Sabtu, 24 April 2010

Maqam Mahabah

MAQAM MAHABBAH

Mahabbah menurut arti bahasa adalah saling cinta mencintai. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
Mahabbah juga dapat diertikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan Kekasih iaitu Allah SWT.

Oleh kerana itu Harun Nasution cinta sering diertikan sebagai berikut:
1. Menyukai kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawanNya;
2. Menyerahkan seluruh diri (jiwa dan raga) kepada yang dikasihi;
3. Mengosongkan hati daripada segala-galanya, kecuali daripada yang
dikasihi.

Cinta sering mendatangkan kebutaan dan ketulian, cinta membutakan segala
kecuali terhadap yang dicintai sehingga orang itu tidak melihat apa pun kecuali Dia.Cinta membuat telinga tuli, tidak mendengar sesuatu pun di mana dia hanya mendengar ungkapan dan ucapan-ucapan dari yang dicintaiNya.
Cinta dalam hal ini dapat dibahagikan kepada tiga bahagian iaitu:

1. Mencintai Allah merupakan kesempurnaan cinta dan tuntutan cinta;
2. Mencintai kerana Allah, mengharuskan cinta untuk mencintai apa
yang dicintai oleh Kekasihnya itu dan mencintai sesuatu yang boleh
membantu cintanya untuk membawanya kepada keredhaanNya dan mendekatiNya;
3. mencintai sesuatu bersama Allah adalah cinta yang berbentuk syirik
yang memasukkan hal-hal lain ke dalam muatan cinta.


Mahabbah atau cinta dalam pengertian di atas memberikan keterangan
yang jelas terhadap makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah
usaha menuangkan segala yang dimiliki untuk mengisinya kembali dengan
muatan cinta sehingga hati sarat dengan mahabbah yang tidak dicampuri oleh
perkara-perkara lain. Mahabbah dalam dimensi ini melihat bahawa sesuatu
yang dikasihi sebagai sesuatu yang ideal dan paling berhak untuk dicintai dan dikasihi.

Amr bin 'Utsman Makki mengatakan dalam Kitab-i Mahabbat bahwa Allah menciptakan jiwa (dilha) tujuh ribu tahun sebelum badan, dan menjaganya dalam peringkat kedekatan (qurb), dan bahwa Dia menciptakan ruh (janha) tujuh ribu tahun sebelum jiwa dan menjaganya dalam derajat kedekatan (uns), dan bahwa Dia menciptakan kalbu (sirrha) tujuh ribu tahun sebelum ruh dan menjaganya dalam derajat persatuan (washl), dan mengungkapkan keindahan-Nya kepada kalbu sebanyak tiga ratus enam puluh kali setiap hari dan menganugerahkan kepadanya tiga ratus enam puluh penglihatan akan rahmat, dan Dia menyebabkan ruh mendengar kata cinta dan menampakkan tiga ratus enam puluh nikmat kedekatan yang mendalam kepada jiwa, sehingga semuanya memandangi alam semesta yang fenomenal dan melihat tidak ada yang lebih elok daripada diri mereka sendiri dan mereka dipenuhi dengan kesia-siaan dan kecongkakan.

Karena itu ; Tuhan pun mengujinya. Dia rnemenjarakan kalbu di dalam ruh dan ruh di dalam jiwa dan jiwa di dalam badan. Kemudian Dia mencampur akal ('aql) dengan mereka, dan mengutus nabi-nabi dan memberikan perintah-perintah. Lalu masing-masing di antara mereka mulai mencari peringkat (maqam) aslinya. Tuhan menyuruh mereka bersembahyang. Badan lalu melakukan shalat, jiwa menggapai cinta, ruh sampai pada kedekatan dengan Tuhan, dan kalbu menemukan ketenangan dalam persatuan dengan-Nya.

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.

Kaum Sufi juga menganggap mahabbah sebagai modal utama sekaligus mauhibah dari Allah Swt, untuk menuju kejenjang ahwâl yang lebih tinggi.

