: Ta-ha Publishers Limited, 1995), hlm. 329.
[196] Joseph Hell, The Arab Civiliztion (Pakistan: Kashmiri Bazar, 1969), hlm. 102.
[197] Maman, slam di Andalusia_, hlm. 42.
[198] Asasuddin Sokah, bdurrahman III_, hlm. 86.
[199] Mundzirin, Sejarah Kebudayaan, hlm. 40.
[200] Bernard Lewis, The Arab in history (London: Harper Colophon Book, 1996), hlm. 124-125.
[201] Emilo Garcia Gomez orish Spain, The Golden Age of Cordoba and Granada_, dalam Bernard Lewis (ed), the World of Islam, Faith-people-Culture (London: Thantes and hudson, 1994), hlm. 228.
[202] Nourouzzaman Shiddiqi, Tamaddun Muslim, Bunga Rampai Kebudayaan Muslim (Jakarta: Bulan-Bintang, 1986), hlm. 82.
[203] Imamuddin, A Political, hlm. 135.
[204] Mahmudunnasir, Islam: Its Concept, hlm. 304.
[205] R. A. Nicholson, A Literary History of The Arabs (India: Adam Publishers & Distributers, 996), hlm. 411.
[206] Lewis, The Arab,  hlm. 127.
[207] Nourouzzaman, Tamaddun Muslim, hlm. 79.
[208] Mundzirin, Sejarah Kebudayaan, hlm. 43.
[209] Muin Umar, Islam di Spanyol, hlm. 24-25.
[210] Nourouzzaman, Tamaddun Muslim, hlm. 79.
[211] Mundzirin, Sejarah Kebudayaan, hlm. 42.
[212] Nourouzzaman, Tamaddun Muslim, hlm. 80.
[213] W. Montgomery Watt dan Pierre Cachia, A History of Islamic Spain (Edinburgh: University Press, 1992), hlm. 49.
[214] Muin Umar, Islam di Spanyol, hlm. 25.
[215] Imamuddin, A political, hlm. 157-158.
[216] Watt, A History, hlm. 49.
[217] Mundzirin, Sejarah Kebudayaan, hlm. 43-44.
[218] Maman, eradaban Islam_, hlm. 100.
[219] Websters New World Encyclopaedia (New York: Prentice Hall General Reference, 1990), hlm. 41.
[220] Philiph K. Hitti, The Arabs, A Short History (London: Macmilan, 1968), hlm. 127.
[221] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan-bintang, 1995), hlm. 203.
[222] Mundzirin, Sejarah Kebudayaan, hlm. 41.
[223] Maman, Islam di Andalusia, hlm. 47.
[224] www. Saudi Aramco. The City Of al-Zahra net, 27 April 2004.
[225] Maman, eradaban Islam_, hlm. 105.
[226] Musthafa as-Syiba’iy, Sumbangan Islam Kepada Peradaban Dunia (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1985), hlm. 200.
[227] Ibid., hlm. 200.
[228] Ibid., hlm. 201.
[229] H. J. Van Den Berg, H. Kroeskamp, I. P. Simanjuntak, dari Panggung Peristiwa Sejarah Dunia (Jakarta: Groningen, 1952), hlm. 283.
[230] Muin Umar, Islam di Spanyol, hlm. 22-24.
[231] Maman, Islam di Andalusia, hlm. 48.
[232] Ibid.,  hlm. 47-48.
39 Salma Jhudra Jayyusi (ed), The Legacy of Muslim Spain (Leiden: EJJ. Brill, 1994), hlm. 38.
40 Maman, Islam di Andalusia, hlm. 48.
41 As-Siba’iy, Sumbangan Islam, hlm. 202.
[233] Ibid., hlm. 200.
[234] Maman, Islam di Andalusia, hlm. 48.         
[235] Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam IV, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang (Perkembangannya Dari Zaman Ke Zaman), bag. 2 (Jakarta: Bulan-Bintang, 1978), hlm. 211.
[236] Mushtafa as-Siba’iy, Kebangkitan Kebudayaan Islam, Alih Bahasa Nabhan Husein (Jakarta: Media Dakwah, 1987), hlm. 297-298.
[237] Faisal, Paradigma Kebudayaan, hlm. 235.
[238] Fuad Moh. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan-Bintang, 1985), hlm. 204.

Tags:
PERKEMBANGAN PERADABAN PADA MASA PEMERINTAHAN ABD AL-RAHMAN AL-NASHIR LI-DINILLAH DI ANDALUSIA (912-961 M)

Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net