• Maqam dan Keadaan yang harus dilalui Para Sufi.

  • Kisah Hikayat Ulama Sufi.

  • Kisah Hikayat Para Wali Qutub sepanjang Masa

  • Kisah dan Cerita Lucu Sang Abu Nawas.

New Post

Rss

Senin, 24 April 2023
no image

Penelitihan KH. Imaduddin tentang Habib Palsu dan Nasab Habib Indonesia terputus

 

Artikel ini dibuat untuk membersihkan kesucian para dzuriyat Rasul yang akhir-akhir dikotori oleh tindakan para oknum habib-habib yang tidak mencerminkan akhlak yang baik sebagai dzuriyat, mereka merasa dirinya sebagai sosok superior karena dalam dirinya dan darahnya mengandung dan mewarisi darah Rasulullah SAW. Sehingga perilaku para oknum habib ini akan mengantarkan paham ke publik bahwa itu dibenarkan hanya karena dibungkus oleh kemuliaan Rasulullah, seolah-olah menjadi sebuah tameng kepentingan pribadi dan kedok dari niat busuknya.

Artikel ini ditulis berdasarkan sebuah penelitihan yang telah dilakukan oleh KH. Imaduddin Usman seperti yang di tulis disebuah situs rminubanten.or.id. Penelitian ilmiah ini menggunakan sebuah pendekatan historis dan pendekatan filologis, sebab untuk meneliti keaslian sejarah dan nasab itu harus dikuatkan oleh data tertulis terkait nasab dari beberapa kitab nasab dan kemudian manuskrip filologis (naskah kuno). 

Siapa itu KH. Imaduddin Utsman?

KH. Imaduddin Utsman adalah tokoh masyarakat Banten sekaligus Ketua Fatwa Komisi MUI Banten dan Pengasih Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Cempaka Kresek Banten. Kyai Imad adalah kyai muda di lingkungan Nahdlatul Ulama yang produktif menulis kitab-kitab dalam bahasa Arab, salah satunya al-fikrah al-nahdliyyah fi usul wa al-furu’ Ahl Sunnah Wal-jamaah.

Dia berpendapat bahwa bahwa habib-habib di Indonesia mayoritas belum terbukti secara ilmiah memiliki jalur darah ke Rasulullah. Jelas, hasil penelitian Kyai Imaduddin Ustman ini akan menyengat banyak pihak sebab mendelegitimasi kaum habaib. Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam silsilah garis keturunan Rasulullah SAW, terdapat sebuah nama Ubaidillah sebagai moyang habaib di Indonesia, Nama Ubaidillah ini disebutkan bahwa tidak terkonfirmasi sebagai anak keturunan dari Sayyid Ahmad al-Muhajir, sehingga ada sebuah keraguan kalau para hababib dari jalur keturunan Ubaidillah tidak tervalidasi/terverifikasi sebagai ahli bait.

Tapi mengapa Kyai Imaduddin Utsman bisa berpendapat demikian? Mari kita lihat.

Sebagaimana telah diceritakan oleh KH. Imaduddin bahwa para habib ketika datang ke Indonesia sekitar tahun 1880-an dan sejak saat itu mereka mengaku bahwa mereka adalah kerutunan dari Rasulullah. Biasanya, mereka mengaitkan diri mereka keturunan dari Ba’ Alawi, keturunan Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa al-Rumi bin Muhammad Naqib bin Ali al-Uraidli bin Imam Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Bakir bin Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Fatimah al-Zahra bin Nabi Muhammad.

Menurut pendapat KH.Imaduddin, keberadaan mereka di Indonesia tetap tidak mudah untuk dicarikan kaitannya secara keturunan dengan Rasulullah. Memang banyak kitab yang membahas Ba’ Alawi misalnya Nubzat Latifah fi Silsilati Nasabil Alawi karangan Zainal Abidin bin Alwi Jamalul Lail, Ittisalul Nasabil Alawiyyain wal Asyraf karangan Umar bin Salim al-Attas (abad 13) dan Syamsu al-dzahirah karangan Muhammad bin Husein al-Amasyhur (abad 13). Semua kitab ini menjadi sumber dan rujukan untuk ketersampaian nasab mereka ke Rasulullah. Akan tetapi semua kitab-kitab yang dijadikan rujukan tersebut dalam konteks mini adalah kitab-kitab yang ditulis pada abad 13 atau setelahnya. Seharusnya kitab-kitab yang menjadikan rujukan adalah kitab-kitab pada abad sebelumnya 10,11 dan 12.