Konsep al-hub (cinta) pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal Rabi'atul Adawiyah (96 H - 185 H), menyempurnakan dan meningkatkan versi zuhud, al khauf war raja' dari tokoh sufi Hasan Al Basri. Cinta yang suci murni adalah lebih tinggi dan lebih sempurna daripada al khauf war raja' (takut dan pengharapan), karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridla-Nya. Menurut Rabi'atul Adawiyah, al hub itu merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah kepada-Nya. Perasaan cinta yang menyelinap dalam lubuk hati Rabi'atul Adawiyah, menyebabkan dia mengorbankan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah SWT. Sehingga perkara yang menarik tentang diri Rabi'ah ialah dia menolak lamaran untuk menikah dengan alasan:

"Pernikahan itu memang perlu bagi siapa yang memiliki pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak memiliki apa-apa pun. "

Kecintaan Rabi'ah kepada Allah berjaya melewati pengharapan untuk beroleh syurga, hanya untuk Allah semata-mata. Sebagaimana dalam munajat beliau :

"Jika aku menyembah-Mu karena takut dari api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu. "

Rabi'ah seolah-olah tidak mengenali yang lain dari Allah. Oleh itu dia terus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi'ah telah mempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia selalu meletakkan kain kapannya di hadapannya dan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.

Cinta Rabi'ah kepada Allah SWT begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga dia menolak seluruh tawaran untuk menikah. Dia mengatakan dirinya adalah milik Allah yang dicintainya, karenanya siapa yang ingin menikahinya harus minta izin dahulu kepada-Nya. Pernah ditanyakan kepada Rabi'ah, apakah engkau benci kepada syetan ? Dia menjawab, "Tidak, cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku, untuk tempat rasa benci kepada syetan. Ditanyakan apakah dia cinta kepada Nabi Muhammad SAW ? Dia menjawab, "Saya cinta kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi cintaku kepada khalik memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk. Banyak sekali syair dan gubahan dari Rabi'ah menggambarkan cintanya kepada Allah SWT.

Adalah Imam al Qusyairi, pengarang Risâlah al Qusyairiyyah mendefinisikan cinta (mahabbah) Allah kepada hamba sebagai kehendak untuk memberikan nikmat khusus kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak diperuntukkan khusus melainkan umum untuk semua hambaNya--menurut Qusyairi--dinamakan Rahmat; kemudian jika irâdah tersebut berkaitan dengan adzab disebut dengan murka(ghadlab).
Masih dalam konteks yang sama, lebih jauh al Qusyairi memaparkan definisi mahabbah tersebut versi kaum salaf; mereka mengartikan cinta sebagai salah satu sifat khabariyyah lantas menjadikannya sebagai sesuatu yang mutlak, tidak dapat diartikulasikan sebagaimana rupa seperti halnya mereka cenderung tidak memberikan pentafsiran yang lebih dalam lagi, sebab apabila cinta diidentikkan dengan kecenderungan pada sesuatu ataupun sikap ketergantungan, alias cinta antara dua manusia, maka mereka menganggap hal itu sangatlah mustahil untuk Allah Swt. Interprestasi yang demikian ini memang lebih cenderung berhati-hati seperti halnya mereka (baca:kaum salaf) sangat menekankan metode tafwîdl dalam permasalahan yang bersifat ilâhiyah.

Al Junaidi Al Baghdadi menyebutkan, mahabbah itu sebagai suatu kecenderungan hati, artinya, hati seseorang cenderung kepada Allah SWT dan kepada segala sesuatu yang datang daripada- Nya tanpa usaha.

Abu Nasr as Sarraj at-Tusi seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat : (1) Mahabbah orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya, (2) Mahabbah orang siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta kepada Allah, (3) Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
Banyak sekali dalil naqli, Al Qur'an dan Al Hadis yang menjadi dasar adanya mahabbah antara makhluk dengan khalik-Nya.

