Rabu, 15 Januari 2014

RUKUN DAN SYARAT NIKAH

syarat nikah
RUKUN DAN SYARAT NIKAH


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar  Belakang
Dengan  melihat apa-apa yang telah terjadi didalam kehidupan masyarakat, baik langsung ataupun tak langsung. Tentunya masih banyak terdapat persoalan-persoalan yang menjadi pertanyaan didalam kehidupan bermasyarakat. Persoalan itulah yang menjadi inspirasi penulis untuk membuat sebuah makalah yang berjudul rukun dan syarat pernikahan.
Adapun pernikahan itu sendiri adalah salah satu asas pokok yang paling utama dalam pergaulan atau menjadi masyarakat yang sempurna pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk mencapai pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Namun, untuk menuju suatu jenjang pernikahan tentunya memilki banyak kendala atau hal-hal yang perlu diperhatikan serta harus dilaksanakan seperti memenuhi criteria dalam menuju sebuah pernikahan. Salah satunya, harus melaksanakan rukun dan syarat pernikahan yang telah ditentukan.
Adapun rukun dan syarat pernikahan itu, nanti akan dibahas oleh penulis dalam bab pembahasan. Demikianlah alasan penulis untuk mengangkat rukun dan syarat pernikahan sebagai pokok permasalahan dalam makalah ini.
1.2.       Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulis dalam pembuatan tugas  ini, yaitu : Untuk memenuhi kewajiban penulis terhadap dosen yang bersangkutan, dan untuk menambah wawasan penulis mengenai munakahat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    Pengertian Munakahat ( Pernikahan )
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut istilah  nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat  Islam.  Menurut U U  No : 1 tahun 1974,  Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan untuk menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.
Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه البخارى و مسلم)
Artinya :”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj (kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim)
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut


2.2.    Rukun Nikah 
Rukun nikah adalah sebagai berikut:
a.         Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
b.        Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
c.         Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.” Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an.
Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
 فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
d.        Wali, wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
Dalam hadits disebutkan:  
إِلاَّ بِوَلِيٍّ لاَ نِكَاحَ
Ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i)
Seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud)
Karena keberadaan wali nikah merupakan rukun, maka harus dipenuhi beberapa syarat. Dalam pasal 20 KHI ayat (1) dirumuskan sebagai berikut: “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh”.
Wali nikah ada dua macam yaitu:
1.         Wali Nasab
Adalah wali yang hak perwalianya didasarkan karena adanya hubungan darah. Baik orang tua kandung, dan bisa juga wali aqrob dan ab’ad.
2.         Wali Hakim
Adalah wali yang hak perwalianya timbul, karena orang tua mempelai perempuan menolak (‘adhal) atau tidak ada, atau karena sebab lain.
e.         Dua orang saksi Saksi adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ (رواه الطبراني، وهو في صحيح الجامع 7558)
Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i)
2.3.       Syarat Nikah
a.         Syarat calon pengantin pria sebagai berikut :
1.         Beragama Islam
2.         Terang prianya (bukan banci)
3.         Tidak dipaksa
4.         Tidak beristri empat orang
5.         Bukan Mahram bakal istri
6.         Tidak mempunyai istri dalam yang haram dimadu dengan bakal isteri
7.         Mengetahui bakal istri tidak haram dinikahinya
8.         Tidak sedang dalam ihram atau umrah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
Yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim)
b.        Syarat calon pengantin wanita sebagai berikut :
1.         Beragama Islam
2.         Terang wanitanya (bukan banci)
3.         Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
    لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458) Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya
tanpa seizinnya.
Nabi  صلى الله عليه وسلم  juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika ia telah digauli maka ia berhak mendapatkan mahar, karena lelaki itu telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Daud no. 1783, Tirmdizi no. 1021 dan Ibnu Majah no. 1869 Maktabah Syamilah)
4.         Tidak bersuami dan tidak dalam iddah
5.         Bukan mahram bakal suami
6.         Belum pernah dili'an ( sumpah li'an) oleh bakal suami.
7.         Terang orangnya
8.         Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
c.         Syarat wali sebagai berikut :
1.         Beragama Islam
2.         Baligh
3.         Berakal
4.         Tidak dipaksa
5.         Terang lelakinya
6.         Adil ( bukan fasik )
7.         Tidak sedang ihram haji atau umrah
8.         Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (mahjur bissafah)
9.         Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.
d.        Syarat saksi
1.         Beragama Islam
2.         Laki-laki
3.         Baligh
4.         Berakal
5.         Adil
6.         Mendengar {tidak tuli}
7.         Melihat (tidak buta)
8.         Bisa bercakap-cakap (tidak bisu)
9.         Tidak pelupa ( mughhaffal)
10.     Menjaga harga diri ( menjaga muru'ah)
11.     Mengerti maksud ijab dan qobul
12.     Tidak merangkap menjadi wali
e.         Ijab dan Qabul Ijab dan qabul harus berbentuk dari asal kata "inkah" atau "tazwij" atau terjemahan dari kedua asal kata tersebut yang dalam bahasa Indonesia berarti "Menikahkan". Contoh :
1.         Ijab dari wali calon mempelai perempuan : Hai Wulan bin, saya nikahkan fulanah, anak saya dengan engkau, dengan ;mas kawin (mahar).
2.         kabul dari calon mempelai pria ; saya terima nikahnya fatimah binti........ dengan maskawin (mahar)............



BAB III
PENUTUP
3.1.    Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, yang telah kami bahas. Maka kami mengambil kesimpulan, yaitu sebagai berikut :
1.      Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.
2.        Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3.2.    Saran
Sebagai penutup dari makalah ini, tak luput pula kami ucapkan ribuan terima kasih pada semua rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam pembuatan makalah  ini. Di samping itu, masih banyak kekurangan serta jauh dari kata kesempurnaan,  tetapi  kami semua telah berusaha semaksimal munkin dalam pembutan makalah yang amat sederhana ini. Maka, dari pada itu . kami semua sangat berharap kepada semua rekan-rekan untuk memberi kritik atau sarannya, sehingga dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa menjadi yang lebih baik.
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net