Menurut pendapat KH.Imaduddin, bahwa Alawi bin Ubaidillah sebagai leluhur para hababib di Indonesia adalah urutan ke-12 dalam garis sanad silsilah. Dari serangkaian nama ini, ada yang terputus. Menurut pendapat KH.Imaduddin, terputusnya nasab itu di rangkaian keturunan Ali al-Uraidli. Menurut penulusuran beliau, kedudukan anak Ali al-Uraidli ini penting untuk menyambung pada Datuk para Habib di Indonesia, yaitu Alawi bin Ba Alawi.

Dari hasil penelitian KH.Imaduddin ini, atas hadis dan juga kitab-kitab nasab yang primer (utama), dia merasa kesulitan untuk mencari kesinambungan para habib di Indonesia untuk sampai pada Rasullulah karena tidak ditemukannya keterangan tentang rangkaian generasi yang sampai Ali al-Uraidhi.

KH.Imaduddin menyatakan bahwa keturunan Ali al-Uraidli tidak ditemukan pada sumber-sumber khabar hadis dan pada abad 3 H di mana masa hidup Ali al-Uraidli kitab nasab belum tertulis. Kitab nasab baru ada sejak abad 5 dan menurut kitab ini memang Ali al-Uraidli memiliki keturunan empat, Muhammad bin Ali, al-Hasan bin Ali, Ja’far bin Ali dan Ahmad bin Ali (Tahdzhibul Ansab karya al-Ubaidili). Dalam berbagai kitab, meskipun berbeda soal jumlah anak, namun mereka berpendapat bahwa Ali al-Uraidli memang memiliki anak.

Anak Ali al-Uraidli yang menjadi perangkai habaib sampai Rasulullah, kata kyai Imad, ada pada Muhammad al-Naqib yang memiliki anak bernama Isa. Lalu Isa memiliki anak Ahmad Muhajir dan Ahmad Muhajir memiliki anak bernama Ubaidillah. Pada Ubaidillah inilah teka-teki terjadi apakah para habib kita memang benar-benar sampai pada Rasulullah atau tidak?

KH.Imaduddin berpendapat bahwa berdasarkan Imam al-Fahrur Razi dalam kitabnya al-Syajarah al-mubarakah, Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa itu tidak terkonfirmasi. Lebih lanjut Kyai Imad mengatakan bahwa “penisbatan Ubadilillah sebagai anak Ahmad tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena kitab nasab tertua Tahdzib al-ansab (abad 5) dan al-Syajarah al-mubarakah (abad 6) tidak menceritakan Ahmad memiliki anak bernama Ubaidillah.

Memang ada kitab-kitab nasab yang menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, namun menurut KH.Imaduddin, kitab itu tidak kuat karena adanya keperputusan riwayat. Nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa baru muncul pada abad 10 dan tak tersebut dalam kitab-kitab awal sebelumnya.

Apa yang dilakukan oleh KH.Imaduddin ini sangat teliti dan begitu menarik, karena keberaniannya mengungkapkan hasil penelitiannya untuk dibaca oleh banyak kalangan termasuk kalangan. Selain itu, topik yang dibahas juga merupakan topik yang sensitif di masyarakat Indonesia.

Pengkultusan terhadap para habib sebagai orang suci dari garis keturunan Rasullah yang sudah berabad-abad terbangun di Indonesia, sudah dipatahkan oleh KH.Imaduddin, beliau memamaparkan sebuah fakta sebenarnya.

Sudah barang tentu akan banyak orang dan juga para habib sendiri yang merasa bahwa penelitian KH.Imaduddin ini mengada-ada dan ditujukan secara tendensius untuk menyerang pada habaib melalui penulusuran sejarah. Dan jika itu terjadi, maka bantahan pada KH.Imaduddin harus dituangkan pula dalam bentuk penelitian sejarah kerutunan Rasulullah di Nusantara ini.

Bagi saya, penelitian KH.Imaduddin ini bisa dikatakan sebagai model bagaimana santri atau kyai mempelopori model kerja ilmiah yang didasarkan pada data-data sejarah yang konkrit, bukan mitologis dan opini belaka.

Bagaimana jika penelitian kyai Imad terbukti salah? Jika terbukti salah dan bukti salahnya juga menggunakan prosedur riset ilmiah, maka itu sangat wajar dan biasa terjadi. Tinggal nanti data dan argumen sejarahnya yang akan diadu di antara pelbagai temuan yang ada.

