• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Tampilkan postingan dengan label HUKUM ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HUKUM ISLAM. Tampilkan semua postingan
Selasa, 17 Mei 2022
no image

Perbedaan Puasa Terus Menerus antara Puasa Wishal dan Puasa Dahr


Pada kesempatan kali ini, kita akan mengkaji perbedaan antara puasa wishal dan puasa dahr. 

Kedua model puasa ini hampir sama, yakni puasa yang dilakukan secara terus-menerus, namun ada juga perbedaan antara kedua model puasa ini. 

Secara istilah Puasa dahr biasanya disebut dengan puasa terus-menerus yang dilakukan sepanjang tahun atau sepanjang masa tiada henti, kecuali pada hari yang dilarang berpuasa, seperti 2 hari raya dan 3 hari tasyriq. Imam Al-Baihaqi meriwayatkan,

عن عروة أن عائشة رضي الله عنها: كانت تصوم الدهر في السفر والحضر. رواه البيهقي

Dari Urwah bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha berpuasa tahunan, baik ketika bepergian maupun ketika di rumah. (HR. Al-Baihaqi)

Imam Muslim sebagaimana di riwayatkan dari Sayyidatina Aisyah,

أن حمزة الأسلمي رضي الله عنه، سأل النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إني رجل أسرد الصوم، أفأصوم في السفر؟ فقال:” صم إن شئت وأفطر إن شئت. “

Bahwa Hamzah Al-Aslami radhiyallu ‘anhu bertanya kepada Nabi SAW. dia berkata, “Rasulullah, saya adalah lelaki yang kuat berpuasa setiap hari. Apakah saya boleh berpuasa sunnah ketika dalam perjalanan?” Rasulullah SAW berkata, “Berpuasalah kalau mau, dan berbukalah kalau mau.” (HR. Muslim).

Sedangkan Puasa wishal juga dilakukan secara terus menerus selama beberapa hari dengan menyambung puasa selama dua hari secara berturut-turut. Puasa wishal ini tidak berbuka ketika pada hari pertama dan baru buka puasa pada hari kedua. Puasa wishal adalah kegiatan menyambung puasa secara terus menerus tanpa makan dan minum pada waktu buka puasa. dikatakan wishal apabila dikerjakan minimal dua hari. Bisa juga tiga hari atau empat hari bahkan lebih lama. Jadi puasa wishal ini puasa selama 24 jam penuh dan diteruskan pada hari berikutnya tanpa buka sama sekali, dan berbuka ketika di waktu sahur. atau ada juga yang melakukan puasa sampai 3 hari tanpa buka sama sekali.

لاَ تُوَاصِلُوا ، فَأَيُّكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحَرِ

"Barangsiapa yang ingin menyambung puasa maka hendaklah dia menyambung puasa sampai sahur saja." - [Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Shaum. Bab Wishal (menyambung puasa) sampai sahur 19670)].

Adapun perbedaan di antara keduanya, adalah kalau puasa dahr ini puasa yang di mulai sejak terbitnya fajar dan di akhiri dengan terbenamnya matahari. Jadi berlaku sahur dan berbuka sebagaimana yang ditentukan. Sedangkan kalau puasa wishal tidak mengenal berbuka sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, bahkan puasa wishal ada yang sampai 3 hari dan 3 malam puasa tanpa sahur dan buka.

Demikianlah perbedaan di antara kedua model puasa ini, semoga dapat membedakan antara keduanya, agar kita tidak salah paham terkait masalah puasa secara terus-menerus


no image

Dasar Dalil Hukum Puasa Dahr

 

Dalam tradisi pesantren, terdapat sebuah puasa seperti kita kenal dengan sebutan nama “puasa dalail”, namun ada sedikit perbedaan antara puasa dalail dengan puasa dahr ini. Biasanya puasa dalalil ini hanya dilakukan selama 1 sampai 3 tahun saja, sedangkan puasa dahr dilakukan sepanjang masa, tanpa batas waktu. Jadi Puasa dahr adalah puasa yang di lakukan sepanjang tahun atau sepanjang masa terus menerus tiada henti.