Firman Allah SWT,
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al Maidah 5 : 54).

Firman Allah SWT,
Artinya : Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Ali Imran 3 : 31).
Sabda Rasulullah SAW, Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya" (H.R. Bukhari).

Sabda Rasulullah SAW: Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW menuturkan bahwa Jibril a.s memberitahukan bahwa Tuhan Allah SWT telah berfirman, "Barangsiapa yang menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu- ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba- Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun tidak ada jalan darinya. Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk mendekati-Ku adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Ku-perintahkan kepadanya, dan senantiasa dia mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan bagi barangsiapa yang Ku-cintai, maka Aku menjadi telinganya, matanya, tangannya dan tiang penopangnya".(H.R. Ibnu Abidunya, Al Hakim, Ibnu Mardawih dan Abu Na'im).

Cinta Membara ('Isyq)
Mengenai cinta membara ('isyq) terdapat banyak perselisihan di antara para Syaikh. Beberapa Sufi beranggapan bahwa cinta membara terhadap Tuhan boleh-boleh saja, namun itu bukan dari Tuhan. Cinta semacam itu, kata mereka, adalah sifat dari orang yang terpisah dari kekasihnya, dan manusia terpisah dari Tuhan, tetapi Tuhan tidak terpisah dari manusia.

Karenanya, manusia bisa sangat mencintai Tuhan, namun istilah ini tidak bisa diterapkan pada Tuhan.

Yang lainnya berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa dijadikan objek cinta membara manusia, karena cinta semacam itu melampaui batas, sementara Tuhan tidak terbatas. Orang-orang masa kini menyatakan bahwa cinta yang membara, di dunia ini dan di akhirat, adalah hanya tepat diterapkan pada keinginan untuk mencapai esensi (zat), dan karena esensi Tuhan tidak bisa dijangkau, maka istilah itu ('isyq) tidak tepat digunakan dalam hubungannya dengan cinta manusia kepada Tuhan, meskipun istilah-istilah "cinta" (mahabbat) dan "cinta suci" (shafwat) itu betul.


Lagi pula, mereka mengatakan bahwa selagi cinta (mahabbat) bisa ditimbulkan lewat pendengaran, cinta membara ('isyq) tidak mungkin bisa ditimbulkan tanpa penglihatan nyata. Karenanya, cinta semacam itu tidak bisa dirasakan terhadap Tuhan, yang tidak terlihat di dunia ini.

Esensi Tuhan tidak bisa dijangkau atau tidak bisa dicerap, sehingga manusia tidak bisa merasakan cinta membara terhadap Tuhan. Tetapi manusia merasakan cinta (mahabbat) terhadap Tuhan, karena Tuhan, melalui sifat-sifat dan tindakan-tindakan-Nya, menganugerahkan rahmat-Nya kepada sahabat-sahabat-Nya (wali-wali-Nya).

Karena Ya'qub terserap dalam cinta (mahabbat) kepada Yusuf, yang darinya dia terpisah , matanya menjadi bersinar terang begitu dia mencium baju Yusuf; tetapi karena Zulaykha siap mati demi cinta membaranya kepada Yusuf, matanya tertutup hingga ia bersatu dengannya.

Juga dikatakan bahwa cinta membara bisa diterapkan pada Tuhan, dengan alasan bahwa Tuhan ataupun cinta membara tidak memiliki lawan.

Watak Cinta

Aku sekarang akan menyebutkan beberapa keterangan yang telah diberikan oleh Syaikh-syaikh Sufi mengenai watak sebenarnya dari cinta.

'Allamah Abul Qasim Qusyayri mengatakan : "Cinta adalah peniadaan sifat-sifat sang pencinta dan pengukuhan esensi Yang Dicintai," yakni karena Yang Dicintai itu baka (baqi) dan sang pencinta fana (fani), keirian cinta menuntut agar sang pencinta membuat kebakaan Yang Dicintai menjadi mutlak dengan menafikan dirinya sendiri, dan ia tidak dapat menafikan sifat-sifatnya sendiri kecuali dengan mengukuhkan esensi Yang Dicintainya.

