Sabtu, 24 April 2010

Maqam Mukasyafah

Ulama sufi berkata, "Mukasyafah artinya jalinan secara rahasia antara dua batin." Maksudnya, mukasyafah adalah salah satu dari dua orang yang saling mencintai, yang mengetahui batin urusan dan rahasia yang satunya lagi. Jalinan ini terjadi secara lembut dan penuh kasih sayang. Jika seorang hamba sampai ke kedudukan ma'rifat, maka seakan-akan dia dapat melihat sifat-sifat kesempurnaan Allah dan keagungan-Nya, sehingga ruhnya merasakan kedekatan yang khusus, berbeda dengan kedekatan yang bersifat inderawi, sehingga seakan-akan dia bisa menyaksikan disingkapkannya hijab antara ruh dan hatinya dengan Rabb-nya.

Yang dimaksud kasyf menurut Al Ghazali adalah metode pengetahuan melalui
sarana kalbu yang bening, atau pemahaman intuitif langsung. kasyf
(iluminasi) adalah apa yang tadinya tertutup bagi manusia, atau tersingkap
bagi seseorang seakan ia melihat dengan matanya. Dengan demikian
pengetahuan itu diperoleh dari sumbernya secara langsung, bukan melalui
fikiran atau belajar.

Mukasyafah adalah tersingkapnya tabir yang menjadi kesenjangan antara sufi
dengan Allah. Kesenjangan tersebut adalah jarak antara mahluk dengan khaliknya.

Sementara itu Kasyf menurut Qaysari adalah penyingkapan hijab. Secara
terminologis, kasyf adalah mengetahui makna yang tersembunyi dan realitas
dibalik hijab secara wujud.

Penyingkapan-penyingkapan itu sebenarnya merupakan Tajali Nama yang
mengurusinya. Dan semuanya berada di bawah Nama Al-Alim.

Adapun yang berkaitan dengan duniawi, seperti dalam praktek memberitakan
kejadian-kejadian duniawi yang akan terjadi, termasuk dalam kasf Al Suri,
kasyf ini disebut kasy Ruhbaniyyah, karena mereka mengetahui hal-hal gaib
melalui riyadah dan mujahidah mereka.

Tetapi para ahli suluk beranggapan bahwa hal itu sebagai al istidraj, yaitu
kemunduran derajat, bahkan mereka tidak menanggapinya, karena tujuan mereka
adalah fana' fi l-Lah dan Baqa bil-Lah.

Menurut Al Qaysari, sumber mukasyafah adalah al qalb al insani dan intelek
amalinya yang bercahaya yang menggunakan indera ruhaniyah. Karena qalbu
manusia memiliki penglihatan, pendengaran dan sebagainya. Sebagaimana
diisyaratkan Allah dalam firmannya :
"Maka sesungguhnya tidak buta matanya, tetapi yang buta adalah hatinya yang
ada di dalam dada". Dan "Allah telah menutup keatas hati mereka dan
pendengarannya dan penglihatan mereka dengan tirai."

Dan indra ruhaniyyah ini adalah bathin indera jasmani. Ketika tersingkap
hijab dimensi ruhani dan dimensi kongkrit maka akan menyatu indera
ruhaniyah dan indera jasmaniyahnya. Dan dia akan mempersepsikan dengan
indera ruhanniyahnya. Ruh akan menyaksikan semuanya secara esensial, karena
hakikat yang ada akan menyatu dengan ruh dalam martabatnya dengan
keberadaan yang lengkap dan seluruh hakikat terpadu di dalamnya.

Hijab tersebut adalah nafsunya, yang disingkap Allah dengan kekuatan-Nya. Dengan begitu dia akan menyembah-Nya seakan-akan dapat melihat-Nya.

Ada tiga derajat mukasyafah, yaitu:

Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar, yang harus berjalan secara terus-menerus. Hal ini terjadi pada sekali waktu tanpa waktu yang lain, tanpa diselingi suatu pemisahan. Hijab yang tipis bisa terbentang pada kedudukannya, hanya saja hijab itu tidak membuatnya memalingkannya dan meniadakan bagiannya. Ini merupakan derajat orang yang menuju suatu tujuan. Jika berlangsung terus, maka menjadi derajat kedua.