Selain itu, Ada sebuah fakta lagi melalui data dari hasil Tes DNA terhadap salah-satu keturunan habaib di Indonesia, seperti yang sudah dilakukan oleh Presenter kondang Najwa Shihab, sebagaimana dilansir di berbagai media ternyata hasil Tes DNA Najwa Shihab menyebutkan, bahwa Gen Arab yang dimiliki Najwa hanya 3,4 persen. Hasil penelitian memperlihatkan Najwa memiliki fragmen DNA dari moyang yang berasal dari Afrika Utara, Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa Selatan, Afrika, Eropa Utara, diaspora Asia, diaspora Afrika, dan diaspora Eropa. Komposisinya sebesar 48,54 persen South Asian, North African 26,81 persen, African 6,06 persen, East Asian 4,19 persen, African Dispersed 4,15 persen, Middle Eastern 3,48 persen, Southern European 2,20 persen, Northern European 1,91 persen, dan Asian Dispersed 1,43 persen.

Dilain sisi, Hasil Tes DNA para habib di Hadramaut Yaman memiliki Haplogroup G yang merupakan orang keturunan Ras Kaukasus. Sedangkan DNA orang Arab memiliki Haplogroup J, ini membuktikan jika orang Yaman ini bukan orang keturunan Arab dengan Haplogroup J tapi orang Kaukasus dengan Hapologroup G.

Bisa jadi para habaib Hadramaut kebanyakan berprofesi sebagai seorang pedagang, dan juga seorang pendakwah, jadi mereka memang berkeliling dunia, sehingga melakukan interaksi sosial dan pernikahan dengan orang penduduk setempat dari bangsa lain. oleh karena itu, bisa jadi keturunan nya mengalami mutasi Gen atau percampuran Gen dari Ras lain, Wallahu A'lam...

Kebenaran sosok seorang habib bisa di lihat dan di buktikan dari hasil Tes DNA, dengan melalui tes DNA, sehingga bisa diketahui asal muasal leluhur mereka dan Gen nya lebih dominan dari Ras mana. Selain itu hasil Tes DNA bisa dicocokkan dengan para habaib yang Gen nya lebih murni, atau bisa dicocokan dengan Rambut Rasulullah yang sudah tersimpan di Museum Turki atau Museum negara lainnya.

Apakah penelitian ini mendapatkan penolakan dari mereka, misalnya, kecaman dan kekerasan, maka itu tidak bisa diterima. Sebuah penelitian harus dibalas dan dijawab dengan penelitian juga, itu pakemnya. 

Demikianlah diskusi dan kajian seputar para habaib yang lagi viral akhir-akhir ini di media sosial dan YouTube. Semoga tidak mengurangi rasa hormat kita kepada para habaib. Wallahu A'lam....

Kamis, 13 April 2023
no image

Cara shalat super cepat dan ringkas

 Assalamu Alaikum para Ikhwan...

Di Indonesia banyak sekali kita menjumpai para imam, makmum atau munfarid mengerjakan shalat dengan ringkas dan super cepat,  shalat dengan tempo cepat dan lebih ringkas hukumnya sah-sah saja, namun jangan sampai meninggalkan thuma'ninah dan bacaan sesuai kaidah tajwid. 

Shalat super cepat boleh saja, asalkan jangan meninggalkan 2 rukun shalat, yaitu Rukun Fi'li dan Rukun Qouli,

Rukun fi'li (gerakan fisik) harus dilakukan secara thuma’nînah (tenang), minimal lama waktunya thuma'ninah itu seperti membaca kalimat tasbih "Subhanallah", 

Rukun qouli berupa bacaan takbiratul ihram, Surat al-Fatihah, tasyahud (tahiyat) akhir, shalawat Nabi setelah tasyahud akhir, dan salam, harus sesuai kaidah ilmu tajwid. Pemahaman tentang aturan ini sangat penting untuk diperhatikan, supaya orang tidak shalat dengan cara semaunya sendiri

Berikut ini contoh bacaan ringkas dan cepat: 

1. Berdiri (bila mampu), wajib baca surah Al-fatihah saja sudah mencukupi

2. Ruku' dan Sujud, Adapun bacaan tasbih pada saat ruku' & sujud bisa dengan baca lafadz :

سبحان الله 

3. I'tidal, Sedangkan bacaan i'tidal bisa cukup dengan bacaan:

ربنا ولك الحمد 

4. Duduk diantara 2 sujud, cukup bacaan: 

رب اغفرلي


5. Bacaan tahiyat, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’in : 

  فلو أظهر النون المدغمة في اللام في أن لا إله إلا الله أبطل لتركه شدة منه كما لو ترك إدغام [تنوين] دال محمد في راء رسول الله 

