Senin, 26 Maret 2012

GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF KUHP DAN HUKUM ISLAM

GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF KUHP DAN HUKUM ISLAM (Sebuah Studi Komparatif)

TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF KUHP
 Oleh Team www.seowaps.com

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Setiap individu tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya. Manusia saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk bertahan hidup dan hidup sebagai manusia. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu. Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tersebut maka masing-masing individu memiliki kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan.
Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan. Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.
Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama. Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada.
Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Di satu sisi manusia ingin hidup secara tentram, damai, tertib dan berkeadilan, artinya tidak diganggu oleh hal-hal yang mengandung unsur kejahatan. Upaya untuk meminimalkan tingkat kejahatan pun terus dilakukan, baik yang bersifat preventif maupun represif, yang bersifat preventif misalnya dengan dikeluarkannya peraturan dan undang-undang. Sedangkan yang bersifat represif yaitu adanya hukuman-hukuman terhadap pihak-pihak yang telah melakukan kejahatan ataupun pelanggaran.
Adanya suatu hukuman yang diancamkan kepada seorang pembuat agar orang banyak tidak memperbuat sesuatu jarimah, sebab larangan atau perintah semata-mata tidak akan cukup. Meskipun hukuman itu sendiri bukan suatu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pembuat sendiri. Namun hukuman tersebut diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi masyarakat.[1] Ketika terdapat seseorang yang berbuat jahat kemudian ia dihukum, maka ini merupakan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan.
Di samping itu suatu hukuman yang diancamkan terhadap seorang pelanggar, dalam Islam dimaksudkan agar seseorang tidak melanggar jarimah, sangsi itu sendiri pada intinya adalah bukan supaya si pembuat jarimah itu dapat derita karena pembalasan, akan tetapi bersifat preventif terhadap perbuatan jarimah dan pengajaran serta pendidikan.[2]
Pada masa sekarang ini yang menjadi dasar penjatuhan hukuman ialah rasa keadilan dan melindungi masyarakat. Rasa keadilan menghendaki agar sesuatu hukuman harus sesuai dengan besarnya kesalahan pembuat. Dalam KUHP berat ringannya hukuman yang harus dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain-lain sudah ada ketentuannya sendiri. Akan tetapi berat ringannya hukuman tersebut belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh para hakim. Hal ini berhubungan dengan adanya batas maksimal dan minimal hukuman yang ada dalam KUHP. Kebanyakan para hakim menjatuhkan hukuman mengambil di antara kedua batas tersebut, dan jarang sekali hakim menjatuhkan hukuman maksimal kecuali dalam kasus tertentu.
Bahkan dalam prakteknya seorang hakim atau penuntut umum dalam melakukan tuntutan dianggap terlalu ringan terutama terhadap pelaku-pelaku tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Dalam hal ini tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa baik penuntut umum ataupun hakim diharapkan menuntut dan menjatuhkan hukuman yang setimpal, sehingga mempunyai dampak di samping mempunyai aspirasi dan keadilan masyarakat juga merupakan daya tangkal bagi anggota masyarakat yang mempunyai potensi untuk menjadi pelaku tindak pidana (general deterrent effect).[3]
Dalam kehidupan manusia adakalanya sering kita temukan seseorang melakukan perbuatan jarimah tidak hanya murni satu jenis, terkadang terdapat niat untuk melakukan satu macam jarimah, namun yang terjadi justru beberapa jarimah pun dilakukannya. Sebagai contoh misalnya, pada suatu malam A yang tidak mempunyai SIM bahwa ia boleh mengemudi mobil, menjalankan kendaraannya dalam kota dengan kecepatan yang lebih dari 40 km/jam tanpa memasang lampu. Dalam hal ini A telah mengadakan pelanggaran 1) menjalankan kendaraan tanpa mempunyai SIM, 2) melampaui batas kecepatan mobil yang diperbolehkan dalam kota, dan 3) tidak memasang lampu pada waktu malam hari. Dari kasus ini timbul pertanyaan bagaimanakah hukuman yang harus dijatuhkan? Apakah A itu akan dijatuhi tiga hukuman sekaligus (karena mengadakan tiga pelanggaran) ataukah ia dijatuhi hanya satu hukuman saja tetapi yang diterberat?[4]
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa telah terjadi suatu gabungan melakukan tindak pidana, dimana satu orang telah melakukan beberapa peristiwa pidana. Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum positif sering diistilahkan dengan delik cumulatie atau concursus yang diatur dalam bab VI buku 1 KUHP pasal 63 – 71.
Adanya gabungan peristiwa pidana ini, menimbulkan adanya gabungan pemidanaan. Jadi gabungan pemidanaan ada karena adanya gabungan melakukan tindak pidana di mana masing-masing belum mendapatkan putusan akhir. Dalam sistematika KUHP peraturan tentang perbarengan perbuatan pidana merupakan ketentuan mengenai ukuran dalam menentukan pidana (straftoemeting) yang mempunyai kecenderungan pada pemberatan pidana.[5]
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP, yaitu:
“Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu-satu dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai, jika pidana berlain maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya”.