Tidak ada pencinta yang bisa berdiri dengan sifat-sifatnya sendiri, karena dalam masalah itu ia tidak memerlukan keindahan Yang Dicintai. Tapi, bilamana ia mengetahui bahwa hidupnya bergantung pada keindahan Yang Dicintai, ia niscaya berusaha melenyapkan sifat-sifatnya sendiri, yang menabirinya dari Yang Dicintainya.

Maka, dalam cinta kepada Sahabatnya, ia menjadi musuh bagi dirinya sendiri. Sudah termasyhur bahwa kata-kata terakhir Husayn bin Manshur (Al-Hallaj) ketika akan dihukum mati adalah Hasb al-wajid ifrad al-wahid (Cukuplah bagi pencinta membuat yang Satu itu satu), yakni bahwa eksistensinya harus dilenyapkan dari jalan cinta dan bahwa kekuasaan hawa nafsu atau jiwa rendahnya harus dihancurkan sepenuhnya.

Abu Yazid Bisthami mengatakan: "Cinta itu adalah menganggap milikmu yang banyak sebagai sedikit, dan yang sedikit dari yang kau cintai sebagai yang banyak." Demikianlah, bagaimana Tuhan Sendiri memperlakukan hamba-hamba-Nya, karena Dia menyebutnya "sedikit" apa yang Dia telah berikan kepada mereka di dunia ini (QS 4: 79), tetapi menyebut pujian mereka kepada-Nya "banyak" - "laki-laki

dan perempuan yang banyak memuji Tuhan" (QS 33:35) - agar semua makhluk-Nya mengetahui bahwa Dia adalah Yang Tercinta, karena tidak ada yang kecil (sedikit) yang Allah limpahkan kepada manusia, dan semuanya sedikit yang manusia persembahkan kepada Allah.
Sahl bin 'Abdallah Al-Tustari mengatakan: "Cinta itu adalah melakukan tindak-tindak ketaatan (mu'anaqat al-tha'at) dan menghindari tindak-tindak kedurhakaan," karena seseorang melaksanakan perintah dari yang dicintainya lebih mudah karena kekuatan cinta di dalam hatinya.

Demikianlah, penolakan orang-orang zindiq yang menyatakan bahwa seseorang bisa mencapai derajat cinta sedemikian rupa sehingga dia tidak lagi dituntut untuk taat, suatu doktrin yang jelas-jelas sesat.

Tidaklah mungkin bahwa seseorang, selagi masih sehat akalnya, akan dibebaskan dari kewajiban-kewajiban agamanya, karena hukum Muhammad tidak akan pernah terhapus, dan jika orang semacam itu bisa dibebaskan begitu rupa, mengapa tidak semuanya?

Masalah orang-orang yang dikuasai oleh perasaan yang mendalam (maghlub) dan orang-orang idiot (yang tidak sempurna akalnya) (ma'tuh) itu berbeda. Mungkin saja Allah dengan cinta-Nya akan membawa seseorang ke derajat sedemikian sehingga ia tak mengalami kesulitan untgk melaksanakan tugas-tugas agamanya, karena semakin orang mencintai Dia yang memberikan perintah, semakin berkurang kesulitan yang akan ia alami dalam melaksanakannya.

Ketika Rasul menumpahkan diri sepenuhnya untuk ibadah siang dan malam, sehingga kaki beliau yang penuh berkah itu bengkak, Allah berfirman: "Kami tidak menurankan Al-Quran kepadamu agar engkau menjadi susah" (QS 20:2).

