Rabu, 15 Januari 2014

QIYAS DALAM USHUL FIQH

qiyas
Makalah Ushul Fiqh
“QIYAS”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang Masalah
Pengambilan suatu keputusan hukum dalam Islam bukanlah hal yang mudah, semua harus bersandar pada Al-Quran dan Hadis. Kita ketahui bersama bahwasannya perkembangan tekhnologi dan peradaban manusia telah membuat permasalahan umat juga semakin kompleks. Banyak dari  permasalahan umat memang tidak temaktub dalam Al-Quran  maupun as-Sunnah, itulah yang membuat para ulama berfikir keras dalam pemecahan permasalannya. Namun kita ingat juga bahwasannya Rosulullah pada saat ia mengutus seorang sahabat dan membenarkan penyelesaiannya yang tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah dengan melakukan ijma’ dan qiyas. Maka dalam makalah ini kami mencoba mengupas tentang apa qiyas sebenarnya, mudah-mudahan bermanfaat dan menjawab atas segala pertanyaan.
1.2.       Rumusan Masalah
a.         Apakah pengertian qiyas?
b.        Apakah syarat dan rukun qiyas?
c.         Apa sajakah Jenis/ macam-macam qiyas?
1.3.       Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini tidak lain untuk mengetahui tentang qiyas dan peran pentingnya dalam penyelesaian suatu masalah.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Ada beberapa golongan pendapat. Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yaitu pandangan para mujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat illahiyah yang dibuat syari' sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan Qiyas dan Istinbath hukum.
1.        Al-Ghazali dalam al-Mustahfa
"Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
2.        Qadhi Abu Bakar
“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3.      Ibnu Subki
“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid).”
4.       Abu Zahrah
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘‘illat hukum’.”
5.      Ibnu Qudamah
Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.”
6.      Ibnu al-Hummam
“Samanya suatu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat’  hukumnya. Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi kebiasaan.”
7.       Abu Hasan al-Bashri
“Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu” karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum menurut para mujtahid”.
8.       Al-Human
“Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”
2.2.    Rukun Qiyas
1.        Ashl (pokok)
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat menqiyaskan. Ini bedasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqish alaih (yang dijadikan tempat menqiyaskan), mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau masyabbah bin (tempat menyerupakan).
Menurut sebagian besar ulama fiqih, sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas harus berupa nash, baik nash Al-Qur’an atau hadis atau ijma’. Jadi tidak boleh mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Pembatasan sumber hukum tersebut berdasarkan:
a.         Bahwa nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segala hukum. Sedang sumber hukum lain apapun bentuknya bergantung pada nash tersebut. Dengan demikian nash hukum itu harus dijadikan sebagai dasar bagi bangunan qiyas.
b.         Nash hukum dengan berbagai bentuk dan kemungkinan kandungannya mengandung isyarat adanya ‘‘illat. Dengan menggunakan pemahaman isyarat kita dapat menemukan ‘‘illat.
c.         Sesungguhnya qiyas sendiri berpegang dengan Al-Quran dan hadis.
Sebagian besar ulama menetapkan bolehnya mengqiyaskan sesuatu berdasarkan hukum yang ditetapkan dengan ijma’, sebab sandaran ijma’ adalah nash, meskipun tidak selalu tegas menunjukkan hukum.
2.        Al-Hukm
Al-Hukm adalah hukum ketetapan nash, baik AL-Qur’an maupun hadis, atau ketetapan ijma’ (bagi orang yang menganggapnya sebagai sumber hukum asal) yang hendak ditransfer pada kasus-kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan.
Penetapan hukum asal pada kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan antara keduanya, harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
a.         Harus berupa hukum syara’ yang amaliah.
Qiyas hukum tidak akan terjadi kecuali  pada hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena itulah yang menjadi sasaran atau obyek fiqih Islam, karena kerangka luas.
b.         Harus berupa hukum yang rasional (ma’qulul ma’na)
Hukum rasional ialah suatu hukum yang apat ditangkap sebab dan alasan penetapannya, atau setidak-tidaknya mengandung isyarat akan sebab-sebab itu.
Sebaliknya hukum yang tidak rasional, tidak mampu ditangkap sebab-sebabnya oleh akal, seperti hukum tayamum dan jumlah rakaat sholat. Oleh sebab itu, di sini tidak berlaku hukum qiyas.
3.        Far’u
Far’u Adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya. Al-far’u ialah kasus yang hendak diketahui hukumnya melalui qiyas terhadap hukum asalnya. Al-far’u atau kasus baru itu harus memenuhi dua persyaratan:
a.         Kasus itu belum terdapat nash hukumnya dalam Al-Quran dan Hadis. Sebab, qiyas tidak berlaku pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya. Prinsip qiyas ialah mempertemukan kasus hukm baru yang belum ada nashnya. Oleh sebab itu tidaklah logis menetapkan hukum Qiyas terhadap kasus hukum yang sudah ada nashnya.
b.        ‘illat hukum itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya dengan ‘‘illat hukum asal. Apabila ‘‘illat dilarangnya meminum minuman khamer itu ‘memabukkan’ maka setiap minuman atau makanan yang memabukkan sama hukumnya dengan khomer, yaitu haram. Sebaliknya apabila makanan atau minuman itu tidak memabukkan, misalnya sekedar membuat orang pusing, baik karena faktor orang yang meminum atau faktor makanan atau minuman yang bersifat sementara selama tidak memabukkan, maka makanan atau minuman tersebut tidak haram, seperti khomer. Alasannya : tidak adanya kesamaan ‘illat. Makanan dan minuman jenis ini memanglah tidak memabukkan, berbeda dengan khomer yang mempunyai sifat yang memabukkan.
4.         ‘Illat
‘Illat adalah pokok yang menjadi landasan qiyas. Imam Fahrul Islam al-Bazdawi telah menegaskan bahwa ‘‘illat merupakan rukun qiyas dan landasan dari bangunan qiyas. Sebagian ulama mendefinisikan ‘illat sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Orang yang mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas. Kami berpendapat, dalam memandang ‘illat, para ulama terbagi menjadi tiga golongan:
a.         Golongan yang pertama (mazhab Hanafiah dan Jumhur) berpendapat bahwa nash-nash hukum pasti memiliki ‘illat. Selanjutnya mereka mengatakan :”sesungguhnya sumber hukum asal adalah  ‘illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
b.         Golongan kedu beranggapan sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
c.         Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang menganggap tidak adanya ‘illat hukum.
Lima syarat yang mensyahkan ‘illat manjadi dasar qiyas ialah sebagai berikut:
a.         ‘illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang menentukan.
b.         ‘illat harus kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif.
c.         Harus ada kolerasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi ‘illat.
d.        Sifat-sifat yang menjadi ‘illat yang kemudian  melahirkan qiyas harus berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu.
e.         Syarat yang terakhir bahwa sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil.
2.3.    Macam-macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya ‘illah yang ada pada ashal dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi 3 yaitu:
1.        Qiyas aula
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibbkan adanya hukum. Dan antara hukum asal dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang memiliki hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17): 23
Artinya: Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia
Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan “ah”, “busyet” dan sebagainya hukumnya lebih utama.
2.        Qiyas Musaway
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada al-ashlu maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman allah Surah an-Nisa’ (4):10.