Artinya: “Jika ada orang yang shalat membaca idh-har dari nun yang seharusnya dibaca idgham pada kalimat ‘al lâilâha illallâh’ maka hal tersebut dapat membatalkan shalat. Sebab meninggalkan tasydid di situ sebagaimana jika ada orang yang meninggalkan membaca idgham tanwin ‘dal’-nya ‘muhammad’ pada kalimat ‘muhammadar rasulullâh’. (Syekh Zainudin Al-Malyabari, Fathul Muin, [Dâr Ibnu Hazm], halaman 119). 

Dalam ilmu tajwid, metode bacaan terbagi tiga tingkatan kecepatan, yaitu tartil (tempo pelan), tadwir (sederhana), hadr (cepat). Adapun pada pembagian yang terakhir yakni hadr tersebut, walaupun bacaan cepat, tetap harus mengikuti aturan mîzân atau keseimbangan panjang pendek bacaan dengan jelas 

Bacaan tahiyat boleh dibaca secara ringkas dan cepat, Berikut ini contoh bacaan ringkas dan cepat seperti dijelaskan dalam kitab Fathul Muin, seperti bacaan tahiyat minimal sebagai berikut:

 فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين   وعاشرها: تشهد أخير وأقله ما رواه الشافعي والترمذي [الأذكار الأرقام: ٣٦٨- ٣٩١] : التيحات لله إلى آخره تتمته: سلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته سلام علينا وعلى عباد الله الصالحين أشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله 

Artinya: “Rukun shalat yang kesepuluh adalah tasyahud akhir. Minimal bacaan dalam tasyahhud akhir sebagaimana yang diriwayatkan oleh As-Syafi’i dan At-Tirmidzi adalah bacaan At-tahiyyâtu lillâh, salâmun alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullâhi wa barakâtuh, salâmun 'alainâ wa ‘alâ ibâdillâhis shâlihîn. Asyhadu al-lâilâha illallâh, wa anna muhammadar rasûlullâh. (Syekh Zainuddin Al-Malyabari, Fathul Muin, halaman: 118)

Atau bisa dengan lafadz berikut:  

 التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْك أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ –

(kitab almughni : 1/385)

 وقال ابن مفلح ” الْوَاجِبُ خَمْسُ كَلِمَاتٍ، وَهِيَ: التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، سَلَامٌ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، سَلَامٌ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَوْ رَسُولُ اللَّهِ ؛ لِأَنَّ هَذَا يَأْتِي عَلَى مَعْنَى الْجَمِيعِ، وَهُوَ الْمُتَّفَقُ عَلَيْهِ فِي الرِّوَايَاتِ ” انتهى من “المبدع” (1/412) . 

Berkata Ibnu Muflih,” yang wajib ( dibaca ) ada 5 kata, antara lain :  
1) attahiyatu lillah, 2) salaamun alaika ayyuhannabiyyu wa rahmatulah, 3) salamun alaina wa alaa ibadhillah shalihin, 4) asyhadu anlaa ilaaha illallahu, dan, 5) wa asyhadu anna Muhammadan Abdhu warosuluh atau Rasulullah. Karena ini telah mencakup terhadap semua makna. Dan ia yang disepakai dalam riwayat riwayat.” 1/142

 وقال النووي : ” وَأَقَلُّهُ: (التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، سَلَامٌ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، سَلَامٌ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ) . وَقِيلَ يَحْذِفُ : (وَبَرَكَاتُهُ)، وَ: (الصَّالِحِينَ) ” انتهى من “المجموع” (3/455) . 

Berkata Imam Nawawi, “ (paling minimalnya) dengan membaca,

” التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، سَلَامٌ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، سَلَامٌ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ” 
(almajmu : 3/455).

Setelah tasyahud di atas, baru kemudian membaca shalawat nabi :

 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ  

Demikian, ulasan singkat terkait model shalat cara ringkas dan cepat, semoga para makmum yang sering ketinggalan dengan imam yang cepat, bisa mengikuti alternatif minimal bacaan tasyahud tersebut. Sholat model ringkas dan cepat hukumnya sah-sah saja, asal memenuhi rukun-rukunnya. Wallahu a’lam.  



Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net