Dari pasal tersebut orang yang melakukan dua atau beberapa tindak pidana sekaligus dapat dikatakan melakukan peristiwa pidana gabungan sebagaimana dimaksud oleh pasal di atas.[6]
Sementara itu dalam hukum Islam gabungan melakukan tindak pidana ini menjadi perdebatan di kalangan para ulama, sebagaimana diketahui bahwa dalam Syariat Islam terdapat bermacam-macam dan berbeda-beda dalam masalah pidananya, sehingga boleh dikatakan bahwa untuk satu jenis pidana tertentu ada hukumnya tersendiri, seperti mencuri dengan hukuman potong tangan, pembunuhan dengan qishos, zina dengan rajam dan lain-lain. Namun perlu ditinjau kembali bahwa tidak semua peristiwa pidana itu ada ketentuannya dalam nash Al Qur’an maupun Sunnah Rosul. Maka dalam hal ini para hakim diberikan wewenang untuk memberikan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan secara berbarengan atau bersamaan.
Akibat dari adanya perbedaan jenis hukuman itu, menyebabkan orang merasa tidak perlu untuk memikirkan bagaimana cara menerapkan hukuman, jika seseorang sekaligus melakukan lebih dari satu macam peristiwa pidana oleh karena tidak menghadapi kesukaran apa-apa. Dalam hukum Islam dicontohkan dengan kasus pencurian yang diikuti dengan pemerkosaan dan pembunuhan. Dalam hal ini apakah ia akan dijatuhi tiga hukuman sekaligus yaitu hukuman potong tangan, rajam dan kemudian hukuman qishos, ataukah ia hanya akan menjalani salah satu hukuman yang terberat saja yakni hukuman qishos. Para ulamapun berbeda pendapat mengenai bagaimana pemberian hukuman bagi gabungan perbuatan ini.
Bagaimana Islam memandang masalah ini tentu berbeda dengan pandangan KUHP dalam menyelesaikan gabungan perbuatan ini, dimana hal ini berkaitan erat dengan masalah pemberian pidana yang nentinya akan dijatuhkan.
Adanya perbedaan antara hukum Islam dan KUHP dalam menyelesaikan masalah ini menjadikan dasar bagi penyusun untuk mengadakan penelitian lebih lanjut yaitu dengan cara membandingkan antara keduanya sehingga nampak adanya segi-segi persamaan dan perbedaan antara keduanya.


B.     Pokok Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dan agar pembahasan nantinya dapat terarah dengan baik, penyusun perlu mengidentifikasikan pokok-pokok masalah yang perlu dibahas.
Adapun pokok-pokok masalah tersebut adalah:
1.      Ada berapakah teori gabungan melakukan tindak pidana baik dalam hukum Islam maupun KUHP?
2.      Bagaimana pandangan hukum Islam dan KUHP mengenai teori gabungan melakukan tindak pidana?