Dalam pandangan umum masyarakat awam, biasanya kaum muslim hanya mengenal beberapa macam puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis, puasa dawud, asyura’, tasu’a, tarwiyah dan lainnya. Namun jarang sekali diketahui ada juga anjuran puasa setiap hari. Puasa tiap hari berturut-turut dikenal dengan istilah shaum dahr atau shaumul abad.

Puasa Dahr yang dilakukan setiap hari ini hukumnya boleh dilakukan asalkan tidak pada hari-hari yang dilarang puasa seperti saat Idul Fitri, Idul Adha, dan tiga Hari Tasyriq. Puasa setiap hari secara berturut-turut ini sangat dianjurkan oleh para ulama, kecuali pada hari terlarang menurut Syara’. Adapun hari yg diharamkan puasa seperti 2 hari raya dan 3 hari Tasyriq. Jadi dalam setahun ada 5 hari yang diharamkan puasa.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum puasa dahr ini, sebagian pendapat yang memperbolehkan puasa dahr ini yaitu dengan syarat, selama kuat puasa setiap hari dan tidak menyebabkan terbengkalainya kewajiban-kewajibannya, selain itu tidak pula mendatangkan bahaya pada diri pelakunya.

Dasar hukum puasa dahr ini mengacu pada sebuah hadis riwayat Imam Al-Baihaqi,

عن أبي مالك الأشعري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” إن في الجنة غرفة يرى ظاهرها من باطنها، وباطنها من ظاهرها، أعدها الله لمن ألان الكلام وأطعم الطعام وتابع الصيام وصلى بالليل والناس نيام

Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh, di surga terdapat ruangan yang bagian luarnya bisa dilihat dari dalam, dan bagian dalam bisa dilihat dari luar. Allah menyiapkannya untuk orang yang mau melembutkan pembicaraan, berbagi makanan, berturut-turut puasa, dan shalat di malam hari sedang manusia masih tertidur. (HR. Al-Baihaqi).

Para ulama menjelaskan bahwa status sanad hadis ini adalah hasan.

Para sahabat mengamalkan puasa dahr di antaranya adalah Sayyidah Aisyah, Umar bin Al-Khatthab, Abdullah bin Umar, Abu Thalhah Al-Anshari, Abu Umamah dan istrinya, dan lainnya. Dari golongan tabiin yang diriwayatkan tekun melakukan puasa ini adalah Sa’id bin Musayyib, Abu Amr bin Hammas, Sa’id bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf Al-Tabi’I, dan Aswad bin Yazid.

Imam Al-Baihaqi meriwayatkan,

عن عروة أن عائشة رضي الله عنها: كانت تصوم الدهر في السفر والحضر. رواه البيهقي

Dari Urwah bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha berpuasa tahunan, baik ketika bepergian maupun ketika di rumah. (HR. Al-Baihaqi)

Imam An-Nawawi mengatakan, hadis ini isnadnya shahih. Imam Al-Bukhari meriwayatkan,

وعن أنس قال: كان أبو طلحة لا يصوم على عهد النبي صلى الله عليه وسلم من أجل الغزو، فلما قبض النبي صلى الله عليه وسلم لم أره مفطرًا إلا يوم الفطر أو الأضحى. رواه البخاري.

Dari Anas yang berkata, “Abu Thalhah tidak pernah berpuasa Sunnah pada masa hidupnya Nabi SAW. karena mengikuti peperangan. Ketika Rasulullah SAW wafat, saya belum pernah melihatnya berbuka kecuali hari Idul Fitri atau Idul Adha (HR. Al-Bukhari).

Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah,

أن حمزة الأسلمي رضي الله عنه، سأل النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إني رجل أسرد الصوم، أفأصوم في السفر؟ فقال:” صم إن شئت وأفطر إن شئت. “

Bahwa Hamzah Al-Aslami radhiyallu ‘anhu bertanya kepada Nabi SAW. dia berkata, “Rasulullah, saya adalah lelaki yang kuat berpuasa setiap hari. Apakah saya boleh berpuasa sunnah ketika dalam perjalanan?” Rasulullah SAW berkata, “Berpuasalah kalau mau, dan berbukalah kalau mau.” (HR. Muslim).

Demikianlah penjelasan singkat tentang dasar hukum puasa dahr. Semoga kita menjadi salah satu orang yang diberi anugerah dapat mengamalkan anjuran ini. Saran penulis sebelum menjalankan puasa dahr ini, hendaklah niat di hati di tata hanya untuk mengharapkan Ridha Allah semata, jangan ada niat lainnya, apalagi niat tercela seperti mencari kesaktian atau segala unsur keduniawian.

Rabu, 15 Januari 2014
no image

Makanan Haram dan Makanan Halal

halal
MAKANAN HALAL DAN MAKANAN HARAM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang muslim yang ingin mendekatkan diri, atau setidaknya berusaha untuk taat kepada Allah Sang Maha Pencipta, tentulah kita harus menjalankan ibadah kepada Allah, baik itu yang wajib maupun yang sunnah agar Allah ridho kepada kita. Namun ada hal lain yang tak boleh kita abaikan dalam usaha memperoleh ridho Allah, yaitu makanan.
Apabila makanan kita terjaga dari makanan yang diharamkan Allah, atau dengan kata lain kita hanya makan makanan yang dihalalkan Allah, niscaya ridho Allah itu tidak mustahil kita peroleh jika kita taat kepada-Nya. Tetapi sebaliknya, meskipun kita taat, namun kita makan dari makanan yang haram yang bukan karena terpaksa, maka akan sia-sialah usaha kita.
Untuk itu dalam makalah ini kami mencoba mengupas masalah makanan yang halal dan yang haram.
1.2.       Rumusan Masalah
a.         Apa pengertian makanan halal dan makanan haram ?
b.        Bagaimana perintah Allah tentang makanan ?
c.         Apa manfaat makanan halal ?
d.        Dan apa pula mudharat makanan haram ?
1.3.       Tujuan Penulisan
Untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan makanan yang halal maupun yang haram.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    Pengertian Makanan Halal dan Makanan Haram
a.        Makanan Yang Dihalalkan Allah SWT.
Segala jenis makanan apa saja yang ada di dunia halal untuk dimakan kecuali ada  larangan  dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW untuk dimakan. Agama Islam  menganjurkan kepada pemeluknya untuk memakan makanan yang halal dan baik.  Makanan “halal” maksudnya makanan yang diperoleh dari usaha yang diridhai Allah.  Sedangkan makanan yang baik adalah yang bermanfaat bagi tubuh, atau makanan bergizi.
Makanan yang enak dan lezat belum tentu baik untuk tubuh, dan boleh jadi makanan  tersebut berbahaya bagi kesehatan. Selanjutnya makanan yang tidak halal bisa mengganggu  kesehatan rohani. Daging yang tumbuh dari makanan haram, akan dibakar di hari kiamat  dengan api neraka.
Makanan halal dari segi jenis ada tiga :
1.         Berupa hewan yang ada di darat maupun  di laut, seperti kelinci, ayam, kambing, sapi, burung, ikan.
2.         Berupa nabati (tumbuhan)  seperti padi, buah-buahan, sayur-sayuran dan lain-lain.
3.         Berupa hasil bumi yang lain  seperti garam semua.
Makanan yang halal dari usaha yang diperolehnya, yaitu :
1.         Halal makanan yang diperoleh dari usaha yang lain seperti bekerja sebagai buruh, petani, pegawai, tukang, sopir, dll.
2.         Halal makanan dari mengemis yang diberikan secara ikhlas, namun pekerjaan itu halal , tetapi dibenci Allah seperti pengamen.
3.         Halal makanan dari hasil sedekah, zakat, infak, hadiah, tasyakuran, walimah, warisan, wasiat, dll.
4.         Halal makanan dari rampasan perang yaitu makanan yang didapat dalam peperangan (ghoniyah).
b.        Makanan yang Diharamkan Allah SWT.
Makanan yang diharamkan agama, yaitu makanan dan minuman yang diharamkan  di dalam Al Qur’an dan Al Hadist, bila tidak terdapat petunjuk yang melarang, berarti halal.
Haramnya makanan secara garis besar dapat dibagi dua macam :
1.         Haram ini, ditinjau dari sifat benda seperti daging babi, darang, dan bangkai. Haram karena sifat tersebut, ada tiga :
a)        Berupa hewani yaitu haramnya suatu makanan yang berasal dari hewan seperti daging babi, anjing, ulat, buaya, darah hewan itu, nanah dll.
b)        Berupa nabati (tumbuhan), yaitu haramnya suatu makanan yang berasal dari tumbuhan seperti kecubung, ganja, buah, serta daun beracun. Minuman buah aren, candu, morfin, air tape yang telah bertuak berasalkan ubi, anggur yang menjadi tuak dan jenis lainnya yang dimakan banyak kerugiannya.
c)        Benda yang berasal dari perut bumi, apabila dimakan orang tersebut, akan mati atau membahayakan dirinya, seperti timah, gas bumi. Solar, bensin, minyak tanah, dan lainnya.
2.         Haram sababi, ditinjau dari hasil usaha yang tidak dihalalkan olah agama. Haram sababi banyak macamnya, yaitu :
a)        Makanan haram yang diperoleh dari usaha dengan cara dhalim, seperti mencuri, korupsi, menipu, merampok, dll.
b)        Makanan haram yang diperoleh dari hasil judi, undian harapan, taruhan, menang togel, dll.
c)        Hasil haram karena menjual makanan dan minuman haram seperti daging babi, , miras, kemudian dibelikan makanan dan minuman.
d)       Hasil haram karena telah membungakan dengan riba, yaitu menggandakan uang.
e)        Hasil memakan harta anak yatim dengan boros / tidak benar.
2.2.    Ayat Al-Qur’an Tentang Makanan Halal dan Makanan Haram
a.        Tentang Makanan Halal
1.         Surat Al-Baqarah ayat 57:
Artinya: “Dan kami naungi kamu dengan awan, dan kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa". makanlah dari makanan yang baik-baik yang Telah kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
2.         Surat An-Nahl ayat 114:
Artinya; “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu Hanya kepada-Nya saja menyembah.”
b.        Tentang Makanan Haram
1.         Surat Al-Baqarah ayat 173:
Artinya: “Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2.         Surat Al-Baqarah ayat 219:

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,”
2.3.       Manfaat Makanan Halal
Makanan yang halalan thoyyibah atau halal dan baik serta bergizi tentu sangat berguna bagi kita, baik untuk kebutuhan jasmani dan rohani.. Hasil dari makanan minuman yang halal sangat membawa berkah, barakah bukan berarti jumlahnya banyak, meskipun sedikit, namun uang itu cukup untuk mencukupi kebutuhan sahari-hari dan juga bergizi tinggi. Bermanfaat bagi pertumbuhan tubuh dan perkembangan otak. Lain halnya dengan hasil dan jenis barang yang memang haram, meskipun banyak sekali, tapi tidak barokah, maka Allah menyulitkan baginya rahmat sehingga uangnnya terbuang banyak hingga habis dalam waktu singkat.
Diantara beberapa manfaat menggunakan makanan dan minuman halal, yaitu :
a.         Membawa ketenangan hidup dalam kegiatan sehari-hari,
b.        Dapat menjaga kesehatan jasmani dan rohani,
c.         Mendapat perlindungan dari Allah SWT.
d.        Mendapatkan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT,
e.         Tercermin kepribadian yang jujur dalam hidupnya dan sikap apa adanya,
f.         Rezeki yang diperolehnya membawa barokah dunia akhirat.
2.4.       Mudharat Makanan Haram
Makanan dan minuman haram, selain dilarang oleh Allah, juga mengandung lebih  banyak mudharat (kejelekan) daripada kebaikannya. Hasil haram meskipun banyak, namun  tidak barokah atau cepat habis dibandingkan yang halal dan barokah.
Dan juga makan haram merugikan orang lain yang tidak mengetahui hasil dari perbuatan haram itu. Sehingga teman, kerabat iktu terkena getahnya. Dan juga yang mencari rezeki haram tidak tenang dalam hidupnya apalagi dalam jumlah bayak dan besar karena takut diketahui dan mencemarkan nama baiknya dan keluarga sanak familinya.
Ada beberapa mudlarat lainnya, yaitu :
a.         Doa yang dilakukan oleh pengkonsumsi makanan dan minuman haram, tidak mustajabah (maqbul).
b.        Uangnya banyak, namun tidak barokah, diakibatkan karena syetan mengarahkannya kepada kemaksiatan dengan uang itu.
c.         Rezeki yang haram tidak barokah dan hidupnnya tidak tenang.
d.        Nama baik, kepercayan, dan martabatnya jatuh bila ketahuan.
e.         Berdosa, karena telah melanggar aturan Allah.
f.         Merusak secara jasmani dan rohani kita.
BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Segala jenis makanan apa saja yang ada di dunia halal untuk dimakan sampai ada dalil yang melarangnya. Makanan yang enak dan lezat belum tentu baik untuk tubuh, dan boleh jadi makanan  tersebut berbahaya bagi kesehatan. Selanjutnya makanan yang tidak halal bisa mengganggu  kesehatan rohani. Daging yang tumbuh dari makanan haram, akan dibakar di hari kiamat  dengan api neraka.
Ada banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang makanan halal dan makanan haram, namun tentu saja tidak dapat kami tampilkan semua, di antaranya sebagaimana yang telah kami uraian dalam pembahasan di atas.
Makanan yang halalan thoyyibah atau halal dan baik serta bergizi tentu sangat berguna bagi kita, baik untuk kebutuhan jasmani dan rohani.. Hasil dari makanan minuman yang halal sangat membawa berkah, barakah meskipun jumlahnya sedikit. Makanan dan minuman haram, selain dilarang oleh Allah, juga mengandung lebih  banyak mudharat (kejelekan) daripada kebaikannya. Hasil haram meskipun banyak, namun  tidak barokah atau cepat habis dibandingkan yang halal dan barokah.
3.2.       Kritik dan Saran
Kami menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, namun kami berharap makalah ini tetap dapat memberikan manfaat meskipun sedikit. Selain itu kami juga berharap pembaca berkenan memberikan masukan bbaik berupa kritik maupun saran.
DAFTAR PUSTAKA
Thobib Al-Asyhar. 2003. Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Rohani. Jakarat: Al-Mawadi Prima
no image