Mukasyafah yang benar merupakan ilmu yang disusupkan Allah ke dalam hati hamba dan menampakkan kepadanya perkara-perkara yang tidak diketahui orang lain. Namun Allah juga bisa memalingkan dan menahannya karena kelalaian dan membuat tutupan di dalam hatinya. Tapi tutupan ini amat tipis, yang disebut al-ghain. Yang lebih tebal lagi disebut al-ghaim, dan yang paling tebal adalah ar-ran. Yang pertama berlaku bagi para nabi, seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya ada tutupan dalam hatiku, dan sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali (dalam sehari)." Yang kedua berlaku bagi orang-orang Mukmin, dan yang ketiga bagi orang-orang yang menderita, seperti firman Allah, "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka." (Al-Muthaffifin: 14).

Hijab ada sepuluh macam:

1. Hijab peniadaan dan penafian hakikat asma' serta sifat. Ini merupakan hijab yang paling tebal. Orang yang memiliki hijab ini tidak mempunyai kesiapan untuk mengetahui Allah dan sama sekali tidak sampai kepada Allah, sebagaimana batu yang tidak bisa naik ke atas.

2. Hijab syirik, yaitu membuat hati menyembah kepada selain Allah.

3. Hijab bid'ah yang bersifat perkataan, seperti hijab orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan berbagai macam perkataan yang batil lagi rusak.

4. Hijab bid'ah yang bersifap ilmiah, seperti hijab para ahli thariqah yang melakukan bid'ah dalam perjalanannya kepada Allah.

5. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batinnya, seperti hijab orang-orang yang takabur, ujub, riya', dengki, membanggakan diri dan lain sebagainya.

6. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara zhahir. Hijab mereka lebih tipis daripada hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batin, sekalipun mereka lebih banyak ibadahnya dan lebih zuhud. Dosa besar secara zhahir lebih dekat kepada taubat daripada dosa besar secara batin. Orang yang melakukan dosa besar secara zhahir lebih bisa diselamatkan dan hatinya lebih baik daripada orang yang melakukan dosa besar secara batin.

7. Hijab orang-orang yang melakukan dosa-dosa kecil.

8. Hijab orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah.

9. Hijab orang-orang yang lalai melakukan tujuan penciptaannya dan yang dikehendaki dari dirinya, tidak senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepada Allah.

10. Hijab orang-orang yang berijtihad namun menyimpang dari tujuan.

Inilah sepuluh macam hijab yang mendinding antara hati dengan Allah, menjadi penghalang di antara keduanya. Hijab-hijab ini muncul dari empat unsur: Jiwa, syetan, dunia dan nafsu. Hijab tidak bisa disingkirkan jika unsur-unsur penyebabnya masih ada. Empat unsur inilah yang merusak perkataan, perbuatan, tujuan dan jalan, tergantung dari banyak dan sedikitnya, memotong jalan perkataan, perbuatan dan tujuan untuk sampai ke hati. Sementara apa yang dipotong agar tidak sampai ke hati, juga dipotong agar tidak sampai kepada Allah. Antara perkataan dan perbuatan dengan hati terbentang jarak perjalanan. Seorang hamba menempuh jarak perjalanan itu agar sampai ke hatinya, agar dia bisa melihat berbagai macam keajaiban di sana. Dalam perjalanan ini terdapat banyak perampok jalanan seperti yang sudah disebutkan di atas. Jika dia bisa memerangi para perampok jalanan itu dan amalnya bisa sampai ke hati, maka ia akan menetap di dalam hati, lalu dari hati ini dia akan mendapatkan jendela agar dapat melihat Allah.

Sekalipun perjalanan itu sudah sampai ke hati, namun hamba tidak mendapatkan jendela untuk melihat Allah, bahkan di dalamnya bersemayam nafsu dan pasukannya, sekalipun dia orang yang zuhud dan paling banyak beribadah, maka dia adalah orang yang paling jauh dari Allah.