C.    Tujuan dan Kegunaan
1.      Tujuan
a.       Untuk mendeskripsikan bagaimana sistem pemberian pidana bagi suatu jarimah ganda baik menurut hukum Islam maupun KUHP.
b.      Untuk memberikan penjelasan yang lebih mendalam tentang teori gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum Islam dan KUHP.

2.      Kegunaan
a.       Untuk memberikan pemahaman baru terhadap masalah-masalah yang perlu diselesaikan dengan mengacu pada pasal-pasal KUHP dan teori-teori yang terdapat dalam hukum Islam mengenai teori gabungan pemidanaan
b.      Untuk menambah sumbangan pemikiran pada khasanah ilmu pengetahuan baik hukum Islam maupun KUHP.
D.    Telaah Pustaka
Gabungan pemidanaan atau hukuman ada manakala terdapat gabungan jarimah atau perbuatan pidana dimana masing-masing perbuatan pidana itu belum mendapatkan keputusan tetap. Perbarengan merupakan bentuk permasalahan yang bertalian dengan pemberian pidana. Utrecht mendefinisikan gabungan dengan satu orang melakukan beberapa peristiwa pidana.[7]
Gabungan melakukan tindak pidana ini juga disebut perbarengan perbuatan pidana, hal ini dijelaskan oleh Sahetapy dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai seseorang yang melakukan gabungan tindak pidana akan dijatuhi hukuman maksimal.
Sedangkan menurut rumusan undang-undang yang dimaksud dengan perbarengan perbuatan pidana ialah seseorang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa peraturan hukum pidana atau melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing perbuatan berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus dan salah satu dari perbuatan pidana itu belum dijatuhi putusan hakim.[8]
Dalam KUHP dan penjelasannya, gabungan peristiwa pidana ini terdapat dalam pasal 63 sampai 71. Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan, terdapat tiga bentuk gabungan perbuatan pidana dan sistem hukuman yang harus diterapkan. Adapun bentuk-bentuk gabungan yang dimaksud adalah pertama, Concursus Idealis atau Eendaadse Samenloop (gabungan satu perbuatan), kedua, perbuatan yang berkelanjutan (diteruskan) atau Voorgezette Handeling, ketiga, Concursus Realis atau Meerdaadse Samenloop.
Sementara itu Muhammad Anwar dalam bukunya Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku Pertama KUHP menjelaskan tentang gabungan melakukan tindak pidana mempunyai dua bentuk yaitu concursus idealis dan concursus realis. Hal ini juga dijelaskan oleh E. Utrecht dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana II.
Mas’ad Ma’shum dalam bukunya Hukum Pidana I membahas mengenai sistem pemidanaan bagi gabungan perbuatan pidana, di dalam buku tersebut juga membahas empat macam cara dalam memberikan hukuman bagi seseorang yang melakukan tindak pidana gabungan, keempat cara tersebut adalah[9] pertama, sistem hisapan (absorbtie stelsel), kedua, sistem hisapan yang diperkeras (verscherpte absorotie stelsel), ketiga, sistem cumulatie yang murni (het zuivere comulatie stelsel), keempat, sistem cumulatie yang terbatas (het gemetigde cumulatie stelsel).
Sementara itu dalam menanggapi gabungan hukuman ini dalam hukum Islam, Abdul Qadir Audah juga menjelaskan bahwa pada dasarnya hukum syara’ sudah mengenal gabungan hukuman ini, tetapi tidak menggunakannya secara mutlak.
Hukum Islam membatasinya pada dua hal yaitu 1) teori saling memasuki (at-Tadakhul) yaitu hukuman beberapa jarimah tersebut saling masuk memasuki, sebagian masuk pada sebagian yang lain sehingga untuk seluruh jarimah diberikan satu hukuman, 2) teori penyerapan yaitu mencukupkan pelaksanaan hukuman yang pelaksanaannya menghalangi pelaksanaan hukuman lain.[10] Begitu pula M. Hanafi membahas masalah ini dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana Islam.
Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al Fiqh al – Islam Waadillatuhu dijelaskan mengenai gabungan hukuman bagi pelaku tindak pidana gabungan, dimana tindak pidana gabungan itu tidak terlepas dari tiga kategori yaitu pertama, gabungan jarimah dimana semua hukumannya ialah murni hak Allah, kedua, gabungan jarimah dimana semua hukumannya merupakan hak Allah dan sekaligus hak anak manusia, ketiga gabungan jarimah dimana hukumannya merupakan hak anak manusia murni.
Al-Ramli, dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj, sebagaimana dikutib oleh Ahmad Djazuli dalam bukunya Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai gabungan dan penyerapan hukuman. Imam Malik misalnya mengenal teori at-Tadakhul yaitu apabila seseorang melakukan jarimah qadhaf dan minum khamr, sesudah itu tertangkap, menurut teori ini, hukumannya cuma satu, yaitu 80 kali jilid. Alasannya karena jenis dan tujuannya sama.
Sedangkan menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad, bahwa hukuman mati ini menyerap semua jenis hukuman, demikian pula jika kejahatannya itu berkenaan dengan hak-hak Allah murni. Sedangkan jika kejahatan itu merupakan gabungan antara hak Allah dan hak Adami, maka hukuman yang dijatuhkan adalah hak adami terlebih dahulu, baru hukuman yang berkaitan dengan hak Allah. Menurut Imam Syafi’i, setiap jarimah tidak dapat digabungkan, melainkan harus dijatuhi hukuman satu persatu.[11]
Berdasarkan pada perbedaan pendapat tersebut di atas, dan karena masih minimnya pembahasan secara akademis tentang Gabungan melakukan tindak pidana menurut perspektif Hukum Islam dan KUHP (dalam study komparatif), mendorong penyusun untuk membahas lebih lanjut tentang gabungan hukuman ini dan menurut penyusun kajian ini menjadi sangat penting untuk dibahas.
Sepanjang pengetahuan penyusun ada sebuah skripsi yang membahas mengenai delik gabungan, yang berjudul Pandangan Imam Syafi’i tentang Delik Gabungan dan Akibat Hukumnya yang ditulis oleh Roziqin tahun 2000. Namun skripsi tersebut berbeda dengan yang akan dibahas oleh penulis, karena di dalam skripsi penyusun membahas tentang Gabungan Melakukan Tindak Pidana dalam Perspektif dan Hukum Islam dalam sebuah study komparatif. Jadi penelitian ini jelas berbeda dengan skripsi yang dibahas oleh Roziqin, karena tidak hanya dibahas dalam satu pandangan saja, tetapi dibandingkan antara KUHP dengan Hukum Islam.