QIYAS DALAM USHUL FIQH

qiyas
Makalah Ushul Fiqh
“QIYAS”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang Masalah
Pengambilan suatu keputusan hukum dalam Islam bukanlah hal yang mudah, semua harus bersandar pada Al-Quran dan Hadis. Kita ketahui bersama bahwasannya perkembangan tekhnologi dan peradaban manusia telah membuat permasalahan umat juga semakin kompleks. Banyak dari  permasalahan umat memang tidak temaktub dalam Al-Quran  maupun as-Sunnah, itulah yang membuat para ulama berfikir keras dalam pemecahan permasalannya. Namun kita ingat juga bahwasannya Rosulullah pada saat ia mengutus seorang sahabat dan membenarkan penyelesaiannya yang tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah dengan melakukan ijma’ dan qiyas. Maka dalam makalah ini kami mencoba mengupas tentang apa qiyas sebenarnya, mudah-mudahan bermanfaat dan menjawab atas segala pertanyaan.
1.2.       Rumusan Masalah
a.         Apakah pengertian qiyas?
b.        Apakah syarat dan rukun qiyas?
c.         Apa sajakah Jenis/ macam-macam qiyas?
1.3.       Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini tidak lain untuk mengetahui tentang qiyas dan peran pentingnya dalam penyelesaian suatu masalah.






BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Ada beberapa golongan pendapat. Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yaitu pandangan para mujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat illahiyah yang dibuat syari' sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan Qiyas dan Istinbath hukum.
1.        Al-Ghazali dalam al-Mustahfa
"Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
2.        Qadhi Abu Bakar
“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
3.      Ibnu Subki
“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid).”
4.       Abu Zahrah
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘‘illat hukum’.”
5.      Ibnu Qudamah
Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.”
6.      Ibnu al-Hummam
“Samanya suatu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘illat’  hukumnya. Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi kebiasaan.”
7.       Abu Hasan al-Bashri
“Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu” karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum menurut para mujtahid”.
8.       Al-Human
“Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.”
2.2.    Rukun Qiyas
1.        Ashl (pokok)
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat menqiyaskan. Ini bedasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqish alaih (yang dijadikan tempat menqiyaskan), mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau masyabbah bin (tempat menyerupakan).
Menurut sebagian besar ulama fiqih, sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas harus berupa nash, baik nash Al-Qur’an atau hadis atau ijma’. Jadi tidak boleh mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Pembatasan sumber hukum tersebut berdasarkan:
a.         Bahwa nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segala hukum. Sedang sumber hukum lain apapun bentuknya bergantung pada nash tersebut. Dengan demikian nash hukum itu harus dijadikan sebagai dasar bagi bangunan qiyas.
b.         Nash hukum dengan berbagai bentuk dan kemungkinan kandungannya mengandung isyarat adanya ‘‘illat. Dengan menggunakan pemahaman isyarat kita dapat menemukan ‘‘illat.
c.         Sesungguhnya qiyas sendiri berpegang dengan Al-Quran dan hadis.
Sebagian besar ulama menetapkan bolehnya mengqiyaskan sesuatu berdasarkan hukum yang ditetapkan dengan ijma’, sebab sandaran ijma’ adalah nash, meskipun tidak selalu tegas menunjukkan hukum.
2.        Al-Hukm
Al-Hukm adalah hukum ketetapan nash, baik AL-Qur’an maupun hadis, atau ketetapan ijma’ (bagi orang yang menganggapnya sebagai sumber hukum asal) yang hendak ditransfer pada kasus-kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan.
Penetapan hukum asal pada kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan antara keduanya, harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
a.         Harus berupa hukum syara’ yang amaliah.
Qiyas hukum tidak akan terjadi kecuali  pada hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena itulah yang menjadi sasaran atau obyek fiqih Islam, karena kerangka luas.
b.         Harus berupa hukum yang rasional (ma’qulul ma’na)
Hukum rasional ialah suatu hukum yang apat ditangkap sebab dan alasan penetapannya, atau setidak-tidaknya mengandung isyarat akan sebab-sebab itu.
Sebaliknya hukum yang tidak rasional, tidak mampu ditangkap sebab-sebabnya oleh akal, seperti hukum tayamum dan jumlah rakaat sholat. Oleh sebab itu, di sini tidak berlaku hukum qiyas.
3.        Far’u
Far’u Adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya. Al-far’u ialah kasus yang hendak diketahui hukumnya melalui qiyas terhadap hukum asalnya. Al-far’u atau kasus baru itu harus memenuhi dua persyaratan:
a.         Kasus itu belum terdapat nash hukumnya dalam Al-Quran dan Hadis. Sebab, qiyas tidak berlaku pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya. Prinsip qiyas ialah mempertemukan kasus hukm baru yang belum ada nashnya. Oleh sebab itu tidaklah logis menetapkan hukum Qiyas terhadap kasus hukum yang sudah ada nashnya.
b.        ‘illat hukum itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya dengan ‘‘illat hukum asal. Apabila ‘‘illat dilarangnya meminum minuman khamer itu ‘memabukkan’ maka setiap minuman atau makanan yang memabukkan sama hukumnya dengan khomer, yaitu haram. Sebaliknya apabila makanan atau minuman itu tidak memabukkan, misalnya sekedar membuat orang pusing, baik karena faktor orang yang meminum atau faktor makanan atau minuman yang bersifat sementara selama tidak memabukkan, maka makanan atau minuman tersebut tidak haram, seperti khomer. Alasannya : tidak adanya kesamaan ‘illat. Makanan dan minuman jenis ini memanglah tidak memabukkan, berbeda dengan khomer yang mempunyai sifat yang memabukkan.
4.         ‘Illat
‘Illat adalah pokok yang menjadi landasan qiyas. Imam Fahrul Islam al-Bazdawi telah menegaskan bahwa ‘‘illat merupakan rukun qiyas dan landasan dari bangunan qiyas. Sebagian ulama mendefinisikan ‘illat sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Orang yang mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas. Kami berpendapat, dalam memandang ‘illat, para ulama terbagi menjadi tiga golongan:
a.         Golongan yang pertama (mazhab Hanafiah dan Jumhur) berpendapat bahwa nash-nash hukum pasti memiliki ‘illat. Selanjutnya mereka mengatakan :”sesungguhnya sumber hukum asal adalah  ‘illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
b.         Golongan kedu beranggapan sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
c.         Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang menganggap tidak adanya ‘illat hukum.
Lima syarat yang mensyahkan ‘illat manjadi dasar qiyas ialah sebagai berikut:
a.         ‘illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang menentukan.
b.         ‘illat harus kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif.
c.         Harus ada kolerasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi ‘illat.
d.        Sifat-sifat yang menjadi ‘illat yang kemudian  melahirkan qiyas harus berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu.
e.         Syarat yang terakhir bahwa sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil.
2.3.    Macam-macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya ‘illah yang ada pada ashal dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi 3 yaitu:
1.        Qiyas aula
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibbkan adanya hukum. Dan antara hukum asal dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang memiliki hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17): 23
Artinya: Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia
Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan “ah”, “busyet” dan sebagainya hukumnya lebih utama.
2.        Qiyas Musaway
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada al-ashlu maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman allah Surah an-Nisa’ (4):10.