Bahkan orang-orang yang melakukan dosa besar, hatinya bisa lebih dekat dengan Allah daripada mereka. Lihatlah seorang ahli ibadah dan zuhud,yang di keningnya terdapat bekas sujud, tapi justru mengingkari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam karena amalnya yang kelewat batas, sehingga dia pun mencemooh orang Muslim lainnya dan menumpahkan darah para shahabat. Di sisi lain lihat seorang peminum berat,(Orang pertama adalah Dzul-Khuwaishirah At-Tamimy Al-Khariji, dan orang kedua adalah Iyadh bin Himar). yang sering mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan dia pun siap dijatuhi hukuman karena kebiasaannya itu. Karena iman, keyakinan dan kecintaannya kepada Allah serta Rasul-Nya, dia rela menerimanya, sampaisampai beliau melarang orang lain yang memakinya. Dari sini dapat diketahui bahwa orang yang melakukan kedurhakaan lebih baik kesudahannya daripada orang yang melanggar ketaatan.

Perkataan Syech (al-Mursyid), "Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar", setiap orang mengaku memiliki kesesuaian yang benar. Tidak ada penerapan yang benar kecuali yang sesuai dengan perintah. Penerapan dalam ilmu ialah pengungkapan yang sesuai dengan apa yang dikabarkan para rasul. Penerapan yang benar dalam kehendak ialah yang sesuai dengan kehendak Allah.

Mukasyafah yang sebenarnya ialah mengetahui kebenaran yang disampaikan Allah kepada para rasul-Nya dan yang diturunkan ke dalam kitab-kitab-Nya, yang dilihat dengan hatinya. Ini pula yang disebut penerapan yang benar. Sedangkan kebalikannya adalah suatu keburukan. Ini merupakan derajat pertama, yaitu derajatnya orang yang menuju ke suatu tujuan. Jika berjalan terus dan teguh hati, maka akan mencapai derajat kedua.

Syaikh berkata, "Sedangkan derajat ketiga adalah mukasyafah mata dan bukan mukasyafah ilmu, yaitu mukasyafah yang tidak membiarkan adanya pertanda yang menimbulkan kelezatan, atau yang menghentikan perjalanan atau yang singgah di satu penghalang. Tujuan dari mukasyafah ini adalah kesaksian."

Derajat ini disebut pengungkapan mata, karena banyaknya cahaya pengungkapan apa yang ada di dalam hati, lalu menggantikan kedudukan ilmu yang tidak mungkin diingkari dan didustakan. Sebagaimana melihat dengan pandangan mata yang tidak bisa dilakukan kecuali adanya kekuatan penglihatan, tidak ada pembatas, tidak gelap dan tidak jauh jaraknya, maka pengungkapan dengan mata hati mengharuskan adanya hati yang sehat dan tidak adanya perintang untuk mengungkap segala rahasianya.



Dalam Kitab Manaqib Nurul Burhan, terdapat 70 wali Allah yang sudah mukasyafah tapi berhasil disesatkan oleh Iblis (seperti pengakuan Iblis kpada Sultan al-awliya Syaikh Abdul Wadir al-jailani). Kedua, mukasyafah adalah bagian dari sebuah proses, bukan tujuan puncak dalam suluk ruhani. Selama mengalami proses mukasyafah, sufi (terutama yg masih di tengah jalan) masih harus menghadapi banyak cobaan dan godaan. Apa yang datang dari mukasyafah boleh jadi adalah, meminjam bahasa Qur'an, makr (tipu daya Allah). ia bisa jadi kasyaf syathani, atau khatir syathani. Betul bahwa hati yg suci bisa mendapatkan mukasyafah, tetapi hati yang suci bukan terminal akhir, dan karenanya mukasyafah juga bukan puncak ilmu. Dalam makna wirid- wirid besar tarekat mu'tabarah tersirat bahwa bahkan mukasyafah pun masih bisa disusupi iblis, dan karenanya selalu dibaca istiadzah (sebagian menggunakan wirid shalat istadzah setiap pagi). Kasyaf rabbani memang boleh jadi menjadi isyarat kesucian,tetapi tidak selalu ia bersifat paripurna. Ketiga, seorang yang telah mendapatkan mukasyafah boleh jadi belum mencapai kondisi fana, fana-al-fana, dan baqa. Karenanya, mukasyafah boleh jadi merupakan "hal" atau keadaan spiritual, yang tidak permanen (yang berbeda dengan "maqam" yang relatif permanen). demikian sedikit tambahan.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net