E.     Kerangka Teoritik
Arti praktis dari seluruh ketentuan tentang perbarengan makin lama makin berkurang seiring dengan perjalanan waktu. Arti praktis justru sebaliknya sebanding dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam yurisprudensi dan ilmu pengetahuan untuk menjernihkan persoalan-persoalan yang timbul. Alasan makin berkurang arti praktisnya dari ketentuan perbarengan, oleh karena dalam praktek hakim menjatuhkan pidana jauh di bawah ketentuan maksimum yang berlaku. Padahal ketentuan pelanggaran adalah penting terutama untuk menentukan diijinkannya pidana maksimum berdasarkan undang-undang.[12]
Pada dasarnya syariat Islam telah memberikan ketentuan bahwa suatu sangsi bagi suatu perbuatan jarimah adalah dengan satu sangsi. Hal ini telah ditetapkan dalam berbagai ayat al-Qur’an di antaranya yaitu:
ومن جأ بالسيئة فلا يجزى الامثلها وهم لا يظلمون.   [13] 
-  وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس والعين بالعين والانف بالانف والاذن بالاذن والسن بالسن والجروح قصاص.        [14]
-  وجزؤ اسيئة سيئة مثلها.  [15]
-  والذين كسيوا السيات جزاء سيئة بمثلها وترهقهم ذلة.  [16]