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.
3.        Qiyas Adna
Yang dimaksud dengan qiyas ini yaitu adanya hukum al-far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini ‘illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar.
4.        Qiyas Dalalah
Yaitu ‘illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak diwajibkan furu’ seperti mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah sampai senisab, tetapi bagi anak-anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiyaskan pada haji tidak wajib bagi anak-anak.
5.        Qiyas Syabah
Adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan diantara kedua pangkal kemana yang paling banyak menyamai. Seperti budak yang di bunuh mati, dapat diqiyaskan dengan orang yang merdeka karena sama-sama keturunan adam.
BAB III
PENUTUP
3.1.    Kesimpulan
1.        Pendapat yang mengatakan bahwa qiyas tidaklah bersandarkan atas nash maupun hadist tidaklah benar. Karena sesuatu yang diqiyaskan melihat kembali pada permasalahan yang diselesaikan melalui nash.
2.        Qiyas sangatlah penting dalam kehidupan sekarang ini, dilihat dari perkembangan permasalahan ummat yang kian berkembang.
3.2.    Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna dan tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan di sana- sini. Karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan karya-karya selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Bakry,Nazar . Fiqih dan Ushul Fiqih. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada). 1994.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia). 1998.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih. ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu). 1997
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang). 1978
Uman, Chaerul dkk. Ushul Fiqih 1.(Bandung: Pustaka setia). 2000
Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net