Dan mungkin juga bahwa orang akan dibebaskan dari kesadaran tentang melaksanakan perintah Allah, sebagaimana Rasul bersabda: "Sesungguhnya, sebuah tabir menutupi hatiku, dan aku memohon ampunan kepada Tuhan tujuh puluh kali sehari," yakni beliau memohon diampuni untuk tindakan-tindakannya, karena beliau tidak memandang dirinya sendiri dan tindakan-tindakannya, agar beliau senang dengan ketaatannya, dan yang dipandang hanya kemegahan perintah Allah, dan berpikir bahwa tindakan-tindakannya tidak berarti sama sekali di haribaan Tuhan.

Sumnun Al-Muhibb mengatakan: "Para pencinta Tuhan membawa kebesaran dunia ini dan akhirat, karena Nabi saw. bersabda, 'Seseorang itu bersama dengan yang dicintanya'." Karena itu, mereka bersama dengan Tuhan di dua alam itu, dan orang-orang yang bersama dengan Tuhan tidak bisa berbuat salah. Kebesaran dunia ini ialah bersamanya Tuhan dengan mereka, dan kebesaran akhirat ialah keberadaan mereka bersama Tuhan.

Yahya bin Mu'adz AI-Razi mengatakan : "Cinta sejati tidaklah berkurang karena ketidak-baikan dan tidak bertambah karena kebaikan dan kemurahan," karena di dalam cinta kebaikan dan ketidakbaikan adalah sebab-sebab, dan sebab dari sesuatu itu tidak ada lagi bilamana sesuatu itu sendiri benar-benar ada. Seorang pencinta senang dalam penderitaan yang ditimbulkan oleh yang dicintainya. Dan karena cinta, ia menganggap kebaikan dan ketidak-baikan sama saja, tidak berbeda.

Ada kisah termasyhur bagaimana sufi besar al-Syibli dianggap gila dan ditahan di sebuah rumah sakit jiwa. Beberapa orang datang mengunjungnya. "Siapakah engkau?" ia bertanya. Mereka menjawab: "Teman-temanmu" lalu ia melempari mereka dengan batu-batu dan membuat mereka lari tunggang langgang . Lalu ia berkata : “Kalau kalian teman-temanku, tentu kalian tidak akan lari dari penderitaanku.”

Sumnun Al-Muhibb menganut doktrin khas mengenai cinta. Ia menyatakan bahwa cinta adalah dasar dan prinsip dari jalan menuju Tuhan, bahwa semua 'keadaan" (hal) dan "peringkat" (maqam) adalah tingkat-tingkat cinta, dan bahwa setiap tingkat dan tempat di mana sang pencari bisa mengalami kehancuran, 'kecuali tempatnya cinta, tidak bisa hancur dalam keadaan-keadaan apa pun selama jalan itu sendiri tetap ada.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian.

Pertama, mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.
Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Keempat, Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.

Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada di jalan Allah.

Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir mengatakan:

Aku cemburu kepada-Nya,
Karena aku Cinta kepada-Nya,
Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,
Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku

Cinta manusia kepada Tuhan adalah suatu kualitas yang mengejawantah dalam hati orang beriman yang taat, dalam bentuk penghormatan dan pengagungan, sehingga ia berusaha memuaskan Yang Dicintainya dan menjadi tidak sabar dan resah karena keinginannya untuk memandang-Nya, dan tidak bisa tenang dengan siapa pun kecuali Dia, dan menjadi akrab dengan mengingat (dzikr) Dia, dan bertekad akan, melupakan segala yang lain. Diam menjadi haram baginya, dan tenang lenyap darinya. Ia terputus dari semua kebiasaan dan hubungan-hubungan dengan sesamanya, dan menyangkal hawa nafsu, dan berpaling kepada istana cinta dan tunduk kepada hukum cinta dan mengenal Allah melalui sifat-sifat sempurna-Nya.

Oleh karena itu, setiap Cinta yang bukan karena Allah adalah bathil. Dan setiap amalan yang tidak dimaksudkan karena Allah adalah bathil pula. Maka dunia itu terkutuk dan apa yang ada di dalamnya juga terkutuk, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.

Wallahu A’lam

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net