Dengan ketentuan tersebut di atas maka jelas bahwa dalam hukum Islam telah memberikan aturan perundang-undangan yang mendasar terhadap pelaku kejahatan.
Dalam syari'at Islam sendiri persoalan mengenai gabungan pemidanaan ini masih menjadi perdebatan dikalangan para imam madzhab. Dimana ketiga imam madzhab yakni Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad mengakui adanya gabungan pemidanaan ini. Sedangkan Imam Syafi’i tidak memberlakukan adanya gabungan pemidanaan ini namun sebagian ulama Syafi’iyah nampaknya memakai teori gabungan melakukan tindak pidana ini. Sedangkan dalam hukum positif ketentuan mengenai gabungan melakukan tindak pidana ini sudah diatur dalam buku 1 KUHP pasal 63 – 71. Sehingga menjadi asumsi dasar penyelesaian skripsi ini adalah mengadakan klarifikasi antara ketetapan hukum yang sudah ada dalam hukum Islam dan KUHP.

F.     Metode Penelitian
Adapun penulisan skipsi ini berdasarkan metode sebagai berikut:
1.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini berdasarkan pada penelitian literer atau pustaka (library research) yaitu dengan menelusuri berbagai sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang ada yaitu gabungan melakukan tindak pidana yang ditinjau dari KUHP dan hukum Islam.
2.      Tipe Penelitian
Tipe penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitik yaitu menggambarkan tentang gabungan melakukan tindak pidana dalam KUHP dan hukum Islam, yang selanjutnya dilakukan analisa dari masing-masing hukum tersebut.
3.      Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penyusun menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melihat ketentuan-ketentuan hukum yang ada dengan maksud memberikan penilaian tentang gabungan melakukan tindak pidana dalam pandangan KUHP dan hukum Islam.
4.      Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan yaitu dengan memperoleh data primer dan sekunder.
Data-data primer antara lain Abdul Qadir Audah dengan kitabnya at-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamy, Muhammad Abu Zahrah dengan kitabnya al-‘Uqubat: al-jarimah wa al-uqubah fi al Fiqh al Islami, kemudian dari segi hukum positif yaitu KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Sedangkan data sekunder meliputi buku-buku, majalah-majalah, hasil penelitian yang memuat informasi yang relevan dengan pembahasan ini.
5.      Metode Analisis
Dalam menganalisis data yang terkumpul, penyusun menggunakan metode komparatif yaitu menganalisis data dengan membandingkan antara dua hukum yang berbeda yaitu antara KUHP dan hukum Islam mengenai gabungan pemidanaan untuk mencari persamaan dan perbedaan antara keduanya.


G.    Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dapat terarah dengan baik, maka pembahasan ini dibagi dalam beberapa bab dan sub bab.
Bab I merupakan pendahuluan, pendahuluan ini mencakup keseluruhan isi yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritik, dan metode penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab II merupakan pembahasan mengenai gabungan melakukan tindak pidana (concursus) menurut KUHP, yang berisi tentang pengertian dan dasar hukum, teori gabungan melakukan tindak pidana, dan bentuk-bentuk gabungan melakukan tindak pidana.
Sedang pada Bab III membahas tentang gabungan melakukan tindak pidana menurut hukum Islam, yang terdiri dari pengertian dan dasar hukum, teori gabungan melakukan tindak pidana, dan bentuk-bentuk gabungan melakukan tindak pidana.
Kemudian pada Bab IV menjelaskan tentang analisa perbandingan antara hukum pidana positif atau KUHP dengan hukum Islam, yang mencakup letak persamaan dan perbedaan antara kedua hukum tersebut.
Terakhir, Bab V merupakan akhir dari semua pembahasan yang meliputi kesimpulan dan saran.

Selengkapnya Silakan >>> DOWNLOAD
 Tags: GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM  PERSPEKTIF KUHP DAN HUKUM ISLAM

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © Sufi ~ Artikel Ilmu Tasawuf dan Sufisme All Right Reserved
Hosted by Satelit.Net Support Satelit.Net