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.
3.        Qiyas Adna
Yang dimaksud dengan qiyas ini yaitu adanya hukum al-far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini ‘illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar.
4.        Qiyas Dalalah
Yaitu ‘illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak diwajibkan furu’ seperti mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah sampai senisab, tetapi bagi anak-anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiyaskan pada haji tidak wajib bagi anak-anak.
5.        Qiyas Syabah
Adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan diantara kedua pangkal kemana yang paling banyak menyamai. Seperti budak yang di bunuh mati, dapat diqiyaskan dengan orang yang merdeka karena sama-sama keturunan adam.
BAB III
PENUTUP
3.1.    Kesimpulan
1.        Pendapat yang mengatakan bahwa qiyas tidaklah bersandarkan atas nash maupun hadist tidaklah benar. Karena sesuatu yang diqiyaskan melihat kembali pada permasalahan yang diselesaikan melalui nash.
2.        Qiyas sangatlah penting dalam kehidupan sekarang ini, dilihat dari perkembangan permasalahan ummat yang kian berkembang.
3.2.    Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan di sana- sini. Karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan karya-karya selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Bakry,Nazar . Fiqih dan Ushul Fiqih. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada). 1994.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia). 1998.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih. ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu). 1997
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang). 1978
Uman, Chaerul dkk. Ushul Fiqih 1.(Bandung: Pustaka setia). 2000
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net